28. Pengakuan
Suasana sekolah siang itu santai karena murid-murid baru selesai menempuh ujian semester ganjil sehingga mereka bebas bermain di sekolah. Denata dan teman-temannya sedang berkumpul di ruang OSIS, bercengkerama dan bermain bersama.
"Oke tes selanjutnya. Siapin jawaban kalian masing-masing." Renata membacakan sebuah buku permainan psikologi. Refan, Roy, Sonia, Riana, Denata dan Neratha bersiap-siap menyimak.
"Bayangkan kalian lagi jalan-jalan kelaparan di suatu siang yang terik. Terus, kalian lewat di depan kebun stroberi punya orang. Pertanyaan pertama, seberapa tinggi pager penghalang stroberinya? Dua, berapa banyak stroberi yang kamu ambil? Tiga, tiba-tiba pemiliknya datang dan kamu dimarahi habis-habisan, diteriaki, dihina, dicaci maki, di-"
"Udah deh ren panjang bener. Intinya dimarahin kan? Seneng banget liat orang menderita." Roy memotong.
"Yeh bawel! Mau lanjut gak nih?"
"Lanjuuutttt" jawab yang lain berbarengan.
"Apa reaksi kalian kepada si pemilik kebun stroberi yang marah-marah tadi? Apa yang bakal kamu katakan? Pertanyaan terakhir... Bagaimana rasa buah stroberinya? Oke jawab ya." (readers boleh ikutan jawab dalem hati sebelum liat jawabannya)
Renata memberi waktu teman-temannya untuk berpikir.
"Waktu habis. Mulai dari lu Roy!"
"Lah kok gue?"
"Ayo Roy jawab. Habis Roy, lanjut kesebelahnya ya." Renata tidak mau tahu.
"Ehm... Pagernya, gaada pagernya. Kalo ada pun rendah lah palingan selutut. Gue makan sepuasnya lah! Kan laper. Mumpung gak ada yang liat. Terus kalo pemiliknya dateng marah-marah ya gue jelasin aja gue lagi laper. Atau marahin balik! Pelit amat sih. Hahaha. Rasanya? Asem-asem manis gitu deh."
"Hahaha!" Renata tertawa di tempatnya mendengar jawaban Roy.
"Kalo gue bayangin itu pager sepinggang. Terus makan dikit ya paling buat ganjel doank. 5 cukup. Kalo pemiliknya dateng marah-marah, gue minta maaf. Terus rasanya manis." jawab Neratha.
"Pagernya sekepala. Gak, gak gue makan. Punya orang. Itu kan nyuri namanya."
"Yaelah Den! Ini kan andaikan! Kaku amat sih!" Renata kesal mendengar jawaban kaku sahabatnya itu. Gak asik, menurutnya.
"Ya terus jawaban gue gaboleh?" Denata tak perduli.
"Hmmm... Boleh. Yaudah lanjut."
"Pagernya gak ada. Hahaha! Itu gue bakal makan 10 kayaknya karena doyan banget stroberi. Kalo pemiliknya marah-marah ya gue lari lah. Rasanya asem-asem manis." Riana menjawab dengan santainya.
"Pagernya sebahu. Gue bakal makan 3 cukup kayaknya. Kalo pemiliknya marah ya gue minta maaf. Besoknya dateng lagi bawain apa gitu. Rasanya manis banget." jelas Refan.
"Itu pager, yang bisa dilompatin deh. Selutut kayaknya. Gue bakal makan secukupnya aja. Kalo pemiliknya marah ya gue minta maaf apa gue ganti duit deh. Rasanya manis." jelas Sonia.
"Oke guys. Tes ini nunjukin minat selingkuh kalian. Pertanyaan pertama itu batas diri kalian untuk selingkuh setinggi apa. Pertanyaan kedua banyaknya cowo atau cewe yang kalian selingkuhin. Pertanyaan ketiga respon kalian terhadap pasangan kalian kalo kalian ketangkep basah. Pertanyaan terakhir rasa dari perselingkuhan itu sendiri. Makanya gue ngakak pas denger jawaban Roy. Doyan selingkuh lu!"
"Hahaha!" Refan tertawa sambil menunjuk Roy.
"Ah ga seru!" Roy protes. Karena jawabannya menunjukkan indikasi selingkuh yang besar.
"5 ya Tha?" Denata menatap tajam kekasihnya.
"Eh, ah, eh, kok..." Neratha kehabisan kata.
"Wah... Gawat. Kok mirip banget sama gue." Riana merasa terpojok.
"Mirip banget sama kita yang bener." sambung Sonia.
"Hahaha lanjut yang lain yuk." Refan mencairkan suasana.
"Yuk main truth or dare!" Roy mengambil botol minum, bersiap memutarnya di meja.
"Eh, gue izin balik duluan ya." Renata langsung pamit begitu melihat orang yang berdiri di depan pintu kelasnya.
"Wah mau kemana lu?" Roy kepo.
"Nonton Detective Pikachu"
"Widih berdua doank gak ngajak-ngajak." sambung Neratha.
"Hehehe." Renata hanya nyengir sampai keluar kelas.
"Kamu mau nonton tha? Sama aku aja. Kita nonton berdua." Refan tersenyum manis di bangkunya.
"Eh? Enggak kok enggak. Hahaha." Neratha tertawa kering. Denata sudah menatap Refan dengan tatapan tajam.
"Yuk main lagi!" Sonia bersemangat. Tepat saat mereka bersenang-senang dan memutar botol, Neratha terbelalak di bangkunya setelah membaca email yang masuk di ponselnya.
"Roy! Truth or dare?" Refan bersemangat.
"Truth lah."
"Siapa cewe yang lu suka?"
"Denata lah siapa lagi." Roy menjawab lantang.
"Apaan sih." Denata mengerutkan keningnya sebal.
"hahaha"
"cieeee"
"bales gak den?"
begitulah, candaan jahil teman-temannya. Hanya Neratha yang diam saja dengan tatapan dinginnya.
***
Renata sudah ingin pulang rasanya daritadi. Perasaannya tak enak melihat gelagat Vania yang duduk di sebelahnya. Ia menyender, menggenggam tangannya.
"Van?"
"Iya ren?"
"Maaf. Berat." ujarnya sambil tertawa pelan. Vania berhenti menyender, ia langsung duduk tegap kembali mengambil jarak. Tangan dalam genggamannya dibiarkan saja oleh Renata.
"Van?"
"..." Vania tak menjawab, ia segera menarik tangannya yang menggenggam tangan Renata tapi tak bisa. Ditahan oleh Renata.
"Ren."
"Nanti aja kita ngomongnya. Pikachunya lagi seru nih."
"Tangan aku."
"Nanti aja." masih digenggamnya.
Mereka berdiam dalam sunyi hingga sampai di asrama. Tangannya masih bergandengan. Renata tidak mau melepas gandengan itu daritadi.
"Ke kamar aku ya." Pintanya. Sebelumnya ia sudah meminta Denata mengungsi saja di kamar Neratha hingga malam. Untuk ini. Mereka memasuki kamar.
"Duduk aja disitu. Itu kasur aku." Renata duduk di kasur Denata. Vania menurut.
"Bentar ya." Renata membuka vest cokelat dan dasinya lalu menghidupkan AC.
"Aaah enak banget." Renata berbaring di kasurnya.
5 menit kemudian Vania masih diam.
"Kamu kenapa sih van?" Tanyanya.
"Gapapa."
"Dari pas aku nolak waktu kamu nyender kayaknya kamu marah deh?" Renata menebak.
"Enggak kok."
"Bohong."
"Aku balik ya."
"Eh tunggu. Katanya ada yang mau kamu omongin?" Tanya Renata. Semalam memang Vania mengajaknya bertemu karena ada yang ingin ia bicarakan. Tapi Renata malah mengajaknya jalan keluar dan mentraktirnya makan.
"Aku cape."
"Ya tidur."
"Bukan cape itu."
"Jadi?"
"Ren masa kamu gatau sih ren?"
"Van, aku suka psikologi bukan berarti aku bisa baca pikiran kamu Van."
"Aku cape mendam perasaan terus. Aku tuh sayang sama kamu."
"Aku juga sayang sama kamu kok."
"Bukan sayang temen, Ren."
"Jadi?"
"I love you." Renata terbelalak mendengarnya. Hal yang ia takutkan terjadi.
"Van. Sorry, I am straight."
***
"Sayang maaf."
"Sayang dengerin aku dulu donk." Denata berusaha membujuk Neratha nya yang diam saja.
"TERUS APA MAKSUD KAMU GAK CERITA INI KE AKU?! KAMU ANGGAP AKU APA DEN?!"
"Sayang, gak gitu." Denata setengah mati terkejut ketika mereka baru saja tiba di kamarnya Neratha bertanya langsung padanya mengapa ia mengeluarkan Stefy dari sekolah. Ternyata yang membuatnya bersikap dingin daritadi bukan karena jawaban Roy saat bermain truth or dare di kelas. Tapi karena ia membaca sebuah email yang dikirimkan Stefy.
"Aku gak penting buat kamu?"
"Aku cuma gak mau kamu terlibat." Denata menunduk.
"Kamu gak berubah! Masih arogan dan seenaknya ngeluarin orang dari sekolah! Sekolah itu untuk mendidik Den! Bukan memusnahkan! Kamu kira dengan mengeluarkan murid nakal mereka terbantu? Mereka berubah? Enggak den! Kita gak tau bakal separah dan sehancur apa mereka rasanya dikeluarin dari sekolah!"
"Sayang tapi ak-"
"Stop. Aku gak mau ngomong sama kamu. Aku benci kamu, kamu gak jujur."
"Sayang maaf...."
"Kamu bisa tidur disini. Tapi aku gak mau ngomong sama kamu." Neratha tidur membelakanginya.
"Thaaaa... Maaf..." Denata menatapnya nanar.
"Masih ada satu kebohongan lagi. Aku bakal pindah ke Amrik, sayang." ucapnya, dalam hati.
***
"Udah donk jangan nangis terus." Renata susah payah membujuk Vania. Vania menangis tersedu-sedu sambil menenggelamkan kepalanya di tangan. Terduduk menyedihkan di lantai.
"Aku mau cerita. Kenapa aku baik sama kamu. Kamu itu mirip sama mama aku, Van."
"..." tidak ada jawaban, hanya suara tangisan yang masih terdengar.
"Dia sayaaaaang banget sama papa aku, Van. Dia posesif banget. Sampai waktu papa selingkuh mama coba bunuh diri tapi gagal." Suara tangis Vania makin menjadi, terdengar sungguh menyayat hati.
"Papa pergi ninggalin kami akhirnya. Mama stress lama. Sekarang pun di rumah masih pemulihan jiwa."
"..."
"Van. Cara kamu mencintai Riana itu ngingetin aku sama mama aku."
"Kenapa... kenapa kamu baru cerita sekarang!" Vania bertanya dengan suaranya yang bergetar. Susah. Rasanya susah berbicara saat kau sedang menangis. Rasanya sesak. Ditambah kau berbicara pada orang yang membuatmu menangis. Menyakitkan.
"Karena, aku gak nyangka kamu bakal suka sama aku."
"Jadi ngapain kamu temenin aku! Buat bikin aku berharap?!"
"Aku cuma mau jadi temen kamu aja, Van. Aku sayang kamu. I love you too, as friend. No more." satu kalimat yang meluncur dari bibir Renata ini sukses membuat tangisan Vania meledak dan semakin menjadi.
"Kamu boleh nangis sepuasnya." Renata mengelus pundak Vania yang bergetar.
"Kamu pergi aja. Tinggalin aku..."
"Ssst... gak akan."
"Kenapa..." Vania masih menangis sambil menunduk.
"Temen mana yang ninggalin temennya sendirian?" jawaban Renata membuat tangis Vania semakin kencang.
"Kamu masih bisa perbaikin ini. Aku bakal bantu kamu." Renata menariknya ke dalam pelukan.
***
"Sapa gih."
"Gak."
"Yaelah cuma gegara email Stefy, lu cuekin Denata?" sudah sejak jam pelajaran pertama Renata mencoba membujuk Neratha yang duduk di depannya. Ia tahan pindah duduk sebangku dengan Neratha padahal ia benci duduk di bangku paling depan.
"Dia bohongin gue, Ren. Denger sesuatu tentang pacar dari orang lain dan bukan dari orangnya sendiri itu sakit Ren!"
"Gue tau. Tapi apa lu gak bisa maafin dia? Denata kan cuma gak mau hubungan kalian diganggu Stefy."
"Gak. Gue lagi gak mau ngomong sama dia!"
"Dia kan udah minta maaf?"
"Telat!"
"Tha, nanti lu nyesel loh."
"Biar."
"Lu salah kalo kayak gini sama pacar lu. Jangan egois."
"Siapa yang egois? Dia gak egois emangnya?"
"Dia udah berusaha perbaikin hubungan kalian loh. Jangan karena ego dan marah lu yang cuma karena hal sepele, hubungan kalian jadi bermasalah."
"Bohong itu bukan hal sepele Ren!"
"Maafin lah. Dia cuma berusaha ngelakuin hal yang terbaik untuk elu kok."
"...gue masih sebel."
"Lu sayang dia kan?"
"YA MASIH LAH GILA AJA ENGGAK!" seisi kelas menoleh kearah mereka.
"Neratha. Ada masalah?"
"Iya Bu. Renata berisik. Tolong pindahin aja ke belakang."
"Renata. Pindah ke belakang atau keluar kelas?"
"Ah sialan lu, Tha!" Renata bergegas kembali ke bangkunya.
***
"Woi Den! Fokus!"
"Iya."
"Lu gak fokus daritadi! Bentar lagi dimulai!" Renata sungguh bising meneriakiku daritadi. Kami sedang latihan daritadi dan dia selalu menjadi pasangan sparingku setiap ekstrakulikuler taekwondo.
"Udahlah jangan mikirin Neratha dulu."
"Ren, susah." dia tau saja apa yang kupikirkan. Ini sudah jam ekstrakulikuler bela diri tapi chat-ku masih belum dibalas satupun. Dia juga tidak pamit pulang padaku hari ini.
"Fokus aja! Bahaya tau!!" Renata mengusap wajahnya kasar. Pelatih kembali dari tempat duduknya setelah memberi kami waktu latihan. Seperti biasa kami duduk di lantai. Menunggu nama kami dipanggil untuk diadu. Dia lagi apa ya sekarang? Sebenarnya bukan salah Stefy sepenuhnya, dia hanya minta maaf. Tapi pengkuannya itu membuatku bermasalah. Bagaimana kalau dia masih marah sampai minggu depan? Minggu depan kan sudah libur. Bagaimana caranya supaya dia baik lagi ya? Aku harus ngapain...
"Denata!!" aku tersentak. Pelatih meneriaki namaku keras-keras.
"Fokus!!" Renata menyikutku. Anak ini bukannya memberi kode namaku dipanggil malah membuatku diteriaki pelatih. Menyebalkan. Sama menyebalkannya dengan dia. Dia yang lagi marah sekarang... Dia lagi apa ya... Aku harus ngomong apa nanti? Apa pulang nanti aku datang ke kamarnya saja atau jangan? Atau... pandanganku tiba-tiba kabur. Badanku oleng. Aku sempat melihat Renata berlari mendekat sebelum semuanya menggelap.
***
Apa ini? Aku dimana? Tunggu.. ini UKS. Sssh... aw... keningku sakit. Aku kenapa?
"Dena! Akhirnya lu sadar juga!"
Aku melihat Renata, wajahnya cemas.
"Lu tuh bego atau apa sih? Bisa-bisanya gak fokus. Kena tendang kan lu sampe pingsan."
"Hah? Gue? Kena tendang?" aku bingung. Separah itukah? Aku mencoba menegakkan badanku.
"Jangan berdiri dulu." Renata menahanku.
"Dimana?!" aku mendengar sebuah suara dari balik pintu UKS.
"Tuh, pacar lu dateng. Gue chat tadi. Gue cerita lu pingsan kena tendang." Renata menjelaskan dengan entengnya.
Wah, dia ada disini. Suaranya. Akhirnyaaaaaaa.... Terima kasih Tuhan sudah buat aku pingsan! Aku segera memejamkan mataku. Pura-pura tidur sajalah dulu.
"Ren!" Neratha mendekat, napasnya terengah-engah. Dia lari?
"Ren gimana?"
"Belum bangun. Kritis." jawab Renata. Aku ingin tertawa tapi kutahan. Pintar juga akting dia.
"Kok bisa??!"
"Dia gak fokus. Kebanyakan mikirin elu! Sampe kena tendang. Pingsan deh. Digebukin diem aja. Tolol!" Renata menekankan kata TOLOL. Beraninya menggunakan kesempatan ini untuk mengataiku. Awas kau ya.
"Den?" Sebuah tangan lembut mendarat di keningku, mengelus pipiku pelan.
"Sayang, banguun." Dia menggenggam tanganku. Suaranya lirih seperti orang sakit. Nangis?
Oke, tanganku basah. Dia menangis. Aku membuka mataku pelan.
"Sayaang."
"Emh... Hai." aku tersenyum.
"Sakit ya?" tanyanya. Wajanya tepat di depanku. Dia masih memegang pipiku dengan sebelah tangannya. Sebelah lagi menggenggam tanganku.
"Lumayan." jawabku.
"Ya sakitlah sampe pingsan." Renata tertawa mengejek di tempatnya. Aku menatapnya dengan pandangan mematikan.
"Mending lu balik deh. Mumpung dijemput pacar elu nih."
"Emh..." aku menatap Neratha, sedikit ragu.
"Yuk? Mau balik sama aku?" ia masih menatapku dengan tatapan cemas.
"Kamu udah gak marah?" aku butuh jawaban.
"Ya enggaklah. Buru-buru dia lari kesini dari asrama. Lari sprint denger pacarnya pingsan. Hahaha!" Renata memang tukang merusak momen! Huh!
"Aku marah, tapi rasa sayang aku ke kamu jauh lebih besar." jawabnya. Jawaban yang sungguh membuatku puas.
"Yaudah yuk pulang." aku tersenyum sambil berusaha bangkit dari tempat tidur. Neratha memapahku berjalan.
"Cieeeee baikan. Cieeeee." Renata mengikuti kami dari belakang sambil membawa barang-barangnya dan barang-barangku.
"Makasih ya Ren." kataku, dalam hati.
***
"Sayang, nanti siang kamu pulang?" tanyaku. Neratha sedang sibuk mengemas isi lemari pakaiannya ke dalam ransel. Sudah tiga hari aku menghabiskan waktu di kamar Neratha. Sebentar lagi seluruh penghuni asrama akan pulang, kembali ke keluarganya selama liburan.
"Iya. Kenapa?"
"Balik ke panti?"
"Iyalah. Kemana lagi?" ia tertawa kecil.
"Ke rumahku." jawabku santai.
"Ngaco." ia mendengus.
"Kok ngaco? Libur sebulan sama aku ya, ya, ya?" aku memohon padanya.
"Kamu kan harus nemenin nenek kamu di rumah, sayang. Gimana sih?" dia meletakkan ranselnya dibawah lantai.
"Ya kan gapapa donk bawa kamu?"
"Terus adik-adikku yang di panti gimana?"
"Bawa ajalah semua." jawabku asal.
"Ngaco." ia tertawa pelan.
"Yaudah nanti kalo kita udah nikah, kamu harus mau pokoknya tinggal sama aku." jawabku.
"Kamu demam ya? Atau kepala kamu masih memar?" ia berjalan mendekat dan mengamatiku dari dekat. Ia duduk disampingku, menatap mataku lekat.
"Enggak. Aku cuma lagi rancang masa depan kita." aku tersenyum puas.
"Yaudah entar aku yang pilih latar buat foto pre-wed." ia tertawa geli setelah menjawab demikian.
"Bener ya? Awas kalo enggak." aku ikut tertawa.
Sebuah panggilan masuk ke ponselnya.
"Iya kak. Iya ini aku udah siap kok. Oke."
"Siapa?" tanyaku was-was.
"Kak Alvian"
"Kakak panti kamu yang dulu?"
"Iya. Dia yang jemput nanti." Neratha menjawab dengan santainya.
"Loh kok gak sama aku??"
"Biasanya juga gak pernah kan?"
"Yah kan kamu bisa nanya? Masa gak tau sih kalo harus balik sama aku? Itu dulu kan kita belum pacaraan." aku sebal sekali rasanya. Dia pulang bersama kakaknya itu yang tinggal sepanti. Alvian anak pemilik panti asuhan tempat Neratha tinggal. Lebih tua 4 tahun. Tapi dia tidak terlalu tampan sih, orangnya kurus tinggi.
"Kamu balik ada yang jemput kan?"
"Iya." jawabku malas.
"Ih sayang jangan ngambek gitu donk. Kan udah biasa tiap semester aku dijemputnya sama Kak Alvi." dia mengelus pipiku. Lembut. Lalu ia menciumnya. Aku membuang muka ke kiri. Dia mencium pipiku lagi. Aku segera balik ke kanan, kenaaa. Kena bibir kan. Hahaha.
"Ih kamu kok malah balik sih! Sengaja ya?!"
"Hahaha biarin!"
***
"Udah semua nih." Alvian sudah selesai memasukkan barang-barang Neratha ke dalam mobilnya. Sialnya setelah lama tidak bertemu dia malah tumbuh menjadi gagah sekarang. Badannya berisi daaan... berbentuk. Apa dia olahraga ya? Ah sial.
"Den, kamu gak ikut? Kakak anterin juga ya?"
"Gak kak. Makasih. Aku dijemput sopirku nanti." tolakku.
"Yaudah, kami pamit ya." aku tidak menjawab kalimat Alvian. Aku mendekat pada Neratha, memegang kedua pundaknya, mencium keningnya pelan.
"Jangan lost contact." bisikku pelan.
"Iya sayang iya." jawabnya.
Aku kembali ke kamarku. Packing.
"EH BARU PACKING ANJIR." Renata yang sudah siap, meneriakiku begitu melihatku beres-beres.
"Suka-suka gue. Kamar-kamar gue."
"Iyadeh yang punya sekolahan." jawabnya dengan nada terintimidasi.
30 menit kemudian kami berpisah di bawah. Dia sudah pulang duluan dijemput sopirnya. Sekarang aku sudah hampir tiba di rumah kediaman nenek. Rumah kami.
***
"Kak Neratha, apa kabar? Kuharap kakak sehat selalu ya. Kak, maaf kalau Stefy banyak salah. Maaf kalau Stefy pernah buat kakak cemburu. Stefy sayang banget sama Kak Dena, walau akhirnya Stefy harus pindah sekolah setelah dia tau itu. Tetap baik-baik aja ya, Kak. Maafin aku. Dan terima kasih untuk semua kebaikan yang udah kakak lakuin."
***
Hai readers... Gue lupa nama Edwin udah pernah dipake wkwkwk Gue ganti jadi Alvian yah... Hahaha.
"Kok diganti sih thor?"
"Ya suka-suka gue donk. Cerita, cerita gue."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top