29. Retak

Pagi itu cuaca dingin. Dua orang terbangun di dua tempat berbeda. Membuka matanya, dan melakukan aktivitas harian yang berbeda pula. Di tempatnya Neratha sudah menyiapkan sarapan untuk adik-adiknya di panti. Sedangkan Denata sedang bersiap sebelum menikmati sarapan pagi dengan tenangnya.

"Sini kubantuin." Alvian datang mendekat sambil mengambil dua piring berisi nasi goreng panas lengkap dengan telur dadar dari tangan Neratha.

"Makasih Kak." Neratha berjalan kembali kearah kompor.

"Ih, wangi." 

"Iya dul, kayak nasi goreng."

"Eh kamu jangan ngalangin jalan ah tong!"

"Pagiiii! Ih kakak udah masak!" 

"Eh kalian udah bangun? Pagi." Alvian menoleh ke sebelah kanan, arah ruang tamu. Ada anak-anak sedang mengintip dari tembok sebelahnya. 

"Sini sini ayo duduk." Neratha mendekati adik-adiknya yang baru bangun.

"Kak! Ini si gundul bangunin kami gara-gara cium wangi masakan." Seorang bocah laki-laki tambun dengan rambut pendeknya menunjuk anak gundul di sampingnya yang bertubuh kurus.

"Iya tapi kan kamu yang langsung tau itu nasi goreng. Dasar gentong!" Si gundul tak mau kalah suara.

"Hahaha. Bacot ah! Ayo makan!" Seorang gadis kecil imut disamping si gundul yang gigi depannya belum tumbuh semua langsung bergerak mengambil piring di dekatnya.

"Eeeh, Dera, siapa yang ngajarin kamu ngomong gitu? Gak boleh ya sayang." Neratha mendekati gadis kecil berbaju pink yang rambutnya diikat dua itu.

"Nistagram kak." Jawabnya polos, seperti anak umur 6 tahun pada umumnya.

"Insta!!" Jerit si gundul.

"Habis banyak yang nista orang di sana. Mulut netijen." Si gentong menambahkan.

"Andre, Asep, Dera, jangan kebanyakan main hp ya sayang. Denger gak pesan kakak apa?" 

"Iya kak. Belajaaarrrr." Jawab ketiganya sambil menunduk, sedikit merasa bersalah.

"Ini nih kak si asep main hp terus. Marahin Kak." Anak tambun yang bernama Andre tadi senang sekali melihat temannya teraniaya.

"Boong kak. Asep belajar kok." 

"Yaudah, sekarang kalian makan dulu ya. Habis makan nanti kita belajar bareng. Kakak mau ke lantai 2 dulu bangunin temen-temen yang lain." Neratha tersenyum melihat adik-adiknya makan, dia hendak berdiri tapi bahunya ditahan.

"Kamu makan aja, aku aja yang naik." Alvian dengan sigap mendahuluinya menuju lantai atas. Tak lama kemudian sekitar 10 orang anak-anak turun ke meja makan. Mereka menikmati sarapan dengan tenang.

Di tempat yang lain, Denata sedang berbincang hangat dengan neneknya. Berdua saja di rumah yang besar itu.

"Kaki nenek sering sakit kalau berdiri lama-lama sekarang." 

"Makanya nenek jangan berdiri, duduk aja." 

"Gabisa, nenek kan suka jalan."

***

"Jadi? Kamu beneran mau ke Belanda?" Alvian bertanya pada Neratha yang berjalan di sampingnya. Mereka baru saja keluar dari pusat perbelanjaan, belanja bulanan.

"Masih seleksi sih Kak. Gak tau. Kan aku sebenernya pengen negeri aja."

"Enakan ke Belanda. Dapet cowo bule. Hahaha." 

"Ih kakak. Kan gak nyari cowo kesana." 

"Eh temen kamu mau kemana?"

"Denata?" 

"Iya."

"Kami belum bahas tentang ini lagi sih." Neratha tersenyum kecil.

"Suru kuliah sama Kakak aja. Hahaha."

"Apaan. Hahaha." 

"Temen kamu cantik, Tha. Kenalin donk. Kakak mau pe-de-ka-te." Neratha langsung tersenyum kecut. Ia tanpa dibuat-buat menginjak kaki Alvian dengan sepatunya. Alvian yang hanya mengenakan sendal gaya itu lantas menjerit.

"Aw!" 

"Eh maaf Kak maaf. Gak liat. Hehe. Pisss."

***

"Ay" Denata membaca chat yang masuk ke hpnya.

"Apaan dah ay ay ay, emang gue ayam." Balasnya.

"Ih kok galak sih :-(" 

"Biarrrr" denata yang sedang ngemil pizza sambil nonton tv layar lebar di ruang tamunya tersenyum senang.

"Kangen. :-(" senyumnya hilang mendadak begitu membaca pesan ini. Dia juga sama. Kangen. 

"Miss you so bad." Balasnya. Tapi selang 20 menit pesannya belum juga dibalas.

"Ih apaan sih. Kok tiba-tiba nelpon. Aku lagi ganti baju." Neratha membalas pesannya setelah ia ditelepon 3 kali.

"Ih apaan sih nge-video call! Dasar mesum!" Neratha mengirim voice note sambil berteriak marah pada Denata.

"Hahahaha!" Denata segera menekan tombol panggilan di whatsappnya. 

"Hai.." dan dimulailah percakapan biasa layaknya dua gadis yang sedang kasmaran jarak jauh. Sekitar 2 jam kemudian, denata mematikan ponselnya.

"Bye.. Miss you too. I love you 3000." Ia menghembuskan napasnya sambil menatap foto di wallpapernya, foto Neratha yang ia ambil diam-diam saat rapat OSIS. 

"Habis nelepon siapa kamu?"

"Anjiiir!!" Jeritnya. Kaget. Untung ia menjerit dalam hati.

"Nenek. Ah anu.. itu... Hehe. Temen Nek. Besok nenek ada acara?" 

"Gak ada. Nanti akhir bulan nenek ada acaranya. Rapat umum pemegang saham."

"Besok jalan-jalan yuk Nek."

"Kemana?"

"Bakti sosial Nek." Denata tersenyum senang.

***

Keesokan paginya, suasana panti asuhan mendadak lebih rapi dari biasanya. Pemilik panti berkata bahwa akan ada donatur yang datang hari ini. Tapi Neratha tak pernah menyangka orang itu adalah Denata dan Neneknya. Setelah berkunjung selama 3 jam, mereka pamit pulang.

"Hahaha. Lucu banget deh kamu. Dadah." Ia sedang mencubit pipi Andre yang gembul. Andre mengantar Nenek berjalan hingga menuju mobil.

"Makasih ya." Neratha mendekat, mengantar Denata ke pintu keluar. Neneknya sudah menunggu di dalam mobil.

"Buat?" 

"Buat buku-buku bacaannya, sembakonya, dana santunannya, makanannya, pakaiannya, perlengkapan sekolahnya, dan kebaikan-kebaikan lainnya yang kamu lakuin disini hari ini." 

"Sama-sama." Denata merangkul bahu Neratha lalu memeluknya. Modus dikit. 

"Kok kamu tau alamat ini sih??" 

"Liat di database sekolah." Neratha hanya ber-oh saja mendengar jawabannya.

"Gimana? Udah puas kan ngobrol 3 jam? Hahaha" 

"Udah. Kok gak bilang-bilang sih mau kesini? Kan jauh." Dari kediaman Denata memakan waktu 4 jam.

"Biariiinn. Mau 10 jam juga ayok." 

"Hahaha mulai deh kumat gilanya." Neratha mencubit pinggang Denata yang hari ini mengenakan kemeja putih dan celana jeans hitam.

"Aku pulang ya. Dadah." 

"Ih apaan!" Neratha menyentuh pipinya yang barusan dikecup secepat kilat oleh Denata yang sekarang sudah berlari ke dalam mobil neneknya. Tepat saat mobil mereka pergi, Alvian memasuki gerbang dengan motornya.

"Siapa Tha?" 

"Biasaaa. Donatur." Jawab Neratha sambil tersenyum.

***

"Say..." Sebuah pesan masuk ke ponsel Neratha.

"Apaan say, say, say, emang gue sayur?" Balas Neratha yang sedang berbaring di kasurnya.

"Basi. Besok aku mau main lagi kesana." Neratha terbelalak membaca pesan yang baru dibacanya. 

"Ngapain?" 

"Kangeeeen."

"Kita baru ketemu hari ini, sayang." Dia heran dengan kekasihnya yang mudah sekali merasa rindu ini.

"Ayolah. Besok juga ya." 

"Jalan kemana?" Baiklah, dia juga ingin berduaan.

"Disana aja." 

"Kamu gak bete ada Kak Alvian?" Neratha sedikit cemas, paradoks antara senang dan gelisah.

"Enggak. Bodo amat. Aku maunya ketemu kamu. Kamu gak sibuk kan besok?"

"Enggak sih tapi nanti kamu digodain. :-( aku gak suka."

"Hahaha! Tenang aja sayang, kan aku gak bakal suka sama Alvian." 

"Yaudah deh terserah kamu aja." 

"Aku telepon ya?" 

Dan mereka melanjutkan percakapan di telepon malam itu.

***

"Hahaha! Dan disitu dulu tuh dia jatoh pas manjat pohon!" Alvian tertawa senang sekali. Sudah 2 jam Denata dan Neratha duduk di halaman belakang panti itu. Rencana mereka gagal total. Mau keluar rumah pun tak bisa. Alvian datang menginterupsi mereka dan mengajak keduanya berkumpul. Jadilah mereka sekarang mendengarkan ocehan-ocehan Alvian. 

"Eh jadi kamu lanjut kemana Den?" Alvian menatap Denata dengan senyumnya yang bisa membuat kaum hawa terpikat itu, tapi sayangnya Denata adalah hawa penyuka hawa, bukan adam seperti Alvian.

"Belum tau Kak."

"Gak ikut Neratha ke Belanda?" Tanya Alvian, polos. Denata terbelalak.

"Kamu? Ke.. Belanda? Kok gak cerita, Tha?" Tanya Denata sambil memperhatikan kekasihnya itu dengan pandangan kaget.

"Eh? Gak tau ya?" Alvian menatap Neratha sekarang. Ada tatapan bersalah di raut wajah Neratha.

"Kan belum pasti Den. Aku masih seleksi kok." 

"Katanya mau di negeri aja."

"Kan nyoba doank." 

"Eh, memangnya kamu rencananya mau kemana Den?" Alvian mengejar jawaban Denata. 

"Amerika." Jawabnya mantap dan tegas. Sebenarnya dia mau disini saja, bersama Neratha. Tapi berhubung kekasihnya itu tidak bercerita tentang rencananya ke Belanda, ia memutuskan kembali pada rencana keluarganya yang sudah disusun untuknya.

"Kok gak cerita...?" Gantian Neratha yang terbelalak. 

"Kan belum pasti, Tha. Aku belum ngisi formulir kok." Jawab Denata dengan santainya. Neratha tak menjawab lagi, raut wajahnya sulit didefinisikan, campuran rasa kesal, sedih, marah, kecewa dan pura-pura baik-baik saja seperti tidak ada apa-apa.

"Kamu kenapa Tha?" Alvian menyadari keanehan situasi.

"Sakit perut Kak. Aku ke toilet dulu ya." Neratha pergi meninggalkan mereka berdua, ia naik keatas. Ke kamarnya. Ia terduduk di balik pintu, menangis tersedu-sedu tanpa suara, dan ia tidak keluar sampai pintu kamar diketuk.

"Tha, ini Dena ngajakin jalan." Suara Kak Alvian. Untungnya dia sudah selesai menangis.

"Iya kak?" 

"Ini dena ngajakin kamu keliling. Kakak pergi dulu ya, ada jadwal ngelesin anak orang. Daaah." Kak Alvian pergi dari sana.

Neratha menatap Denata sebentar, ada raut kesal di wajah kekasihnya.

"Kita perlu ngomong." Denata menarik tangan Neratha.

"Disini aja."

"Gak bisa. Aku gak bisa gak teriak." 

"Kamu mau marahin aku, Den?" Suara Neratha bergetar. Denata tak menjawab, ia tetap berjalan sambil menggenggam tangan Neratha. Mereka berjalan sekitar 15 menit dari sana, hingga tiba di padang rumput yang luas dan sepi. Denata melepaskan pegangan tangannya.

"Kenapa kamu gak pernah cerita kalo kamu mau ke Belanda?!" Denata berteriak keras.

"Kan masih rencana Den! Belum pasti masuk." 

"Terus kamu gak cerita ke aku?! Aku siapa Tha?! Kamu anggap aku apa?!" 

"Aku mau cerita pas aku udah keterima! Kamu pacar aku lah siapa lagi?!" 

"Kamu kira itu bakal jadi surprise? Iya?! Tha, gak ada pacar yang seneng ditinggal pergi jauh!" 

"Kok kamu ngomong gitu?" Neratha menahan bendungan air di matanya.

"Kamu gak cerita! Demi apa?! Aku pacar kamu Tha! Aku berhak tau!"

"Ini bakal jadi surprise buat kamu, sayang." Neratha menutup mulutnya. Dia gagal menahan bendungan air itu agar tidak jatuh.

"Tha! Itu bukan surprise Tha! Kamu pikir aku bisa senang kamu jauh kayak gitu?" 

"Kamu sendiri gak bilang kamu mau ke Amerika. Kita bakal ketemu Den! Kenapa kamu ngomong gitu?!" 

"Karena itulah yang lagi aku usahain biar batal! Aku mau nyusul kamu di sini! Aku gak mau ke luar Tha! Gak mau! Tapi kamu yang tiba-tiba mau ninggalin aku." Denata juga gagal, gagal menahan bendungan air di matanya. Tapi ia lebih kuat, ia sudah menahannya sejak bersama Alvian tadi.

"Kamu gak cerita." 

"Kamu juga"

"Kamu udah pasti bakal ke Amerika, Denaaaa! Kenapa kamu sembunyiin ini?!" 

"Karena aku mau batalin ini! Apalagi?! Aku lagi usahain biar bisa sama kamu, Tha!"

"Aku juga tapi apa..." Neratha sudah terisak.

"Kamu... Jangan hubungin aku dulu. Aku butuh sendiri." Denata berpaling. Ia pergi dari sana. Melangkah jauh, meninggalkan kekasihnya di belakang sana yang masih menangis dengan hati yang hancur.

***





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top