36. Finally

Sore hari yang cerah itu membawa kedamaian bagi semua siswa kelas XII yang dinyatakan lulus UN. Ya, perjuangan siswa kelas XII memang berat mau IPA atau IPS karena selain memikirkan ujian nasional, ujian sekolah, ujian mid, mereka masih harus mempersiapkan diri untuk ujian masuk universitas. Tapi inilah proses yang harus dilalui. 

Usai acara color run di sekolah, masing-masing siswa kembali ke asramanya dengan penuh sukacita. Walau ada beberapa jiwa yang penuh duka cita juga... 

"Thank's for everything that you did to me." Sonia mencium kening Riana cukup lama. Mereka sedang berdiam di kamar Sonia karena teman-teman sekamarnya sedang tidak ada di kamar. Jangan tanya kemana, gatau gue.

"You too. Thank's udah mau jadi kenangan terindah aku disini selama 3 tahun." 

"Aku gak bakal lupain kamu." Sonia menatapnya sendu.

"Aku juga." Riana tersenyum. 

"Sukses ya disana." Sonia menggenggam tangan Riana, memberinya semangat dan kekuatan.

"Kamu juga, sukses ya di jurusan yang kamu ambil, jangan bolos-bolos." Riana mengelus kepala gadis yang amat dicintainya itu.

Mereka diterima di universitas yang berbeda kota. Perpisahan yang menyesakkan bagi anak SMA yang berpacaran, sungguh ini perpisahan yang berat. 

"Jadi, kita...?" Sonia ragu melanjutkan kalimatnya.

"Temenan." Jawab Riana.

"Putus." Sonia meralatnya. Riana menunduk.

"Aku tau, tapi kenapa harus secepat ini." Riana tak terlalu bisa menerima perpisahannya kali ini.

"Sayang, kita udah dipisahin berkali-kali." Sonia menyentuh pipi kekasihnya.

"Tapi kita balik juga berkali-kali." Riana menatapnya nanar.

"Untuk yang ini aku ragu kita bakal bisa balik. Jangan terlalu berharap."

"Aku tau." Riana menunduk lemas. Menahan air matanya agar tidak jatuh.

"Ada dua cara untuk bikin seseorang jadi spesial. Pertama, jadiin dia yang pertama. Kedua, jadiin dia yang terakhir. Dan kamu, udah jadi yang pertama dan terakhir untuk aku. Kamu benar-benar spesial." 

Sonia menjelaskan pelan. Itu kalimat terakhirnya, sebelum menangis tersedu-sedu tanpa henti.

"Kamu memang bukan yang pertama, tapi kamu bakal jadi yang terakhir buat aku. The last girl that I love." 

Riana menyambung kalimat Sonia sambil menenangkan mantannya yang sedang menangis itu. Padahal matanya juga sudah berkaca-kaca. Biarlah, ia masih bisa menahannya. Biar dia pecahkan semua kaca-kaca itu di kamarnya sendirian, tanpa seorangpun yang melihatnya.

Di tempat lain...

"Udah donk jangan nangis terus." Sudah 10 menit lebih, Denata masih memeluk Neratha. Anak itu mengetuk pintu kamarnya setelah selesai acara color run. Mereka tidak pulang bersama. Denata kembali lebih dulu ke asrama, lelah katanya menyiapkan acara hari ini. Dia sudah mengabari kekasihnya itu. Setelah Denata membukakan pintu, Neratha langsung menghambur ke pelukannya. Memeluknya erat-erat lalu menangis, tangisan biasa, tapi tambah lama tambah keras.

"Aku gak mau pergi." 

"Kamu harus. Kapan berangkat?" 

"Jangan tanya. Kamu sendiri harus ke Amerika kan." 

"Hmm... Masih lama." 

"3 hari lagi aku pergi." Neratha mengusap wajahnya. Ia merasa berantakan sekali sekarang.

"Nanti aku datang ke airport." 

"Gak bisa. Aku gak bisa pergi."

"Kenapa?" 

"Kamu belum balikin hati aku gimana aku bisa pergi?" 

"Hahaha belajar gombal dimana sih sayang?" Denata mengusap kepala kekasihnya.

"Privat. 50 ribu." 

"Kurang kerjaan banget dah pacarku ini." 

"Kamu gak mau ngomong apa gitu? Aku mau pergi jauh, bodoh." Neratha memukul-mukul bahu Denata, sebal.

"Aku gak butuh kata-kata. Aku butuhnya anu. Hahaha." 

"Ish!" Neratha menjitak kepala kekasihnya yang mesum itu.

"Bercanda sayaaang. Bentar." Denata berjalan ke lemarinya, dia mengeluarkan laptopnya. 

"Nih, aku mau kirim video-video selama kita bareng ke email kamu." 

"Jadi..? Video-video selama ini itu... Buat...?" Neratha tampak berpikir, mencerna kejadian selama ini.

"Hari ini." Ujar Denata sambil tersenyum dan fokus mengirimkan video-video di laptopnya.

***

15.00 P.M.

Neratha terduduk di kasur empuknya. Sudah tiga bulan dia tinggal di Amsterdam, menjalani hari-hari barunya. Tanpa Denata, tanpa ucapan perpisahan, bahkan di hari keberangkatan pun Denata tak datang ke airport. Tidak kuat, alasannya. Sebuah video terputar di layar laptopnya.

"Hai, ini kencan pertama kami, pertama kalinya kami bisa makan berdua aja di sekolah, sepi-sepian." Tampak wajah Denata berseri-seri disana.

"Denaaa apaan sih?" 

"Loh kok panggil nama? Panggil aku sayang donk. Hahaha." Denata menatap Neratha yang sedang menutup wajahnya dengan sebelah tangan agar tidak terekam kamera.

"Sayaaang! Matiin gak kalo engaaaa-"

"Kalo enggak apa?" Denata masih tersenyum.

"Liat sini donk." Denata mencubit pinggang Neratha yang duduk disebelahnya.

"Ah! Kalo enggak aku cium! Hahaha!" Neratha memeluknya dari belakang, lalu mengecup pipi Denata sekilas.

"Lagi donk." Denata menoleh kearah kekasihnya. Mereka bertatapan sekarang.

"Enggak!" Air mata Neratha sudah menetes disini, tak kuat melihat kebersamaan mereka dulu.

"Tuh kan kamu lucu tau kalo cemberut." Tiba di scene berciuman, Neratha merasa kali ini ia sangat rindu bibir kekasihnya itu.

"Mmh! Udah jangan dilumat terus!" 

"Aduh. Tadi dijitakin, sekarang dijewer. Kamu nyakitin aku terus!" Ia rindu tawa kekasihnya itu.

"Ahaha! Yaudah balik yuk sayang." Ia rindu bergelayut manja di lengan Denata.

"Yaudah balik, tapi sebelumnya bilang I Love You dulu." 

"I love you 3000." 

"Kurang romantis." Denata tersenyum meremehkan. Ia rindu senyumnya itu.

"Ih! I love you 3000!!!" Neratha menjewer telinga Denata lagi, lebih keras dari yang tadi. Ia ingin menjewer telinga itu lagi.

"Adududuh dijewer lagi, sakit kan. I love you 3000. Hehe." Mereka sama-sama tersenyum kearah kamera sebelum videonya berakhir.

"I love you 3000 Den." Ucapnya sambil tersenyum dan mengusap air matanya.

Kebetulan ponselnya berdering. Denata.

"Hai sayang, lagi apa?" 

"Apaan sih sayang-sayang?" Neratha menjawab dengan ketus.

"Ih kok sengau? Habis nangis ya?" 

"Enggak." 

"..." Hening dua detik.

"Gak mau dipanggil sayang jadi kamu mau dipanggil apa? Sheyeeng? Lagi apa sheyeeng?" Denata menirukan suara anak kecil yang sedang viral di nistagram karena logatnya saat mengucapkan kata sayang ketika bermain film. 

"Denaaaa!" Neratha tak bisa menahan tawanya lagi. 

"Lagi duduk aja di kasur. Nonton video kita." Jawabnya.

"Hah? Video kita? Kita kan belum bikin videonya. Hehe." 

"Mesum!" 

"Hahaha iya tau. Bercanda kok bercanda." 

"Kamu lagi apa?" 

"Lagi di hotel." 

"Ngapain? Sama siapa? Dimana?" 

"Aduuh posesif deh. Belum dapat kamar, nanti lagi diurusin sama ajudan papa. Aku sendirian. Di deket sini kok."

"Kamu udah di Amerika?"

"Udah." 

Neratha diam. Tak menjawab lagi.

"Sheyeeng. Kok dhieem." 

"Kamu tuh ya. Bisaaaa aja." Neratha tertawa lagi.

"Vidcal yuk. Aku tau kamu kangen." 

"Kok kamu kurusan?" Denata menaikkan sebelah alisnya. Dia melihat Neratha pucat, kurus, tidak terawat.

"Emang segini kok." 

"Jangan kecapean. Jangan mikirin aku terus, aku gak selingkuh." 

"Biasa juga kamu yang takut disekingkuhin." Neratha tertawa geli mendengar pesan kekasihnya itu.

"Hahaha awas aja." 

***

17.00 P.M.

Neratha keluar dari kamar asramanya, ia hendak berkeliling sebentar. Jogging sore bukan ide buruk, kan? Ketika membuka pintu ia melihat tetangga di kamar sebelahnya sedang mengeluarkan koper dan dus berisi barang-barang.

"Hendrick, mau kemana?" 

"Hai Neratha. Aku mau pindah kamar."

"Kemana? Kok tiba-tiba?" 

"Ke lantai 3. Kamarku dibeli orang dengan harga yang mahal." 

"Wah kok mendadak?" 

"Iya dia mahasiswa pindahan. Tapi tidak masalah, aku untung kok." Hendrick tertawa senang.

"Wah dia pasti kaya banget ya." 

"Iya."

"Yaudah aku duluan ya. Bye."

"Bye."

***

07.00 A.M. 

Cuaca pagi ini cukup cerah, walau memiliki perbedaan waktu 5 jam dengan Indonesia, jam 7 pagi di Belanda matahari masih malu-malu untuk keluar. Pukul 6 pagi bisa dipastikan masih gelap. Neratha bersiap-siap untuk lari pagi. Kebiasaan barunya sejak pindah ke Belanda, dan mungkin karena jadwal kuliahnya tidak sepadat jadwal sekolah sehingga ia punya waktu santai yang lebih. Ia membuka pintu kamarnya bersiap untuk keluar dan...

"Selamat pagi, sayang." 

Orang itu berdiri disana dengan senyumnya. Neratha terbelalak. Ia mematung.

"Will you marry me?" Orang itu berlutut, membuka sebuah kotak kecil berisi cincin di hadapannya.

Neratha terkejut. Sangat-sangat terkejut. Ia menutup mulutnya.

"Kok bisa?!!" 

"Aku kuliah disini kok. Gak jadi ke Amerika. Nikah yuk?" 

Neratha menarik Denata ke kamarnya dan menguncinya dari dalam.

"Kamu serius pindah kesini?" 

"Iya kamarku di sebelah. Hehe."

"Kok gak bilang-bilang?!!" Neratha memekik senang. Ia memeluk Denata sambil lompat-lompat girang. Ia sangat sangat bahagia.

"Kan kejutan. Kalo bilang-bilang bukan kejutan namanya, bocoran." 

"Yaampun sayaaang. Aku seneng banget." Neratha menangkup wajah Denata dengan kedua tangannya. 

"So, will you marry me?" Denata bertanya sekali lagi.

"Of course I will!!" 

***





Hai readers... 

Kemarin malem part ini tuh judulnya Will You Say Goodbye..? Tapi karena gue lagi gabut jadi gue ganti deh... Dan memang ini alurnya bukan sad end kok. Hehehe judulnya galau amat. Finally, semoga malam kalian indah ya. 






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top