32. Guardian Angel
Aku terbangun dengan posisi kasur di sebelahku kosong. Kulirik jam dinding, masih pukul 6. Dia sudah kembali ke kamarnya tanpa membangunkanku, baiklah sudah saatnya bersiap-siap ke sekolah. Sekitar setengah jam kemudian aku siap, mengambil ranselku, mengambil kunci kamar dan bergegas membuka pintu.
"Pagi." Sapanya. Dia sudah berdiri disana sambil tersenyum. Pagi ini dia mengenakan jaket tracktopnya dengan rambut yang diikat satu. Membuatnya terlihat semakin cantik.
"Pagi sayang." balasku sambil mengunci pintu kamar.
"Yuk." Aku menggandeng tangannya dengan perasaan senang.
"Kamu.. belum makan kan?"
"Belum. Nanti aja."
"Jangan." Denata berhenti berjalan. Dia membuka ranselnya.
"Nih." Lalu menyodorkan sebuah kotak bekal padaku.
"Waaah roti isi. Kok tumben?" Aku mengambil setangkup roti tawar isi selai cokelat yang dibuatnya.
"Iya. Tadi kepagian bangunnya."
"Jam berapa?"
"5."
"Hah pagi banget? Terus langsung bikin sarapan?"
"Enggak. Mandangin kamu dulu. Hahaha." Jawabannya sukses membuatku malu.
"Ih nyebelin. Napa gak dibangunin sih aku?"
"Kasian ngantuk gitu dibangunin." Dia tertawa kecil.
"Enak loh. Pinter kamu buatnya. Nih." Aku memberinya segigit.
"Ehm enak banget deh. Tadi gak seenak ini." Ia memasang wajah serius.
"Ah masa?" Tanyaku, penasaran.
"Iya. Mungkin... Karena ini bekas kamu ya? Hahahaha!" Dia bercanda rupanya. Menyebalkan.
"Mau yang lebih kerasa lagi bekasnya?" Aku menaikkan sedikit alisku, menantangnya.
"Boleh." Ia tersenyum sinis, memajukan wajahnya.
"Eh minggir. Ngalangin jalan aja mesra-mesraan pagi-pagi." Renata berjalan melewati kami.
"Yeh ganggu aja sih!" Denata memukul bahu Renata dari belakang.
"Eh kayaknya ada yang beda deh dari kalian." Kening Renata berkerut, memperhatikan kami bergantian.
"Apanya?" Tanyaku.
"Dasi hahahaha. Duluan ya. Sebelum gue jadi obat nyamuk." Renata bergegas mendahului kami. Denata tersenyum saja, mengambil ponselnya.
"Haiiii kami lagi jalan nih mau ke sekolah. Dia lagi makan roti tawar buatan aku."
"Iiih sayang, matiin gak?!" Aku berusaha mengambil ponselnya. Dia nge-vlog lagi.
"Enggak. Hahaha. Liat sini donk kamunya." Ia merangkul bahuku.
"Ini apa? Video doank kan?" Tanyaku.
"Live instagram." Jawabnya santai sambil tersenyum tipis.
"Hah?!!" Mataku terbelalak. Kaget.
"Hahaha ya video pribadi lah." Ia tertawa jahil. Menyebalkan sekali manusia satu ini.
"Ayo buruan nanti telat!" Aku menarik tangannya kuat-kuat.
***
Jam istirahat sudah berlangsung selama 15 menit. Murid-murid memenuhi kantin, tapi dia tak kunjung kembali dari toilet. Ponselnya ia titipkan padaku. Pandanganku mengitari isi kantin tapi tak kutangkap juga sosoknya ada disini.
"Ren. Bentar ya."
"Kemana?" Renata yang sedang ngobrol dengan Vania menoleh sekilas padaku.
"Nyari Etha." Ia mengangguk setelahnya.
Aku berjalan menuju toilet. Sepi.
"Tha?" Aku melangkah masuk.
"Tha? Kamu disini?"
"Dena!" Aku mendengar suara dari bilik paling ujung.
"Tha?"
"Iya. Tolongin."
"Kamu kenapa? Buka pintunya!" Dia membuka pintunya, lalu duduk kembali ke kloset yang tertutup.
"Aku tembus." Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan.
"Aku cariin pembalut ya?"
"Aku maluuuu. Tadi sepanjang jalan murid-murid pada ngeliatin. Cowo-cowo juga."
"Siapa aja??!"
"Ya banyak."
"Udah ya kamu tunggu disini jangan kemana-mana." Aku segera keluar toilet, menuju ruang kesehatan untuk mengambil pembalut dan celana ganti yang baru, kemudian menuju koperasi sekolah untuk mengambil rok baru.
"Sayang, buka donk." Beberapa siswi menatap kearahku, tapi aku tak peduli. Toh ini cuma di toilet. Neratha membuka pintu.
"Nih. Rok lamanya masukin ke kantong plastik aja." Ia melangkah keluar sedikit, mengambilnya, lalu melihat tatapan siswi-siswi yang sedang memperhatikan kami.
"Apa lihat-lihat?!" Bentakku. Lalu mereka langsung membuang muka dan bergegas keluar toilet. Neratha masuk lagi ke biliknya. Mukanya pucat. Tak lama kemudian dia keluar.
"Udah?" Tanyaku. Ia mengangguk saja. Sepertinya sedang badmood.
"Sini plastiknya." Aku meraih kantong plastik berisi rok lamanya yang terkena noda merah.
"Kamu udah makan?" Tanyanya.
"Nanti aja."
"Maaf ya gara-gara aku doank kamu jadi gak makan." Ia menunduk lesu.
"Gak masalah. Yuk balik ke kelas. Bentar lagi masuk." Aku menggenggam tangannya.
"Den, tadi kamu panggil aku apa?" Tanyanya.
"Sayang?" Ujarku.
"Aku seneng banget." Dia tersenyum. Oh Tuhan, kenapa kau ciptakan malaikat dengan senyum secantik ini?
"Oh iya ini hp kamu." Aku mengembalikan ponselnya.
"Thank you. Tembus gak?"
"Enggak."
Baru berjalan 10 langkah dia bertanya lagi.
"Tembus gak?"
"Enggaaaak."
Berjalan lagi 5 langkah dan ia bertanya lagi.
"Tembus gak?"
"Tembus tuh banyak banget." Jawabku asal.
"Haaah?!" Wajahnya mendadak pucat.
"Enggak kok. Boong."
"Ih jahat! Bikin panik aja!" Dia meninju lenganku.
"Hahaha."
Kami berjalan lagi. Di depan kami ada segerombolan anak laki-laki. Melihat kami dengan tatapan mata tak biasa. Lalu salah satu dari mereka menatapi Neratha dan melakukan catcalling sambil bersiul dan bermain mata.
"Bodynya..." Ujar salah satu temannya.
Tanpa ba-bi-bu langsung saja kuhabisi mereka ditempat. Kutendang salah satunya sampai tersungkur dan kutarik kerah baju temannya yang satu lagi. Setelahnya sudah dapat kupastikan matanya mendapat bekas biru.
"Denaaa! Stop!" Neratha memekik panik. Ia menarikku. Tapi tak semudah itu, teman-temannya yang lain ikut menyeretku. Dan terjadilah perkelahian yang tak sebanding jumlahnya. Beberapa murid sudah berkerumun, menonton.
"Kalian! Berhenti sekarang!" Miss Rossi berteriak dari ujung. Ia berjalan cepat setengah berlari sambil membawa penggaris kayu panjang.
"KE RUANG BP SEKARANG!" Ia menarik bangun beberapa anak laki-laki yang tersungkur kesakitan di lantai.
"Semuanya! Sekarang!" Mereka berjalan sambil merintih kesakitan menuju ruang BP.
"Kamu juga Dena!" Bu Rossi berjalan meninggalkanku.
"Mata kamu!" Neratha menyentuh wajahku. Ia menatapku dengan ekspresi orang ngilu.
"Gapapa. It's okay. Kamu balik aja ke kelas."
"Gak bisa. Aku harus ikut." Paksanya.
"Balik. Aku bisa selesain ini." Aku menggenggam kedua tangannya.
"Nih. Pake." Aku membuka jaketku dan melilitkan di pinggangnya. Setelahnya aku berjalan menuju ruang BP.
"Kalian lari keliling lapangan sekarang!" Bu Rossi menghukum gerombolan siswa laki-laki itu setelah mendengar penjelasanku. Dia geram melihat tingkah laku mereka yang tidak bisa menghargai wanita. Dan perbuatan mereka sudah masuk ke dalam tindakan pelecehan verbal. Aku mengusulkan tindakan DO tapi Bu Rossi menolaknya. Katanya, usulanku selalu terlalu kejam.
***
"Ssh.. aw!" Aku merintih kesakitan. Neratha menekan lukaku dengan handuk hangat.
"Makanya jangan emosian, berantem terus kayak preman aja." Ia cemberut kesal.
"Ya siapa yang terima coba pacarnya digituin? Aw!"
"Ya biarin aja lah. Ngapain diladenin sih?"
"Gak bisa. Kamu tuh pacar aku."
"Ya terus kenapa kalo pacar kamu?!"
"Aku harus jagain. Kalo gini aja aku gak bisa ngelindungin kamu gimana nanti?" Aku tersenyum.
"Gak usah senyum-senyum!" Bentaknya.
"Ih galak. Kenapa deh? Tambah cantik ya kalo senyum sambil mejam?" Aku tertawa kecil.
"Rese." Dia menjawab pelan.
"Kamu jadi luka kan." Ia mengoleskan salep ke luka di mataku. Aku masih terpejam.
"Ya berantem pasti luka lah." Jawabku santai.
"Kamu tuh mikir gak sih aku jantungan liat kamu dikeroyok?! Kamu tuh ya-"
Aku membungkam bibirnya dengan bibirku. Dia berisik sekali. Aku melumat bibir atas dan bawahnya bergantian. Kami menikmatinya selama beberapa saat.
"Udah? Tidur yuk ngantuk." Ajakku. Ia hanya mengangguk.
"Makasih." Ujarnya pelan.
"Hmm? Apa gak denger? Lebih keras!" Ujarku sambil tertawa kecil.
"Rese!" Dia membelakangiku.
"Hahaha. Bercanda doank ih ngambek. Have a nice dream ya." Aku memeluknya dari belakang dan mencium keningnya pelan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top