33. Counting Time
Hari demi hari berlalu, tak terasa sudah setengah semester dua terlewati. Siang ini di tengah cuaca yang panas Bu Rossi mengumpulkan kertas-kertas yang baru saja diisi siswa-siswa kelas 3 dari semua kelas. Murid-murid menuju kantin, sekedar membeli es teh manis, jus, es soda atau minuman penyegar lainnya. Di meja paling lebar di ujung berkumpul banyak siswa dari kelas 3.
"Tadi lu ngisi apaan?" Renata bertanya pada Denata yang duduk di depannya.
"Ekonomi, bisnis. Elu?" Denata menyeruput es soda gembiranya yang tampak menyegarkan.
"Psikologi."
"Wiih mantep." Denata mengacungkan jempolnya mendengar jurusan yang ingin Renata ambil saat kuliah nanti.
"Kamu ambil jurusan apa sayang?" Denata melirik gadis cantik di sampingnya.
"Seni musik atau sastra Inggris deh."
"Wow seleranya jauh banget sama Denata yang gak bisa apa-apa." Seloroh Renata.
"Apaan!" Denata melempar gumpalan tissue ke wajah Renata.
"Kalo kamu apa Van?" Neratha melirik Vania yang duduk di depannya.
"Psikologi, kedokteran." Jawabnya sambil tersenyum.
"Widiih mantep. Bisa buka praktek bareng." Balas Denata.
"Beda tapi ya. Nanti Vania bakal jadi psikiater sedangkan gue psikolog."
"Lah apa bedanya?" Denata menyedot es nya hingga tinggal seperempat.
"Kalo psikolog itu jurusannya psikologi. Kalo psikiater itu kedokteran. Nah, terus psikolog itu gak boleh ngasih obat ke pasiennya sedangkan psikiater boleh kasih resep obat sekaligus mendiagnosa gangguan jiwa." Jelas Renata.
"Bagus deh. Keren kalian. Mau bantuin banyak orang."
"Lah elu juga. Ngambil ekonomi buat nerusin bisnis bokap sama nenek elu kan?"
"Hahaha. Apapun itu, semua jurusan itu bermanfaat kok." Vania menyela.
"Ya sih bener. Lah kalo lu kemana Fan?" Roy baru bersuara.
"Tadi sih minat di hukum atau sastra Inggris." Jawab Refan.
"Lah elu kemana roy?" Renata yang bertanya.
"Ekonomi lah. Ngikutin bebeb gue, Denata." Renata, Neratha, Denata, Vania, dan Refan saling menatap satu sama lain. Lantas suara tawa mereka pecah. Tampaknya hanya Roy yang tidak mengetahui apa-apa.
"Eh napa sih lu pada?" Roy bingung.
"Gapapa. Terus kampus mana?" Sambung Refan. Matanya menatap Neratha yang sedang menikmati semangkok es teler, menanti jawaban. Denata menatap Refan dengan tatapan tajam, tapi cuma Renata yang sadar akan tatapan itu.
"Gatau nih galau banget." Malah Roy yang menjawab.
"Entar aja dipikirin." Sahut Renata.
"Iya masih gatau nih. Bagus semua sih." Sambung Vania.
"Kalo kamu kemana, Tha?" Refan memegang tangan kiri Neratha yang sedang nganggur di meja.
"Eh? Belanda kayaknya. Rekomendasi kepala sekolah." Jawab Neratha, lalu menarik tangannya yang disentuh Refan. Takut terjadi perang dunia ketiga. Refan sedikit kecewa, Denata puas melihat muka kecewa Refan.
"Hah?! Rekomendasi kepala sekolah?" Denata baru sadar mendengar kalimat itu.
"Iya. Dia mau kasih kesempatan beasiswa kesana katanya." Neratha menatap pacarnya yang terkejut itu.
"Buat berapa orang?" Refan penasaran.
"Gak tau."
"Tanya ah, manatau bisa sama kamu. Yuk Roy temenin gue." Refan tersenyum mengkhayal. Ia pergi bersama Roy menuju ruang kepala sekolah.
"Apa kata kepala sekolah?" Selidik Denata
"Katanya kamu juga ikutan seleksi ini."
"Hah? Kenapa kamu gak bilang waktu itu?"
"Gimana mau bilang dia dimarahin kok." Sambar Renata.
"Iya juga ya." Denata menunduk. Neratha masih dengan santai menikmati esnya.
"Kamu jadi ke Amerika?" Tanya Neratha tiba-tiba. Denata mengangguk.
"Bagus deh." Balasnya, tak acuh. Melihat Neratha yang bersikap seperti ini membuat hati Denata sedikit terkoyak.
"Kok kamu gitu sih?"
"Terus aku harus apa? Aku gak bisa apa-apa. Lagian kalo ini gak dapet aku mau di negeri aja. Yang jelas aku gak ngelarang kamu mau kemana." Neratha beranjak dari bangkunya, kembali duluan ke kelas.
"Kalo soal pemikiran masih kalah dewasa lu, Den. Dasar posesif." Renata berkomentar.
"Ah bawel!"
***
"Iya. Nama kamu memang terdaftar karena Universitasnya meminta calon-calon terbaik. Jadi bapak masukkan nama kamu."
"Kok bapak gak bilang ke saya?"
"Ya belum semuanya bapak panggil. Kan bapak sibuk."
"Baik pak. Terima kasih informasinya. Permisi." Denata lega sekali ternyata ini semua ulah Kepala Sekolah, bukan rencana Neratha. Ia berjalan ke ruang multi media untuk pelajaran selanjutnya. Kelas sudah cukup ramai, dia berjalan mengambil tempat disamping Neratha.
"Eh darimana?"
"Biasa. Keliling." Senyum tak lepas dari wajah Denata.
"Kok kamu seneng banget kayaknya? Ada apa nih?"
"Hehehe. Gapapa. Gara-gara AC nya dingin banget kali ya disini."
"Apaan gak nyambung banget woi alasan lu." Renata yang duduk di sebelah Neratha akhirnya buka suara melihat alasan konyol temannya.
"Ah berisik lu Ren."
"Duh ini kok gak bisa dibuka ya."
"Mana? Sini. Oh ini... Gini... Klik aja ini, di ekstrak dulu file nya." Denata berdiri dari bangkunya, menyentuh tangan Neratha yang juga sedang memegang mouse. Mendekapnya dari belakang. Dekap tak langsung sih sebenarnya. Kan niatnya bantuin doank.
"Udah."
"Cieee lomantis banget sih kakak. Tuh Neratha salting sampe merah mukanya dibantuin dari belakang."
"Hahahaha. Jangan gangguin pacar orang terus kenapa sih Ren?" Ujarnya pelan. Neratha masih diam saja, salah tingkah. Tak lama kemudian seorang guru muda cantik dengan kemeja putih dan rok pendek cokelat memasuki ruang multi media.
"Attention please. Greet to the teacher." Neratha memberi aba-aba.
"Good day, teacher." Seluruh murid memberi salam.
"Wah, Miss Jeany tambah cantik deh."
"Eling dikit napa sih Ren." Denata menggeleng beberapa kali melihat hobi unik temannya ini. Mengomentari penampilan guru.
***
Gedung sekolah sudah sepi, setelah kelas selesai Neratha dan Denata keluar paling akhir.
"Kamu kenapa sih?" Neratha bingung melihat pacarnya tersenyum terus sepanjang siang hingga sore.
"Gapapa." Masih tersenyum.
"Jangan bikin aku takut."
"Lah takut kenapa coba? Hahaha." Denata tertawa seperti biasa tapi Neratha malah tambah takut.
"Lagi seneng banget kayaknya."
"Ya bagus donk? Kamu gak seneng liat aku seneng?"
"Ya seneng donk. Tapi kan aneh aja tiba-tiba."
"Kita bakal ketemu lagi, Tha. Aku di daftarin kepala sekolah ke Belanda." Ujarnya, senang.
"Loh memang kan?" Neratha menoleh, menatap Denata dengan heran.
"Aku baru tau tadi. Hehehe."
"Hah?! Bapak gak bilang?"
"Enggak." Denata menggeleng.
"Yaampun pantesan kamu marahnya sampe kayak gitu." Neratha menepuk dahinya.
"Maafin aku ya sayang." Denata menggenggam tangan kekasihnya itu dan lanjut berlajan.
"Iya maafin aku juga." Neratha menyender di bahunya.
"Hobi amat nyender sambil jalan deh."
"Ehehe suru siapa kamu lebih tinggi."
"Dasaaar." Ia mengacak rambut Neratha lalu merangkulnya. Ide jahilnya muncul, ia merogoh kantong roknya dan mengambil ponsel.
"Haiii, sore ini kami lagi jalan balik ke asrama. Jalanan serasa milik berdua. Hahaha."
"Iih sayaaang jangan main video mulu!"
Denata tersenyum, ia sangat menikmati kemesraan ini.
***
Diperbaharui... Salah kasih nomor ding. Wkwkwk udah nomor 33
Diperbaharui lagi, salah ketik greet sama great wkwkwk Makasih Kak Kyra udah ngingetin...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top