50. Goodbye Road

Kalian bisa sambil dengerin lagu goodbye road nya iKon pas baca ini. Selamat membaca.

***

"Den! Bangun!"

Kudengar suara pintu kamarku digedor cukup kuat.

Suara berisik itu. Pasti Renata sudah tiba di depan.

"Gak nyangka password apartemen lu masih sama."

"Emang kenapa? Password hp gue juga masih sama kok."

Aku melangkah ke dapur, menyeduh teh panas.

"Ulang tahun Neratha?"

Renata menatapku tak percaya.

"Iya. Semua akun sosmed juga passwordnya itu."

"Yaudah buruan mandi deh, nanti kita kesiangan."

Aku melirik jam dinding.

"Masih jam 7." Jawabku, santai.

"Den."

Renata menatapku serius.

"Lu duluan aja, nanti gue nyusul."

Aku berusaha membujuknya.

"Lu gak bakalan datang kalo gak sama gue. Seratus sepuluh persen gue yakin."

Aku memberikan cengiran terbaikku padanya. Dia tahu. Mana kuat aku melihat Neratha berciuman dengan mempelai prianya nanti setelah pemberkatan pernikahan mereka?

***

Benar kan kataku. Air mata ini tidak bisa ditahan. Dan disinilah aku berakhir setelah acara pemberkatannya selesai. Toilet.

"Deeen."

Sebuah suara terdengar dari luar bilik.

"Dena, kita balik dulu aja ya? Gak usah ke pestanya?"

Renata membujukku dari luar. Sepertinya tidak ada orang lain di toilet ini selain aku.

"Minta 5 menit Ren. Tunggu gue di luar aja."

Aku berusaha menjawabnya dengan susah payah di tengah kesesakan yang kurasakan ini.

***

Dia terlihat begitu cantik dengan gaun putih itu. Lebih cantik dari apapun. Aku tidak bernafsu memakan apapun yang ada disini. Aku hanya menatapinya puas-puas dari tempatku duduk. Senyumannya, parasnya...
Sudah setahun aku tidak melihatnya sejak ia memutuskan untuk pindah, kembali ke rumahnya.
Kangen keluarganya di panti asuhan, katanya waktu itu.

Sudah waktunya. Kataku waktu itu, dalam hati. Malam itu, setahun yang lalu, menjadi malam paling menyedihkan untuk kami.

"Den, makan donk."

Ini sudah yang kesekian kalinya Renata membujukku.

"Gak."

"Dena?"

Aku menoleh kesampingku, melihat siapa yang memanggilku.

"Kak Alvian?"

"Apa kabar?"

Pria berbaju batik cokelat ini terlihat lebih tampan dan dewasa dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Berarti sekarang umurnya, 30?

"Baik. Kakak?"

Dia tersenyum hangat.

"Baik juga. Sama siapa Den?"

"Ini, sama temenku, Kak. Ren, kenalin. Ini kakak angkatnya Neratha, namanya Alvian."

Renata menatapnya tak berkedip.

"Renata."

"Alvian."

Alvian tersenyum padanya.

"Kakak kerja dimana sekarang?"

Tanyaku iseng, penasaran.

"Kakak jadi guru SMA, Den."

"Wah, dimana Kak?"

"Sekolah kalian dulu."

Dia tertawa melihatku.

"Wah? Jadi guru apa, Kak?"

"Bahasa Inggris, matematika, sejarah."

"Wah hebat."

Aku memujinya, terkesan.

"Kakak udah nikah?"

Aku penasaran.

"Belum Den, boro-boro. Ini masih sibuk ngumpulin uang buat kuliah S2 sambil kerja. Mau jadi dosen nanti kalo udah waktunya."

Dia tertawa.

"Yaudah, kakak ke depan dulu ya."

"Iya kak."

Sepertinya dia panitia pernikahan, semua panitia pernikahan terlihat memakai baju batik yang sama seperti yang dipakainya.

"Saya pergi dulu ya, Renata."

Alvian pamit sambil tersenyum pada Renata, yang dibalas Renata hanya dengan anggukan dan tatapan mata yang tidak lepas melihatnya.

"Den, di sekolah lu ada lowongan guru gak?"

Tanya Renata yang tiba-tiba langsung menoleh kearahku.

"Gatau Ren. Kan gue ngurus perusahaan. Sekolah, gue balikin ke bokap."

"Wah... Gue mau jadi guru di sekolah lu ajadeh."

"Lah?! Nanti siapa yang jadi kepala human development di kantor gue anjir?"

Aku terkejut mendengar permintaannya. Dia sudah bekerja di perusahaanku bertahun-tahun. Ah, tidak rela aku kehilangan sumber daya manusia sepintar dia!

"Cari orang baru lah. Gue kan pindah gak jauh-jauh juga, di sekolah elu!"

Dia tersenyum penuh maksud.

"Gak! Gak boleh keluar!"

"Ih gak ada ya aturan yang ngelarang buat resign!"

"Gak boleh pokoknya!"

***

"Selamat ya."

Ujarku, menyalami kedua mempelai dihadapanku ini.

Neratha tersenyum memandangku, pandangan yang masih sama seperti dulu.

"Iya makasih Den. Ayo kita foto dulu."

Refan yang tampil sangat tampan dengan jas hitamnya hari ini terlihat sangat sangat bahagia bersanding dengan mantan kekasihku disampingnya.

Tak ada pelukan, tak ada kecupan, tak ada kata-kata lain yang terucap. Aku hanya berdiri disampingnya, tersenyum kearah kamera.

"Den, makasih udah dateng."

Bisiknya, ia tiba-tiba menggandeng tanganku erat.

"Gandeng suami kamu, jangan aku."

Bisikku.

***

"Sayang, aku masih belum bisa pulang. Mungkin dua hari lagi. Maaf ya, masalahnya belum selesai."

"Iya gapapa. Take care."

"Tadi gimana? Kamu gapapa?"

"Gapapa kok."

"Yaudah, take care ya."

"Bye."

Aku kembali melihat laptopku setelah mematikan telepon dari Roy.

"Kenapa den? Roy gak jadi balik?"

Renata bertanya sambil memakan keripik kentangnya.

"Gak jadi Ren."

Aku masih memandangi laptopku. Memutar video-video lama bersamanya. Bersama dia yang kucintai selama sepuluh tahun...

"Gue nginep ya?"

"Iya, ide bagus."

"Udah jam 6 nih den, mau makan apa? Biar gue masakin."

Renata bangkit dari lantai.

"Apa aja Ren. Terserah."

Aku tak beranjak mengalihkan pandanganku dari laptop.

"I love you 3000"

Kalimat itu, kalimat yang hanya aku ucapkan padanya dan hanya ia ucapkan padaku, kalimat yang sedang kudengar melalui headset ini, membuat air mataku turun setetes.

Video itu berhenti. Tanganku memindahkan kursor, menekan tombol close. Tatapanku berhenti pada sebuah video yang belum kulihat lagi. Terakhir aku melihatnya tahun lalu, dan hanya sekali. Aku tidak suka video ini. Video berisi ucapan perpisahan yang dibuat Neratha untukku...

Tapi, kali ini kuputuskan memutarnya kembali. Aku tau resikonya.

"Hai."

Tampak ia tersenyum di depan kamera dengan dress putihnya.

"Aku gak tau mau ngomong apa, Den. Ini... Ide mendadak sih."

Latar video itu asing untukku. Sepertinya itu kamarnya di panti asuhan. Kamar yang didominasi warna cokelat.

"Kalo aku bilang aku sayang banget sama kamu, kamu pasti udah tau. Aku mau bilang I love you 3000 juga kamu pasti udah tau banget."

Dia tertawa kecil.

"Tapi, kamu pasti nyimak kalo aku bilang aku mau ngucapin perpisahan disini."

Raut wajahnya berubah serius.

"Aku harap kamu hidup bahagia sama Roy. Dia pria yang baik. Keputusan kamu untuk terima lamaran dia udah tepat banget, sayang. Kamu jangan nangis lagi ya kayak waktu itu, waktu aku suru kamu terima lamarannya. Kamu liat kan nenek kamu bahagia banget? Aku juga senang, aku bisa nuntasin kata-kata aku sama Beliau yang udah ngasih aku banyak pengalaman dan ngajarin aku banyak hal. Selamat ya."

Air mataku masih bisa kubendung.

"Jangan lupa makan. Jangan arogan. Jangan keras kepala banget. Jangan terlalu keras sama diri kamu sendiri. Jangan jutek-jutek. Kurangin sifat sarkasme kamu yang cerdas tapi jahat."

Dia terdiam sejenak.

"Sumpah Den, aku suka banget sama sarkasme kamu kalo kamu lagi kesel sama orang. Kata-kata sarkas kamu itu tajem, cerdas, tapi lucu."

Dia tertawa.

Tawa yang sangat sangat kurindukan dan tak pernah ada di video manapun yang kurekam. Tawa yang hanya bisa kulihat langsung di wajahnya tanpa kamera.

"Jangan nyalahin diri kamu sendiri kalo lagi ada masalah. Semangat terus, jangan pernah nyerah ya. Kamu boleh istirahat kalo cape kerja tapi jangan berhenti berprestasi dan berkarya."

Dia mengepalkan tangannya sambil tersenyum. Seakan-akan sedang menyemangatiku.

"Aku yakin masalah seberat apapun bisa kamu hadapin. Tanpa aku."

Dia tersenyum tipis saat menyebut kata "tanpa aku".

"Makasih udah sayang sama aku, posesif sama aku, cemburuan sama aku, selalu ngertiin, nyariin, dan peduli sama aku..."

"Aku beruntung bisa sama kamu. Aku gak pernah nyesal. Sembilan tahun kita, sembilan tahun yang paling berharga di hidup aku."

"Makasih udah bikin aku ngerasa kalau aku ini orang yang paling beruntung di dunia."

"Bahagia terus, janji? Jangan ingkarin janji kamu. Hidup baik-baik, ya. You're the last girl that I love."

Air mataku tak terbendung lagi, sudah tumpah ruah sejak tadi. Resiko yang aku tahu ini akan terjadi jika aku menonton video ini, video yang ia kirimkan setahun yang lalu, sebulan sebelum pernikahanku dengan Roy.

"Aku ragu, Tha..."

Ucapku kala itu. Kami masih tinggal di apartemen ini.

Ia hanya tersenyum tipis.

"Jangan ragu, sayang."

Ia sedang menyusun baju-bajunya ke dalam koper. Bersiap-siap untuk pindah.

"Aku... Kayak gak bisa."

Aku terus menyuarakan ketakutanku.

"Nanti ya. Aku bantu. Kamu tenang aja, semuanya bakal baik-baik aja."

Dia tersenyum, menyentuh kedua pipiku, menatapku, menenangkan...

Dan beberapa hari sejak kepindahannya ia mengirimkan sebuah video ke emailku. Video ini.

Aku tidak tahu kapan ini akan berhenti. Tapi aku butuh menangis sekarang dan melihat video ini adalah salah satu cara terbaik untuk menangis.

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top