Epilog

Aku kembali ke bangunan besar yang bernuansa putih gading ini. Jam 6. Masih sore. Biasanya aku masih di kantor jam segini.

Tapi hari ini kami akan kedatangan tiga orang tamu spesial ke rumah, jadi aku secepatnya kembali ke rumah ini.

"Mamaaa..."

Sebuah suara memanggilku dari arah dapur begitu melihatku melepas blazer dan heels di sofa.

"Gimana? Udah masaknya?"

"Udah donk, Ma. Papa mana?"

Gadis cantik berambut panjang itu tampak sedang menata piring-piring di meja makan.

"Papa di jalan kayaknya. Dari kantornya."

Aku menerima segelas air yang diberikannya untukku dan meneguknya hingga tandas. Syukurlah putriku satu-satunya ini orang yang peka.

"Gimana? Denis udah di jalan?"

Aku antusias bertanya padanya.

"Udah sih Ma, dia udah dari tadi siang di jalan sama orangtuanya."

Dia menjawab sambil menjinjit, lalu turun lagi, menjinjit, lalu turun lagi.

"Kamu kok nervous gitu? Hahaha."

Aku menertawakannya.

"Ih mama! Kayak gak pernah di lamar aja."

Putriku akan dilamar kekasihnya hari ini.

"Sayaaaaang!"

"Papa!"

Roy datang, membawa sebuket bunga. Bunganya cantik. Dia memang romantis.

"Selamat ya, anak papa mau diseriusin. Ciee. Grogi ya? Grogi?"

"Apasih kamu."

Aku tertawa melihat tingkah konyolnya.

"Ih papa sama mama sama aja. Tukang ngejek. Tukang bully."

Si cantik merengut.

"Selamat, Leviethan Agatha Wardana."

Tulisan di kartu ucapan dalam buket itu.

Nama yang kami berikan untuknya.

"Kamu tau gak? Papa kamu dulu mau kasih nama kamu Leviathan! Gila kan?"

Aku tertawa mengingat kejadian di rumah sakit sekitar dua puluh lima tahun silam. Saat bayi kami lahir.

"Leviathan? Emangnya aku naga? Papaaa!"

Levi mencubit tangan papanya, yang dicubit hanya tertawa.

"Mana sih pacar kamu? Belum sampe?"

Roy celingukan.

"Ya belum lah papa. Dari kota dia ke sini kan butuh enam jam."

"Oh iyasih. Yaudah papa mandi dulu ya."

Roy beranjak, meninggalkan kami.

"Ayo duduk sini, Leviathan." Panggilku.

"Mamaaa!"

Dia tidak bisa tidak menjerit jika sedang bersama kami atau bersama dengan salah satu dari kami. Mengganggu anak dan membuatnya menjerit itu menyenangkan.

"Makanya mama ganti jadi Levi-E-than."

Ya, sebenarnya selain untuk menghindari nama ajaib yang akan diberikan Roy, nama ini jauh lebih baik. Walau terlambat kusadari namanya mengingatkanku pada seseorang di masa laluku.

Etha.

***

Pukul tujuh, terdengar suara pintu diketuk.

Aku masih membantu Levi menyiapkan makanan tambahan.

"Nah, itu dateng?"

Roy beranjak membukakan pintu.

"Levi, kamu ke depan aja ya. Sambut Denis sama keluarganya."

"Iya, Ma."

Levi segera beranjak membuntuti Roy.

Aku baru sekitar tiga kali bertemu anak laki-laki itu sejak mereka berpacaran dua tahun yang lalu, selebihnya hanya mengenalnya melalui cerita-cerita yang disampaikan Levi. Sejauh yang kuketahui dia pria yang baik. Tidak pernah membuat Levi menangis, pintar, lucu, penuh kejutan. Tampan? Jangan ditanya. Dia benar-benar tampan. Wajahnya tidak asing. Sejauh yang kutahu, ayahnya seorang hakim dan ibunya seorang aktivis sosial kemanusiaan. Bagus sekali. Dan yang terpenting, Denis bisa menerima kekurangan-kekurangan Levi, tak hanya kelebihannya.

Aku masih ingat cerita terakhirnya baru-baru ini.

"Ma, tadi aku nangis di kampus."

"Loh kenapa?"

"Masa Denis ngomong dia mau mutusin aku. Dia gak mau pacaran sama aku lagi. Dia bilang
"aku gak mau lagi pacaran sama kamu. Mulai sekarang kita putus." Langsung deh aku nangis."

"Hah? Kenapa? Terus? Gimana?"

Aku terkejut mendengarnya.

"Ya terus masa habis liat aku nangis dia ketawa Ma keras-keras. Terus ngeluarin cincin dari kantongnya. Kata dia, "tapi aku maunya jadi suami kamu. Kamu mau gak? Kalo mau besok malem aku ke rumah nemuin orangtua kamu buat izin bawa orangtua aku." Gila kan? Dia ngerjain aku. Dasar jahat."

Aku tertawa keras-keras mendengar ceritanya.

Denis pintar, dan lucu. Benar-benar penuh kejutan.

Aku sudah selesai dengan urusan makanan. Sekarang, aku harus menyambut Denis dan keluarganya.

"Sayang, kamu pasti gak nyangka."

Roy menarik tanganku untuk menuju ke ruang tamu.

"Denis anaknya Refan sama Etha."

Bagai disambar petir di siang bolong, aku sangat terkejut.

"Sayang?"

"Den...?"

Roy mengibaskan telapak tangannya di depanku.

"You okay...?"

"Yah. Okay. It's okay."

Aku memegang bahunya.

Belum lepas dari keterkejutan. Roy menatapku cemas.

"Gapapa, sayang. Ayo."

Aku menggandeng tangannya.

Menarik napas, membuangnya, terus kuulangi sebanyak langkahku menuju ruang tamu.

Sampai mataku menangkap kembali sosok itu. Sosok yang kutinggalkan selama sekitar dua puluh lima tahun. Dirinya masih terawat. Syukurlah, Refan merawatmu dengan baik ya walau dia sudah tumbuh uban?

Kalian tau? Rasanya melihat orang yang dulu sangat kalian sayangi, tidak melihatnya selama bertahun-tahun, dan tiba-tiba ia muncul kembali? Pertama rasanya kaget. Kedua sesak. Ketiga, kau akan mulai bersyukur karena bisa berjumpa dengannya lagi. Aku tersenyum sebisanya. Dia, masih cantik dengan rambut terurainya. Walau sudah menua, sama sepertiku. Berapa umur kita, Tha? Di penghujung kepala empat... Kira-kira.

Takdir macam apa ini? Aku rasa kau juga berpikir yang sama denganku.

"Dena, apa kabar?" Refan tersenyum lebar melihatku.

Kami bersalaman. Roy diam saja sambil tersenyum, kutebak dia sudah bersalaman dengan mereka saat membuka pintu tadi.

"Hai. Apa kabar?"

Suara Neratha. Dia tersenyum, tangan kami bersalaman.

"Baik. Kamu? Sehat?"

"Sehat." Dia tersenyum.

Sepertinya aku ketularan Roy. Mungkin seperti ini rasanya Roy dulu saat bertanya kabarku di pesta pernikahan Vania.

"Gimana sih? Kok kamu bisa gak tau Denis anaknya Etha sama Refan?"

Aku menyenggol lengan Roy saat duduk di sebelahnya.

"Ya gimana, kami aja udah lama gak komunikasi kok. Waktu awal-awal kita pindah kan aku sibuk banget, nah pas aku udah agak nyantai, Refan naik jadi hakim. See? Hakim sesibuk apa kamu pasti tau sayang."

"Iya, Tha. Kami lama lost contact."

Refan mengiyakan.

"Jadi, Tante sama Om udah saling kenal sama Papa Mama?"

Denis akhirnya membuka suara.

"Iya, kami teman sekolah dulu."

Jawab Roy.

"Ayo masuk masuk, yuk. Kita pindah ke ruang makan."

Aku mengajak mereka pindah ke dalam. Roy, Refan, Levi dan Denis berbincang seru di meja makan. Sedangkan aku menanggapi sebisanya, lebih banyak diam dan fokus pada makananku. Sama sepertinya. Dia yang tiba-tiba datang kembali. Apa kamu kaget, Tha? Sama. Kita harus senang apa sedih? Pasti kamu paradoks ya? Sama.

"Jadi begini... Kedatangan kami..."

Refan memberi kata sambutan seperti normalnya orangtua yang melamar anak gadis orang. Dia tersenyum melihat kearah Refan. Refan kamu pasti awet muda ya setiap hari lihat dia? Kamu gak pernah bikin dia nangis kan?

"Jadi gedungnya dimana ini?"

"Menurut mama gimana?"

"Dimana aja." Jawabku.

"Nanti mau di hotel atau di venue?"

"Boleh."

"Mamaaa!"

"APAAAA"

Aku menoleh pada Levi. Denis tertawa. Ah sial, aku kehilangan fokusku.

"Eh... Yah... Di hotel aja gimana?"

Aku mencoba menetralkan kembali suasana yang sedikit awkward.

"Ide bagus."

"Setuju."

Haah syukurlah Refan dan Denis menjawabnya.

Roy menulis konsep undangan di sebuah kertas polos.

"Yang penting nama-nama nya dulu. Jangan sampai salah."

"Gelar Om?"

"Gelar nanti."

Roy mengangkat tangannya kearah Denis, gestur orang menolak.

"Kamu ini, ngerasa rugi ya kalo gak cantumin gelar di undangan? Dasar sombong!"

"Yeh, emang kamu gak bangga apa sama aku? Sama keluarga kita masing-masing? Telmi deh. Masa kalah sama tamu undangan. Mereka aja show-off kok."

"Iih! Aku gak mau pesta pernikahan aku dijadiin ajang pamer!"

"Ya mana bisa kita ngatur orang? Papa aku yang hakim aja gak bisa ngatur orang harus taat hukum."

Levi dan Denis berdebat, debat yang mengundang tawa kami.

"Denisius Aditya Darmawan, putra sulung dari Refan Darmawan dan Neratha Aditya."

Roy menulis di kertas itu.

"Leviethan Agatha Wardana, putri tunggal dari Roy Satya Wardana dan Denata Praditya Agatha."

***

Setelah semua konsep selesai, aku membereskan dapur.

"Levi ke depan aja, ini biar mama aja."

"Makasih ma!"

Dia tersenyum senang.

Sebuah tangan mengambil tumpukan piring yang kususun.

"Eh gak usah, Tha. Kamu ke depan aja."

Aku sedikit panik dibantu olehnya. Dia kan tamu.

"Ngusir ya? Gak mau ngomong sama aku lagi nih?"

Dia tertawa, bercanda. Bisa gak sih gak usah godain orang? Baru juga ketemu udah jahil.

"Gak gitu, thaaaa."

"Anak kamu cantik."

Dia tersenyum.

"Anak kamu juga ganteng. Kenapa namanya Denisius?"

Balasku. Tidak tahu mau berkata apalagi.

"Dulu kata Refan, Deni itu artinya rasa keadilan. Waktu itu dia masih jadi panitera. Eh, gak lama setelah Denis lahir, Refan lulus tes hakim. Denisius? Biar keren aja jadi kutambahin imbuhan, Deni kependekan. Nama kamu aja Denata, bukan Dena doang kan?"

Dia tertawa kecil.

"Nama panggilannya kalo gak Deni, ya Denis. Tapi aku lebih senang manggil dia Den."

Dia tersenyum menatapku. Apa kamu ada maksud manggil dia begitu? Aku menatapnya dengan pandangan bertanya.

"Lebih praktis aja."

Dia mengendikkan bahu, menjawab tatapanku. Ah, kamu bohong Tha. Aku tau kalo kamu lagi bohong.

"Terus anak kamu kenapa namanya panjang banget?"

"Kayak jalan tol ya? Hahaha."

Aku tertawa.

"Gak berubah kamu ini."

Dia tertawa.

"Kamu juga."

Aku masih tersenyum, menatapnya. Dia menatapku, tatapan kami bertemu.

"Awalnya Roy mau kasih dia nama Leviathan."

Aku mengalihkan pandanganku ke meja, membereskannya sambil melanjutkan percakapan. Biar enggak tatap-tatapan terus.

"Leviathan, artinya naga. Ya aku gak mau lah. Kasian nanti anakku di bully orang dikatain siluman naga. Cuma aku sama Roy yang boleh bully dia."

Neratha tertawa mendengarnya.

"Jadi aku ganti deh, huruf a sama huruf e. Eh, terakhir aku baru sadar itu mirip nama panggilan kamu."

Eh anjir! Keceplosan!! Dia ketawa. Ampun deh. Gue begooo! begoooo!

"Anak kamu dua ya?"

Aku membuat pertanyaan baru. Mengalihkan maluku.

"Iya. Denis punya adik. Namanya Nathan. Nathaniel Aditya Darmawan."

"Wah bagus banget namanya."

"Iya."

Dia tersenyum.

"Kamu kok gak dateng dulu? Waktu Renata nikah sama Kak Alvian?"

Ah, pertanyaannya.

"Iya aku sibuk waktu itu lagi di luar kota."

Jawabku. Dia manggut-manggut.

Dua puluh lima tahun yang lalu, dua tahun setelah Refan menikahi Neratha, Renata mengabarkan ia akan menikah dengan Alvian. Ternyata selama ini seleranya guru toh? Gak pernah bilang. Kalo gitu sih bukan salah si Juna ekstrovert.

"Tapi aku datang kok ke rumahnya. Terus dia marah-marah, Tha. Ya aku jawab, "elu tuh kalo gak gue izinin resign dan kerja di sekolah gak bakal bisa ngejar Kak Alvian, tau! Eh tambah marah. Hehe."

Neratha tertawa lagi.

"Emang kalian gak pernah berubah."

"Kamu juga."

Dia menatapku. Tatapan yang sulit diartikan.

"Ke depan yuk. Udah beres."

Aku tersenyum lagi.

***

Aku tersenyum melihat putriku bahagia hari ini. Wajahnya cerah, tampak sempurna dengan gaun pengantinnya itu.

"Satu... Dua... Tiga!"

Levi dan Denis melempar buket bunga itu ke belakang.

"Yeeey! Nathan dapet! Buruan nikah lu sama Johana!"

"Hahaha!"

Denis menggoda adiknya yang masih kelas 3 SMA itu.

"Loh Nathan pacaran sama Johana? Anak Renata kan?"

Aku berbisik pada Roy yang sedang kurangkul tangannya ini.

"Iya satu sekolah. Temen sih katanya. Temen deket. Tapi gak kayak temen ya. Hahaha. Ya kayak kita dulu, sayang. Hahaha."

"Ih apaan deh?"

Aku mencubit pinggangnya.

***

Tahun demi tahun berlalu. Musim berganti. Orang yang kukenal dan kusayangi satu per satu berlalu... Entah kapan aku menyusul mereka, apa bekal amalku sudah cukup?

"Den, udah siap? Anak-anak udah di depan."

"Udah, ayo."

Aku berjalan pelan-pelan. Mengikuti Neratha.

"Ma..."

Levi memelukku. Disusul Denis mencium tanganku. Hari ini kami akan berziarah ke makam suami kami. Ya, Roy, dan Refan. Yang sudah berpulang terlebih dahulu.

Aku meletakkan bunga diatas makamnya. Menutup mataku. Berdoa dan menyapanya.

"Sayang, apa kabar? Kamu sehat kan? Aku baik-baik saja disini. Sudah lima tahun sejak kepergian kamu. Cucu-cucu kita sedang sibuk ujian sekarang, maafkan mereka tidak bisa datang kali ini. Kamu tau kan sibuknya anak SMA? Anak kita juga sangat sibuk. Awalnya aku kesepian. Tapi kamu tau kan, Refan meninggal tiga bulan yang lalu? Sejak itu Levi dan Denis mengusulkan aku untuk tinggal berdua bersama Neratha lagi sejak usul itu kutolak dulu, saat kepergianmu. Itu bukan ide yang buruk, pikirku. Setidaknya aku bisa membantu menemaninya agar tidak sendirian. Tenang saja, aku tidak akan kembali seperti dulu. Aku sudah cukup bahagia hanya dengan melihat wajahnya. Sejak bertahun-tahun menjadi besan perasaanku dulu sirna. Kamu takut kan sebenarnya? Maaf aku baru bilang sekarang. Aku tidak pernah mau mengungkitnya selama kita menikah, karena aku sangat-sangat menjaga perasaanmu. Sampaikah rasa cintaku padamu? Bisakah kau merasakannya? Sampaikah rasa sayangku? Terima kasih kamu sudah berjuang lebih dari apapun selama ini. Sudah bersabar lebih dari apapun. Kamu tau kan usahamu tidak pernah sia-sia? Kamu pasti tau sejak kita menikah aku juga selalu berjuang untuk mencintaimu. Tunggu aku, aku akan menyusulmu. Siapkan tempat untukku, ya?"

***

Kami sedang duduk bersebelahan di kursi rotan yang terletak di teras rumah. Menyulam.

"Eh... Maaf."

Dia tidak sengaja menyentuh tanganku, kami sama-sama sedang mengambil benang putih di meja itu.

"Gapapa."

Aku tersenyum. Kami terdiam lagi.

"Kamu gapapa?"

Tiba-tiba ia bertanya.

"Hmm? Apanya, Tha?"

"Tinggal bareng sama aku."

Aku tersenyum.

"Gapapa. Kenapa memangnya?"

"Kamu selama ini selalu menghindar. Kenapa sekarang mau pindah bareng? Kamu terpaksa ya?"

"Kamu belajar sarkas darimana sih?"

Aku tertawa.

"Besanan sama kamu, jadi ketularan."

Jawabnya santai, sambil kembali meneruskan sulamannya.

"Aku enggak keberatan. Aku mau nemenin kamu. Dulu itu kamu kan masih ada Refan."

Aku melanjutkan sulamanku.

"Jadi, kamu cemburu sama Refan?"

Dia menatapku.

"Sepertinya kamu salah paham. Ya bukan cemburu, aku gak mau kalian berantem gara-gara aku."

Aku tertawa.

"Kepedean deh kamu."

Dia mendengus.

"Kamu udah jadi nenek-nenek masih aja lucu ya, Tha. Marahnya lucu."

"Ya kalo teman ngobrolnya kayak kamu gimana aku gak kesel?"

"Tapi senang kan?"

Godaku. Hanya bercanda.

"Ya senang lah. Ada temannya di hari tua."

Dia tersenyum.

"Makasih ya, anakmu itu si Denis udah bahagiain anak cucuku."

Ujarku.

"Cucumu? Enak aja di hak milik. Cucuku juga."

"Iyaaa, cucu kita."

Aku mengiyakan. Malas berdebat dengannya, sudah tua masih pintar berdebat.

"Levi tadi bisik-bisik di jalan. Dia tanya apa aku gapapa kehilangan sumber bahagiaku? Karena dia sudah ngerasain Denis sumber bahagianya."

"Sudah sepantasnya Denis membahagiakan istrinya. Levi pantas, dapat suami sebaik Denis. Kamu juga dulu udah bikin aku bahagia, toh."

Neratha tersenyum saat mengatakan dulu aku sudah membuatnya bahagia.

"Ya kamu juga."

Jawabku sambil tersenyum.

Akhirnya kita bisa hidup tenang ya, Tha. Menikmati masa tua kita.

-END-






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top