15. Google Formulir

Sebuah chat masuk ke ponselku, tapi aku malas membukanya. Sudah hampir seminggu ini aku menghindari chat-chat yang masuk terutama darinya. 

"Den, bukalah. Jangan dikacangin terus chatnya."

"Gak ah. Males."

"Udah mau seminggu loh dari waktu lu nangis kemaren gara-gara liat dia dipeluk Ref-" aku melempar bantalku asal ke wajah Renata, tapi tepat sasaran juga rupanya.

"Kayaknya mereka gak jadian deh." Renata menjelaskan sambil memegang susu kotak ditangannya. 

"Bodo amat."

"Lu cemburu kok gini amat sih Den?" 

"Bodo amat." 

"Nih." Dia melempar susu kotak rasa stroberi padaku.

"Gak. Buat lu aja." Aku melempar susu itu kembali padanya.

"Keinget dia ya? Sekalian aja lu liat nasi inget dia jadi lu gak usah makan!"

"Bodo."

Ponselku terus bergetar, dia mengirim banyak sekali chat. 

"Baca den. Siapa tau penting." Renata meminum susunya. 

Aku membuka whatsapp dan melihat ratusan pesan disana dari grup chat OSIS dan pesan-pesan lainnya dari kontakku. Aku enggan membukanya, mataku berhenti saat melihat pesan dari dia yang namanya kusematkan di whatsapp. Satu-satunya orang yang kusematkan.

"Den, tolong diisi ya google formulirnya."

"Den, penting. Dibaca donk."

Aku segera meng-klik tautan google formulir yang dikirimnya. Mungkin dia sedang melakukan survei atau apalah itu yang butuh responden. Aku menutup mulutku saat membaca pertanyaan di google formulir itu.

Pertanyaan pertama,

"Kamu masih marah?" Dengan opsi ya dan tidak.

Apa ini? Aku segera membalas chatnya.

"Maksud kamu apa, Tha?"

"Dijawab, Den. Pertanyaannya banyak."

Aku tidak membalas chatnya lagi, hanya kembali membuka google formulir tadi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Mari kita akhiri ini sekarang, aku sudah lelah. 

Pertanyaan pertama aku menjawab tidak, karena aku memang sudah tidak terlalu marah padanya.

Pertanyaan kedua, 

"Kamu sayang gak sama aku?" Opsinya ya, tidak, setengah, sayang banget, biasa aja. Tentu saja aku menjawab ya. Ya sayang banget. 

Pertanyaan ketiga,

"Masih ingat kesepakatan kita?" Opsinya ingat, lupa, tidak ingat. Tentu saja aku ingat.

Pertanyaan keempat,

"Kamu masih inget kata-kata aku tentang aku takut, dan lain-lainnya?" Ya, tentu saja aku ingat. Opsinya sama seperti pertanyaan sebelumnya.

Pertanyaan kelima,

"Masih bisa kita ubah kesepakatan itu menjadi lebih baik?" Aku merenung sejenak. Diubah seperti apa maksudnya? Tapi tentu saja setiap kesepakatan dengannya selalu bisa kuubah sesuai keinginannya. Maka aku menjawab bisa diantara opsi bisa, tidak, tidak mungkin.

Pertanyaan keenam,

"Apa kamu bersedia mengakhiri hubungan pertemanan kita?" Aku melempar ponselku ke lantai. Kepalaku pusing membacanya.

"Kenapa Den?" Renata datang mendekat. Aku tidak menjawab, sulit sekali rasanya untuk berbicara. Aku menangis.

Renata melangkah mendekat dan mengambil ponselku. Aku melihatnya membaca isi ponselku. Aku tidak perduli lagi. 

"Den, liat deh!" Tiba-tiba wajahnya berubah cerah.

"Gak mau Ren."

"Dia nembak!"

"Mana??" Aku terkejut dan langsung mendekat padanya.

"Tadi aku klik sembarangan aja terus keluar pertanyaannya dan ini pertanyaan terakhir!" Aku membacanya. Laporan jawaban dari semua pertanyaan.

Pertanyaan keenam diisi tidak mungkin, dari opsi bersedia, tidak bersedia, tidak mungkin.

Pertanyaan ketujuh,

"Kamu marah?" Dan dijawab sangat marah dari opsi marah, tidak, biasa aja, sangat marah.

Pertanyaan kedelapan,

"Kamu nangis ya?" Dijawab iya dari opsi iya, tidak, biasa aja.

Pertanyaan kesembilan,

"Kamu mau tau isi hati aku gak?" Dan dijawab mau tau banget dari opsi mau, tidak, mau tau banget.

Pertanyaan kesepuluh,

"Apakah kamu bersedia mengganti hubungan pertemanan kita menjadi pacaran?"

Dan sudah terjawab sangat bersedia disana diantara opsi bersedia, tidak bersedia, sangat bersedia.

"Renaaaaaaaa!! Kok diisi kayak gini aja sih?!" 

"Lah elu malah nangis sih pake acara lempar hp ke lantai lagi." 

Tok..tok...tok... Suara pintu kamar kami diketuk.

"Itu dia! Itu pasti dia!" Renata berlari membuka pintu kamar, dan benar saja itu dia.

"Hai." Dia menyapa dengan senyum manis diwajahnya.

"Eh gue keluar dulu ya."

"Renaaaa!" 

Renata sudah menutup pintu dari luar. Dia berjalan mendekat.

"Makasih ya den." Dia tersenyum dan menatapku dalam.

"Itu, tadi.. Yang ngisi Renata." Aku gugup sekali rasanya.

"Oh ya? Jadi..?" Sebelah alisnya naik.

"Terus itu kenapa kayak habis nangis?" Dia duduk di kasurku.

"..."

"Kamu masih marah?" Dia bertanya lagi.

"Enggak." 

"Kamu sayang gak sama aku?" 

".."

"Sayang, gak sayang, sayang biasa aja, apa sayang banget?" Dia tersenyum.

"...yang terakhir." Aku memalingkan wajah. 

"Kamu masih inget gak kesepakatan kita?" 

"Yaa masih."

"Kamu masih inget gak Den, aku pernah cerita sama kamu kalo aku takut digosipin, aku takut dibully, aku takut kehilangan kamu?"

"Ya masih lah." Aku masih menatap jendela yang mengarah ke balkon. 

"Aku pengen ngubah kesepakatan kita. Apa masih bisa kita ubah Den?"

"Bisa." Aku menghembuskan napasku pelan tapi berat.

"Kamu mau gak kalo pertemanan kita berakhir?"

Aku menatapnya. "Ya akhirin aja kalo kamu mau."

"Kamu marah." Dia tersenyum, dia tidak bertanya, dia membuat pernyataan.

"Gak! Siapa juga yang marah?" Aku menjawab ketus.

"Jangan nangis." Dia tertawa pelan.

"Siapa juga yang nangis?!" 

"Habis nangis kan?" Dia menatapku lagi. Aku menatap jendela balkon lagi.

"Gak."

"Kamu mau tau isi hati aku gak?" Dia menyentuh tanganku.

"Gak." Aku menarik tanganku darinya.

"Lucu banget sih kalo lagi marah." Dia malah tertawa.

"Den, kamu mau gak jadi pacar aku? Kita gak usah temenan lagi. Kita pacaran aja." Neratha tiba-tiba menggenggam kedua tanganku.

"Hah?!" Bagai disambar petir di siang bolong rasanya.

"Kita pacaran ya." 

"Hah??" 

"Kamu sayang sama aku, aku juga. Kita sama-sama tau kita punya perasaan yang lebih dari temen. Kenapa gak jadian?"

"Kamu kan gak mau pacaran. Gak usahlah. Aku cuma teman kamu, Tha. Jangan paksain perasaan kamu." Jawabku. 

"Temen mana yang ciuman bibir?" Dia mendekatkan wajahnya dan berbisik di depan wajahku. Aku menarik jarak menjauh.

"Tetap aja perasaan kamu cuma sebatas teman, Tha."

"Perasaan kamu sendiri gimana?"

"Ya sebatas teman juga." Jawabku.

"Teman apa teman?" Dia tertawa kecil.

"Teman ya teman." Aku memalingkan wajahku.

"Udahlah den, kamu udah berhasil bikin aku ngerasain jatuh cinta." Jawabnya. Aku menatapnya.

"Maafin aku. Aku ngebatasin kamu. Aku ngebatasin hubungan kita, karena aku terlalu takut. Aku terlalu egois gak mau sakit sampai gak sadar kalo batasan itu nyakitin kamu." 

"Terus? Kan udah dari kelas 1. Aku udah biasa." Jawabku.

"Terus... Ya, maaf. Aku telat sadarnya. Aku bener-bener baru sadar dan baru bisa ngerasain jatuh cinta sama kamu." Jawabnya, suaranya lirih, air matanya jatuh.

"..." Aku hanya menatapnya, ingin sekali menghapus air mata itu, ingin sekali menarik dirinya kedalam pelukanku, tapi semua itu hanya memperjelas perasaanku kepadanya.

"Tha gak usah maksain diri." Aku tau dia hanya ingin membuatku senang saja. Aku tidak mau dia terlalu berkorban untukku.

"Den, aku serius. Aku beneran cinta sama kamu." Dia menatapku.

"...aku gak bisa liat kamu nangis. Aku cemburu liat kamu sama Roy. Aku kesepian kalo gak ada kamu. Aku sayang banget sama kamu." Dia menggenggam tanganku lagi.

"..." Aku tidak tahu harus berkata apa. Apa benar itu yang dia rasakan? Kenapa baru sekarang? Itu perasaan yang juga kurasakan padanya dari dulu hingga sekarang.

"Den, I love you. Half of you is not enough for me." 

"Hmm?" Aku ingin tertawa mendengar kalimat gombalnya yang berasal dari lirik lagu Shawn Mendes itu, tapi tertahan. Menyebalkannya aku malah tersenyum di depannya. 

"I love you more than anyone. I love you more than I love Fero, like you love me more than Fero loves me." 

"What? Kamu inget kalimat itu?" Aku tak percaya. Dia masih mengingat perkataanku saat di rooftop tahun lalu.

"Pernyataan cinta dari kamu itu susah banget dilupain, tau." Dia tersenyum manis sekali dihadapanku.

"Sekarang pejam. Kalo kamu gak mau terima aku, gak usah bales ciuman aku." Tiba-tiba dia menyerangku dengan sigapnya sebelum aku sempat terpejam. Dia mendorongku kuat hingga kami terbaring di kasur. Tentu saja aku harus membalasnya. Kami benar-benar menikmati momen ini sampai tiba-tiba pintu kamar terbuka. Kami terkejut hingga terduduk.

"Wah gila sih baru juga ditinggal bentar. Masih belum selesai ya?" Renata menutup kembali pintu kamar. Suara tawanya terdengar keras dari luar.

"..." Kami sama-sama terdiam, wajah kami sama-sama merah sepertinya. 

"Kamu bales. Jadi, sekarang kita pacaran ya?" Dia membuka suara.

"Kamu nyuru mejam tapi kamu yang mejam. Gimana sih? Kebiasaan deh tiap nyium atau dicium malah mejam." Aku meledeknya.

"Ya malu!" Dia meninju bahuku pelan. Aku tidak kuat lagi. Kami tertawa.

"Cieee jadian. Cieeee." Renata masuk lagi ke kamar. 

"Heh tukang nguping!" Neratha meneriakinya.

"Pajak jadian! Yeey!" Dia berjalan sambil joget kearah kami.

"Boleh donk gue bawa dena ke kamar gue. Elu tidur sendirian ya, Ren."

"Ya jangan sering-sering juga gembel!" Dia melempar bantalnya sambil cemberut.

Malam ini bintang-bintang menjadi saksi bagaimana kami kembali dengan status yang berbeda.

***










Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top