45. Make It Count

"Den. Gak usah."

"Den. Jangan."

"Den, aku bisa sendiri!"

"Den, please!"

Aku resah seharian ini dibuntuti Denata kemanapun. Demi apapun, dia bosnya, dan aku sekretarisnya. Tapi malah sekarang dia yang bertindak seperti sekretaris? Mengikutiku kemana-mana.

"Hari ini nenek dateng." Ujarnya, sambil tersenyum di sampingku.

"Hah? Jam berapa?! Kok mendadak sih Den ngabarinnya?"

Aku panik, masalahnya tidak mungkin tidak membuat persiapan untuk menyambut pemilik perusahaan yang akan datang berkunjung ke kantor cabang ini.

"Ya gapapa. Nenek baru nelepon aku barusan, katanya sekalian lewat nanti jadi mampir kesini. Mau liat cucunya yang cantik ini."

Denata mengerling genit padaku.

"Kumat deh narsisnya. Udah, aku harus siap-siap buat nyambut tamu!"

Aku berjalan mendahuluinya.

"Eh tha jangan cepet-cepet! Seneng banget ya mau ketemu nenek mertua? Hahaha."

"Dena!"

Aku melotot melihatnya, memang koridor ini sepi, tapi kalau ada yang dengar bisa jadi masalah. Lagian, nenek mertua? Emang ada?

***

"Silahkan Ibu diminum teh nya."

Aku meletakkan segelas teh manis hangat dan beberapa potong kue gulung yang baru saja diantarkan ke ruangan, sebagai jamuan tamu. Aku gugup sekali berhadapan dengan pemilik perusahaan. Ini kali kedua aku berjumpa dengan Beliau. Pertama kali, enam bulan yang lalu. Saat Denata merengek mengajakku bergabung dan bekerja bersamanya. Sebuah panggilan telepon untuk wawancara datang dari perusahaan. Tawaran posisi sebagai sekretaris, yang tentu saja bisa diduga atas permintaan Denata.

"Oh jadi kamu ya sekretaris pilihan Denata."

Itu kalimat pertama yang Beliau ucapkan saat aku datang memperkenalkan diri untuk wawancara di kantor ini. Beliau datang! Dan Denata terkikik di sampingnya sambil menutup mulut dengan mengatupkan kedua telapak tangannya. Setelahnya kami hanya mengobrol biasa, neneknya hanya ingin tahu latar belakangku saja.

Mereka masih berbincang sekarang, membicarakan tentang perusahaan cabang yang baru enam bulan ini dipimpin Denata.

"Ingat pesan nenek tadi. Kamu harus bisa hadapin masalah kayak kemarin. Tanggung jawab kamu besar."

"Iya nek, tenang aja. Kan ada sekretarisku yang bantuin."

Denata tertawa, aku hanya meliriknya, kalau tidak ada Nenek pasti aku sudah menatapnya dengan tatapan tajam. Neneknya hanya memberikan senyum teduh sambil menatapku.

"Kalian masih sama-sama belum punya pacar ya?" Tanya Beliau tiba-tiba.

Denata tersedak teh yang sedang diminumnya.

"Nenek! Ya belum lah. Kan kami lagi fokus kerja. Nanti kalo ada pacar jadi fokus sama pacar, gimana hayo? Gak kerja. Kalo gak kerja? Perusahaan nenek siapa yang urus kalo bukan aku? Masa Bapaknya Fero? Dia mah kepala sekolah Nek..."

Aku ingin tertawa terbahak-bahak mendengar jawabannya yang ngawur itu. Untung saja senyumku ini masih normal, aku mau ketawa, tapi gak mungkin ketawa sekarang di depan nenek!

"Target nikah kalian umur berapa? Masa kalian cantik-cantik begini tidak ada pria yang dekatin sih?"

Nenek Denata menyeruput tehnya dengan tenang.

"Ngg... Dua... Delapan?"

Denata menjawab dengan penuh keraguan.

"Ketuaan!" Neneknya menjawab Denata dengan keras kemudian mengalihkan pandangannya kearahku.

"Dua... Lima? Mungkin sekitar itu, Bu." Jawabku, masih sambil tersenyum.

"Ya, itu ideal. Pokoknya Denata, kamu harus cepat kasih nenek cucu."

"Loh kan aku cucu nenek." Denata menjawabnya santai.

"Cucu yang baru. Penerus keluarga Praditya Agatha."

"Yang lama masih bisa dipakai kok."

Dua-duanya masih menikmati teh dan roti gulung mereka dengan santainya, sedangkan aku masih kaku harus ikut duduk bersama pemilik perusahaan dan cucunya.

Aku tau neneknya suka bercanda dengan Denata, tapi aku tidak bisa membayangkan wajah murka beliau kalau tau cucunya sudah berpacaran denganku...

***

"Ah cape... Aku mau tidur aja. Besok kita jalan-jalan yuk? Kan weekend."

Denata baru selesai mandi, dia duduk di tepian ranjang.

"Katanya cape? Istirahat aja gak usah kemana-mana."

Jawabku yang sedang membaca buku.

"Kita udah lama gak jalan, Tha. Ayo donk. Masa pacaran gak jalan berdua sih."

Aku tertawa melihat tingkahnya yang banyak maunya ini.

"Kurang tiap hari berdua dari pagi sampai ke pagi lagi?"

"Hehe. Ayolah! Kan beda di apartemen sama jalan-jalan. Ganti suasana donk." Dia mendekat ke sampingku.

"Kalo aku gak mau gimana?"

Aku berusaha menolaknya, menggodanya sebenarnya.

"Jahat!" Dia cemberut, wajahnya tampak kesal.

"Nah gitu donk marah."

Aku tertawa melihat wajah kesalnya. Lucu.

"Becanda kok. Aku ikut besok mau dibawa ke manapun." Aku menatapnya.

Dia menoleh padaku, menyipitkan matanya, lalu ia mendekatkan wajahnya.

"Ke KUA ya. Hahaha."

Bisiknya.

"Den, kamu bisa gak sih gak usah bikin aku berdebar sehariii aja?!"

Aku menutup wajahnya dengan bantal.

"Mau juga aku yang ngomong gitu!" Balasnya.

***
Dan disinilah kami berakhir, kukira dia akan membawaku jalan kemana tapi rupanya kami berakhir di bioskop dan keliling mall nyaris seharian.

"Jangan kesitu."

Denata menarik tanganku, menggandengnya erat. Melarangku masuk ke toko buku.

"Ih pelit. Aku kan mau nyari novel baru." Aku kesal!

"Novel kamu udah banyak sayang, lagian kamu tuh kalo udah baca aku gak diliat lagi. Gak boleh!"

"Ya kali cemburu sama buku?"

"Biarin! Suru siapa pacarnya gak diperhatiin!"

Denata mengusap kepalaku.

"Iih berantakan den ah."

"Dena?" Sebuah suara di belakang kami menyapa Denata.

"Nenek?"

Hah mampus. Nenek Denata lewat bersama dua orang asistennya. Dia menatap kami bergantian. Apa dia dengar? Apa dia lihat kelakuan kami tadi?

"Habis belanja apa nek? Nenek kok jalannya ke mall sih? Nanti kakinya sakit lagi." Denata mendekat, menyapa neneknya sambil tersenyum.

"Belanja bulanan sekalian refreshing sebentar. Emangnya gak boleh nenek keluar sekali-sekali? Dasar kamu cucu egois. Kalian sudah makan?"

Kami kompak menggeleng.

"Ikut nenek yuk. Kita makan malam di rumah."

***

"Makan yang banyak donk masa segitu."

Denata menambahkan daging ayam ke piringku.

"Ini udah banyak." Jawabku.

"Jangan malu-malu, nak." Ujar nenek denata setelah mengamati kami daritadi.

"Nenek ke dalam dulu ya sebentar."

Beliau beranjak kearah dapur. Rumah bernuansa putih ini luas sekali, kamarnya juga banyak tapi terasa hampa. Di ruang tamu tadi kulihat banyak tropi di lemarinya, hanya ada beberapa foto yang terpajang tapi paling banyak foto Denata saat masih kecil.

"Biasanya tuh aku yang celemotan. Kamu kok grogi gitu sih?"

Denata mengelap tepi bibirku dengan tissue.

"Den! Nanti nenek liat." Bisikku. Wajahnya dekat sekali.

"Biarin."

"Jangan gini ah..."

Aku menahan tangannya, menarik jarak kami.

"Kalian mau teh?" Sebuah suara di belakangku sukses membuatku jantungan. Sejak kapan Beliau berdiri disana?

"Boleh deh Nek. Hehe."

Ini anak kok bisa biasa aja sih?! Gak ada takut-takutnya!

Setelah berbincang cukup lama, Denata pamit pulang.

"Eh, mumpung udah disini, sekalian aja liat kamar aku yuk?"

"Hah? Ngapain?"

"Udah ayo. Nurut aja. Kamu nih protes terus sih." Denata menarik tanganku, menggenggamnya erat.

Dia mendadak bersemangat saat kami melewati tangga yang ada di sebelah kanan ruang tamu. Neneknya masih diam saja sambil tersenyum melihat kami.

"Nah ini kamar aku."

Kamar Denata luas, bernuansa biru laut.

"Kamu suka banget ya warna biru?" Tanyaku.

"Iya. Aaah. Sini deh, Tha." Dia berbaring di ranjangnya yang lebar.

"Springbedku lebar, tapi hampa rasanya." Dia terpejam.

"...tapi sejak ada kamu, mau selebar apapun tempatnya kok malah jadi sempit ya?" Dia tertawa.

"Ya iyalah kamu nya mepet terus!" Dengusku, kesal.

"Ya iyalah. Rugi tau kalo gak mepetin kamu." Dia tersenyum nakal.

"Itu meja belajar aku." Dia menunjuk meja cokelat yang lebar di depan springbednya.

"Iya tau. Gak usah kamu bilang juga aku tau itu meja, yang diujung jendela, yang disana lemari, yang di situ sofa."

"Gitu amat! Hahaha."

"Itu... Siapa Den?" Mataku menangkap sebuah foto keluarga. Dena berdiri di tengah, kedua tangannya masing-masing digandeng. Yang sebelah kanan digandeng papanya yang pernah hadir di acara sekolah, yang sebelah kiri...

"Mamanya Denata."

Lagi-lagi sebuah suara membuat jantungku hendak lompat dari rongga dada.

"Nenek?" Kali ini aku yang menyapanya, sejak kapan dia berdiri disitu? Apa dia dengar semuanya tadi?

"Itu anakku."

Beliau menjawab sambil tersenyum, masih berdiri di ambang pintu.

"Cantik banget kayak nenek."

Nenek hanya tersenyum mendengar jawabanku, Beliau melanjutkan jalannya melewati kamar kami. Suara langkah sandalnya terdengar.

"Bukan kayak aku? Hahaha." Denata bangkit dari acara baring-baring di kasurnya.

"Pede banget deh." Jawabku menahan kesal.

"Balik yuk. Aku cape. Mau dimanja." Dia menarik-narik tanganku.

"Gak. Gak ada manja-manja. Bangun!" Aku menariknya.

"Narik yang bener donk, gimana sih?" Denata tersenyum sinis sebelum tiba-tiba dia menarikku kuat dan terjatuh diatasnya.

"Den! Berdiri ah!"

Aku memukul bahunya. Dia malah memejamkan matanya sambil tersenyum.

"Den jangan disini!"

Dia memelukku.

"Enggak ah, gak mau dimanjain siiiih." Jawabnya, santai.

"Denaaa jangan kayak anak kecil deh! Nanti nenek kamu lewat lagi!" Aku panik.

"Gak dengaaar."

"Iya iya aku manjain kamu nanti! Puas?"

"Deal. Ayo balik." Dia langsung berdiri kemudian menarikku keluar kamar.

***
"Tuh kan sempit."

"Ya kamu geser! Demi apa Denata Praditya Agatha! Geser sana!"

Aku menjerit disampingnya yang memepet habis badanku padahal kasurnya masih luas.

"Hahaha. Kamu lucu kalo lagi marah."

"Kamu juga."

"Sini donk katanya mau manjain, aku ngantuk nih."

Dia mendekapku.

"Ya kamunya geser, sayang. Aku gabisa balik badan nih."

"..."

"Den?"

Dia tak menjawab, tak lama kemudian terdengar dengkuran halus.

"Semoga kamu mimpi yang laen ya Den, jangan mimpi aku. Nanti bangun juga kamu liatnya aku."

Aku memejamkan mataku, ikut beristirahat dengan tenang.

***

































Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top