30. Ada mendung di wajahmu
Lorong koridor di gedung yang bernuansa cokelat ini masih sepi. Beberapa siswa mungkin sudah tiba di kelas atau belum tiba di asrama karena ini masih hari pertama semester genap dimulai. Aku berjalan menuju kamarku, meletakkan ransel berisi barang-barangku dan segera bersiap menuju kelas. Sebenarnya tadi Kak Alvian sempat menawarkanku membawakan barang-barang ke kamar saat melihatku sedikit repot tapi aku menolaknya, tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan jika ia tiba-tiba berinisiatif mencari Denata diatas sana. Segera aku bergerak menuju sekolah setelah melihat jam di tanganku menunjukkan pukul 7 kurang 10 menit.
"Eh Tha! Apa kabar?" Renata yang masih mengenakan celana pendek dan kaos putih menyapaku yang lewat di depan kamarnya. Wajahnya tersenyum cerah.
"Hai. Baik Ren. Apakabar?" aku tersenyum padanya.
"Baiiik. Eh udah rapi aja pake seragam? Semangat banget kayaknya mau ke sekolah? Hahaha"
"Iya dari rumah tadi udah siap kok sengaja biar gak lama siap-siapnya disini."
"Bantuin si Dena tuh, ngiket dasi gak rapi mulu daritadi." ujar Renata sambil membuka pintu kamarnya.
"Dia di dalem?" tanyaku dengan suara pelan.
"Iya. Masuk yuk Tha!" Renata berteriak ke arah dalam kamar sambil tertawa jahil. Aku mendengar bunyi barang jatuh dari dalam.
"Nggg..." aku ragu. Sangat ragu. Pikirku, ingin sekali masuk ke dalam sana dan melihatnya lagi. Tapi melihat sikapnya yang benar-benar tidak menghubungiku sama sekali selama sisa hari libur sejak kejadian hari itu, aku mengurungkan niatku.
"Enggak deh. Aku duluan. Daah." aku melambaikan tanganku sambil tersenyum kecil pada Renata. Setelahnya aku beranjak ke sekolah. Jangan nangis. Jangan nangis sekarang, Tha. Nanti. Tahan... Tahan.
***
"Aaah gagal deh rencana gue."
"Lu tuh ngapain sih Ren?!" aku berteriak kesal. Bisa-bisanya Renata menyuruhnya masuk ke kamar.
"Kaget banget ya Den sampe nabrak piala elu?"
"Menurut lu?!" aku kesal sekali, untung anak ini temanku kalau bukan sudah kuhajar dia.
"Ya tegur aja kali. Lu sih marahnya gitu banget." Renata mencibirku dari tempat duduknya.
"Dia juga gak nyari gue."
"Ya elu pake bilang jangan hubungin elu dulu. Ya sedihlah dia."
"Lu tuh gak tau rasanya gimana jadi gue!" aku berbalik menghadap Renata sambil membuang dasi sialku ini yang masih tidak mau juga terpasang dengan benar.
"Iya.. iya... ampun." Renata mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Aku berbalik, menatap kaca di lemari, menunduk. Menghembuskan napas keras, menarik napas dalam-dalam, mengeluarkannya pelan-pelan. Tapi air mataku jatuh lagi. Selalu. Setiap mengingatnya.
"Kenapa gak lu chat sih?" Renata mencicit di belakangku. Dia berjalan mendekat, memungut dasiku.
"Gue mau liat apa dia nyari gue. Tapi ternyata enggak." jawabku lemas.
"Ya coba lu sapa dia duluan atau apa den. Tadi dia baik-baik aja kok. Kalo denger cerita elu sih kayaknya dia cuma ngikutin kemauan lu aja makanya dia gak nyari."
"Gak. Gue gak siap."
"Terus kalian mau sampai kapan diem-dieman?"
"..."
"Sampai lulus?"
"Gatau."
"Lu mau cuma bisa liat dia dari jauh aja kayak yang lu lakuin pas kalian berantem kemarin?"
"Gak tau Ren."
"Iya? Mau habisin berapa lagi lu buat nyewa grab dan ngeliatin dia dari jauh? Kayak stalker tau gak."
"Gatau." aku menghapus bayangan yang muncul di kepalaku sekarang. Bayangan potongan-potongan memori selama liburan, saat aku berkunjung ke panti asuhan tempat ia berdiam hanya untuk melihatnya diam-diam.
"Lu mau putus Den?" aku meninju kaca lemari di depanku mendengar kalimat itu.
"Udah ayo ke sekolah deh."
"Duluan aja." aku tak berniat melihatnya.
"Yaudah gue duluan. Nangisnya jangan lama-lama. Udah cukup lu nangis terus pas liburan kemarin." Renata menutup pintu kamar dari luar setelahnya suaranya tak terdengar lagi.
***
Kelas sudah dimulai 30 menit tapi dia tak kunjung datang. Sepertinya dia bolos jam pertama. Mata pelajaran sosiologi dengan Ibu guru yang lumayan galak membuat suasana kelas kali ini lumayan senyap. Selang 30 menit kemudian dia muncul, dengan seragam yang kusut, wajah sembab, vest tanpa dasi.
"Denata! Kamu kira ini jam berapa?"
"Jam 8 Bu." sontak seluruh kelas menertawakan jawabannya.
"Kamu nantangin saya?" Bu Anya melangkah mendekat padanya dengan tatapan tajam.
"Enggak Bu."
"Apa-apaan seragam kamu? Kemeja putih masukkan ke dalam! Apa ini keluar-keluar?! Mana dasi kamu?! Sudah datang terlambat! Sekarang kamu masuk ke ruang BK!" jeritnya sambil menunjuk pintu keluar. Dan dia dengan wajah kusut yang cuek, melangkah begitu saja keluar kelas. Apa-apaan ini? Setelah Bu Anya kembali duduk di bangkunya, tak lama kemudian aku meminta izinnya untuk pergi ke toilet. Maaf ya Bu, saya harus bohong sama Ibu. Tapi orang yang lagi saya buntutin dari belakang ini lebih penting dari Ibu, mata pelajaran Ibu atau dari apapun.
***
"Saya tau ini sekolah kamu. Tapi kamu harus memberikan contoh yang baik pada adik-adik kelas dan teman-teman kamu, Dena! Kamu ketua OSIS!"
"..."
"Kamu ada masalah apa?"
"..." aku hanya menggeleng.
"Dena! Tatap saya kalau lagi bicara!" aku menurut saja, menatapnya, supaya ini cepat selesai.
"Kamu harus cari dasi sekarang! Kalau nanti siang saya cek kamu belum juga pakai dasi, saya skors kamu! Sekarang kembali ke kelas!"
Aku mengangguk saja dan berjalan keluar ruangan, dan menuju kelas.
"Denata! Siapa suruh kamu kembali ke sini?"
"Bu Rossi, Bu."
"Keluar! Tanpa dasi kamu tidak boleh masuk! Ini hari pertama semester dua! Berdiri di depan!"
ah guru sial.
***
Aku segera berbelok memutar ke belakang setelah melihatnya diusir keluar kelas. Aduh kalau sudah begini bagaimana caranya aku masuk ke kelas?!
"Ah!" jantungku nyaris copot ke lambung saat sebuah tangan menepuk pundakku dari belakang.
"Ngapain?" Ternyata Refan.
"Gapapa. Engg... Mau ke perpus."
"Denata kenapa?" aku hanya menggeleng pelan sambil tersenyum kikuk.
"Yaudah aku ikut ke perpus. Lagi jam kosong." Refan menarik tanganku.
Sampai di perpustakaan kami hanya terdiam di meja sambil membaca buku masing-masing.
"Lagi berantem?"
"Hah?"
"Kamu. Lagi berantem sama Dena?"
"Engg....gak kok." jawabku kikuk.
"Aku liat kamu buntutin dia tadi sampai ruang BK, sampai kamu balik tiba-tiba tadi kok."
"Engg....gak salah lagi." aku menyerah. Refan sudah bisa membaca situasinya.
"Kenapa?"
"Gatau."
"Kok gatau?"
"Males." aku jengah mengingat kejadian hari itu. Hari dimana dia meninggalkanku tanpa rasa. Dia benar-benar meninggalkanku menangis disana sendirian. Dan kalimat terakhirnya sungguh menyakitkan. Dia tidak tahu bagaimana susahnya aku harus tetap bertahan seperti tidak ada apa-apa, seperti semuanya baik-baik saja. Bagaimana susahnya menahan tangis yang hanya bisa kau tumpahkan sendirian tanpa ada seorangpun yang tahu.
"Yaudah kalo males, makan nih." Refan menyodorkan sebatang chunky bar kearahku.
"Gak mau."
"Kenapa? Kan kamu suka cokelat?"
"Gak ada air minumnya. Seret." jawabku asal.
"Hahaha! Sekarang aku beliin!" Refan berdiri tegak dari tempat duduknya. Aku menahan tangannya, ia menatapku dengan tatapan "kenapa?" tapi aku menarik tangannya untuk duduk.
"Oooh mau ditemenin. Ngajak main telepati sekarang?" ia tertawa jahil.
"Ih apaan sih?" aku mendengus geli. Kami diam disana sampai jam pelajaran berganti. Tapi begitu keluar dari perpustakaan aku melihatnya, tatapan mata kami bertemu. Dia menatapku, dengan pandangan mata yang sulit diartikan. Tatapan mata terluka. Ia segera pergi darisana.
"Dena!"
"Refan! Jangan." aku memarahi Refan yang memanggil namanya.
"Tha, mending selesain baik-baik." aku tidak menghiraukan Refan, aku masih menatap punggungnya yang semakin menjauh. Ah sial, mau salah paham berapa kali lagi sih? Aku deja vu melihat tatapan matanya itu. Tatapan mata yang sama seperti hari dimana ia melihat Refan memelukku.
***
"Dena mana sih?" Renata gusar daritadi. Siang ini akan ada pertemuan besar antara OSIS, guru-guru, dan tamu dari universitas.
"Nita dan tim dokumentasi, kalian cari di gedung IPA kalo gak ada di gedung IPS!." perintah Roy.
"Ini semua orang udah kumpul tinggal dia doank! Acara bentar lagi woi!" Roy panik.
"Tha, please cari donk jangan diem aja." Renata memohon padaku.
"Reeen." aku menatapnya dengan tatapan cemas dan nanar.
"Tha, kita lagi urgent nih. Jujur dia tuh mau nyapa lu kok tapi gak tau caranya. Bawa dia balik ya, ya, ya?" Tepat saat Renata memohon pintu ruang pertemuan terbuka. Denata datang. Wajah semua anggota berubah lega. Ia berjalan ke bangku paling belakang.
"Dena! Lu darimana?!" Renata bergegas mendekatinya, disusul olehku dan Roy dibelakangnya.
"Nyiapin presentasi." jawabnya tak acuh.
"Nanti presentasi sama Neratha ya." ujar Roy, yang duduk di meja depannya. Sedangkan aku hanya diam di belakang Renata dan Roy.
"Hah? Enggak. Gue sendirian. Ini tugas gue kok." Ia tampak sibuk dengan laptopnya. Roy dan Renata bertatapan. Ada raut cemas di wajahnya.
"Silahkan Pak." Pak Kepala Sekolah memasuki ruangan bersama tamu-tamu dan guru-guru lainnya. Semua murid bersiap di tempat duduknya masing-masing. Aku tanpa pikir panjang duduk disebelahnya. Ia diam saja. Dingin, seperti biasa jika sedang marah. Dasar batu es.
"Den." setengah mati aku mengumpulkan keberanian memanggil namanya.
"..." tak ada jawaban, dia menatap lurus ke laptopnya dengan tatapan dingin.
"Den, ada Bu Rossi." dia masih diam saja. Aku tak tahan lagi, sebentar lagi Pak Kepala sekolah selesai memberikan kata sambutannya di depan sana. Aku membuka dasiku, lantas mengalungkan dasiku ke lehernya dari arah belakangnya.
"Kamu ngapain?!" Dia tersentak kaget, menepis tanganku kasar. Sakit. Tapi tak urung kusentuh lagi dasi yang belum terikat di lehernya.
"Liat ke atas. Bentar lagi kamu dipanggil," Titahku. Ia akhirnya diam lagi, kepalanya sedikit mendongak keatas, memberiku ruang untuk memasangkan dasi di lehernya.
"Masukin ke vest." ujarku pelan. Dia diam saja sambil merapikan dasinya.
"Selanjutnya kami persilahkan anak murid kami, Denata Praditya Agatha untuk mempresentasikan profil sekolah. Kepada Denata silahkan mengambil tempat." setelah dipanggil kepala sekolah, ia segera berjalan ke depan sambil membawa laptopnya. Ia presentasi seperti biasa, hanya saja hari ini ada mendung di wajahnya.
***
"Den!" suaranya. Dia memanggilku. Ingin rasanya menoleh ke belakang, tapi aku harus bilang apa? Kuputuskan untuk berjalan dulu sampai keluar gerbang sekolah.
"Dena!" ia memanggilku lagi. Aku masih berjalan, tapi kulambatkan langkahku. Kuputuskan untuk menoleh ke belakang, tapi yang kulihat sekarang malah Refan yang menahan tangannya dan entah berbicara apa padanya. Baiklah, mungkin belum saatnya kita bicara hari ini. Dia menoleh kearahku lagi, aku hanya diam menatapnya. Selama beberapa saat kami hanya bertatapan tanpa kata, dari sorot matanya aku yakin ia menyampaikan sejuta rindunya padaku. Akupun sama. Kuharap kau pun tau rasanya. Aku berbalik, berjalan menjauh darinya.
***
"Den!" aku memanggilnya yang berjalan cepat di depanku. Ia masih berjalan hingga mendekati gerbang sekolah.
"Dena!" aku memanggilnya lagi dengan lebih keras.
"Tha! Tunggu."
"Refan?"
"Bareng yuk?" ia tersenyum menatapku.
"Fan, jangan sekarang." Anak ini kenapa sih datang di waktu yang tidak tepat terus?
"Belum baikan?" tanyanya. Aku mengalihkan pandanganku, menatap orang yang berjalan di depanku. Orang itu menatapku. Orang itu menatapku??! Dia menatapku! Dan kuperhatikan masih ada mendung di wajahnya. Sampaikah rasa rinduku ini padamu? Kuharap kau pun merasakannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top