13. Kode
"But half of you's not enough for me~"
Neratha sedang mendengarkan lagu yang dikirim Denata padanya melalui whatsapp. Setelahnya ia membalas chatnya.
*DENATA POV*
Eh dia bales! Aku segera membuka pesannya setelah setengah jam berbaring di kasur menunggu ia membalasnya.
"Kamu galau kenapa sih Den? Kok ngirim lagu ini? Galauin si Roy ya? Hahaha."
"Hmmm. Dasar gak peka." Ketikku, tapi segera kuhapus lagi.
"Enak aja. Dengerin deh." Aku mengirimnya.
"Iya udah. Aku tau lagu Shawn Mendes yang ini." Iya aku tau kamu juga tau. Tapi bukan itu maksudku, Tha.
"Ooh. Yaudah." Aaah aku ingin menyerah rasanya, tidak tahu harus membalas apa.
"?" Ia mengirim tanda tanya. Aku harus balas apa ini? Dibaca saja? Tidak mungkin. Kalau pesan dari orang lain mungkin bisa kuperlakukan seperti itu.
"Coba artiin." Balasku akhirnya.
"Udah tau juga. Kenapa?"
"Gapapa." Aku tidak tahu harus mengodenya bagaimana lagi.
"Artiin lagi." Paksaku.
"Iih dena apaan deh? Udah kok ini. Mau ngajak debat bahasa inggris?" Balasnya. Akademik sekali anak ini.
"Enggak ah. Lagian pasti kamu kalah kalo debat sama aku." Send. 10 menit berlalu, 20 menit... 25 menit... Tidak ada balasan, tidak ada centang biru disana tapi dia aktif. Kamu lagi on buat siapa Tha?? Aku badmood, aku menaruh ponselku di nakas, lalu berbaring ke samping kanan sambil memeluk guling. Dasar manusia tidak peka. Sekitar 5 menit kemudian ponselku berdering. Dia menelepon.
"Den, barusan Refan nge-chat."
"Hah? Terus?" Aku tidak tahu kenapa aku deg-degan sekarang.
"Dia nembak."
"..." Bagai tersambar petir di siang bolong rasanya.
"Halo den?"
"Eh iya? Terus gimana?" Aku memaksakan suaraku.
"Aku belum jawab." Aku sedikit lega mengetahui ini.
"..."
"Halo den?"
"Kenapa?" Tanyaku.
"Masa nembak lewat chat sih? Gak gentleman. Hahaha." Jawabannya ini menyebalkan sekali, jadi kalau ditembak langsung dia mau terima maksudnya?
"Terus kalo dia nembak langsung depan kamu mau kamu terima?" Tanyaku, penasaran. Barangkali aku diterimanya.
"Iih gak tau denaaa." Dia merengek manja seperti biasa.
"Kamu suka sama dia gak?" Aku sangat penasaran kali ini.
"Gak tau." Jawabannya benar-benar membuatku terpukul. Tha, jangan bilang kamu ada rasa untuk dia. Itu fakta yang terlalu menyedihkan untukku.
"..."
"Halo den?"
"Eh iya?"
"Kamu kenapa sih daritadi banyak diemnya?"
"Gapapa. Sakit perut." Jawabku asal.
"Aku, takut. Aku gak mau digosipin lagi. Cape banget rasanya." Ia menghembuskan nafasnya berat.
"Sama cowo kan gapapa tha?" Jawabku bodoh. Aku terlalu bodoh untuk rela menahan perasaanku terhadapnya dan malah meyakinkannya bahwa hubungan normal tidak akan jadi masalah untuknya.
"Enggak, Den. Kayaknya aku belum punya perasaan untuk Refan." Aku terkejut tapi senang sekali mendengarnya.
"Jadi kamu sukanya sama...?" Aku berusaha memancing, karena mengodenya susah sekali.
"Gak tau." Aaah! Aku kesal mendengarnya. Jadi tidak ada rasa untukku juga, Tha?
"Aku?" Duh keceplosan.
"Kamu?"
"Eh enggak. Aku sakit perut. Aku ke wc dulu ya tha. Nanti kita chat lagi." Aku mengakhiri panggilan. Aku tidak kuat! Tapi aku benar-benar sakit perut sekarang.
Selama di toilet aku berpikir keras memikirkan segala kemungkinan perasaannya pada Refan, dan perasaannya padaku, hingga kemungkinan menyakitkan seperti penolakan darinya, tapi aku juga memikirkan kemungkinan positif lainnya seperti kami bisa saja berpacaran. Tapi semakin dipikir aku semakin frustasi, berapa banyak sainganku di luar Refan tidak terprediksi. Semakin lama pikiranku semakin membuatku down, bisa saja tidak akan ada perkembangan diantara kami, bisa saja dia menjauh, bisa saja...
*Denata pov end*
Neratha sedang membalas chat-chat yang masuk di ponselnya. Sambil berdiri di balkon kamarnya. Ia menatap langit lalu menghembuskan nafasnya pelan.
*NERATHA POV*
Sudah setengah jam dia pamit ke wc tapi belum kembali juga, apa separah itu diarenya? Aku memutar ulang lagu yang tadi ia kirimkan padaku. Mutual-nya Shawn Mendes, dia tahu betul aku menyukai lagu-lagu Shawn Mendes. Sebenarnya aku lebih suka Nervous daripada Mutual, tapi tidak biasanya anak ini mengirimiku lagu apalagi lagu yang dia tahu pasti sudah kumiliki. Sebuah panggilan masuk, dari Renata. Sekarang sudah pukul 11 malam.
"Halo Tha, kesini deh."
"Iya Ren? Ada apa?"
"Dena demam, daritadi gak bisa dibangunin malah ngigau manggil-manggil nama lu."
"Hah?! Tunggu bentar ya." Aku segera mematikan panggilan, mengambil kunci, mengunci pintu kamar, lalu berlari ke kamarnya yang terletak di ujung depan. Suasana sudah sepi, para penghuni kamar yang lain mungkin sudah tertidur atau sibuk sendiri di kamarnya. Lorong koridor untungnya masih terang. Aku mengetuk pintu kamarnya, Renata yang mengenakan kaos oblong putih dan celana tidur pendek membukakan pintu.
"Tuh." Dia menunjuk Denata yang terbaring di kasurnya.
"Den?" Aku mendekat kearahnya. Tidak ada reaksi. Aku pegang dahinya, memang panas sekali!
"Udah diukur?"
Renata menggeleng.
"Tha.."
"Iya??" Aku duduk dan menggenggam tangannya. Tangannya dingin bukan main. Tidak ada respon.
"Den? Bangun den." Aku menggoyang bahunya pelan.
"Tha.." suaranya yang lemas memanggilku tapi dia masih terpejam.
"Denaaa bangun." Aku memegang kedua pipinya dengan telapak tanganku. Dia masih terpejam.
"Udah dikasih obat?" Tanyaku pada Renata.
"Dia aja gak bangun-bangun daritadi, gimana mau kasih obat?" Renata berdiri sambil melipat tangan di depan dadanya.
"Den, bangun donk." Aku menggoyang tubuhnya pelan.
"Tha.." ia mengigau lagi tapi masih terpejam.
"Bentar." Aku berdiri, keluar, turun ke dapur dan memasak air. Setelah air hangat siap, aku membawa baskom kecil berisi air hangat itu ke kamar Denata.
"Ren, buka. Ini gue." Renata membukakan pintu.
"Ambil kain lap atau saputangan." Pintaku.
Renata berjalan menuju lemari baju Denata dan membawa sebuah handuk kecil berwarna biru muda padaku. Aku tersenyum melihat handuk itu, handuk yang kuberikan pada Denata saat masa orientasi sekolah. Ternyata masih disimpan.
"Nih." Aku mengambil handuk kecil itu dan mengompres keningnya pelan.
"Kok dia bisa demam gini Ren?" Tanyaku.
"Kelamaan di wc kali." Renata berjalan kembali ke kasurnya.
"Emang dia sakit perut banget ya Ren?" Aku bingung.
"Enggak tau, Tha. Yang tau banget tentang dia kan cuma elu. Tadi sih dia sakit perut setau gue, dia bangunin gue yang udah tidur sejam terus minta obat diare. Gue kasih deh. Eh tapi malah jadi demam abis dari wc. Gue kebangun tadi pas mau minum terus denger dia ngigau, gataunya dia demam. Yaudah gue telepon lu." Aku mengangguk pelan.
"Tha..." Dia mengigau lagi. Aku duduk dibawah kasurnya, pelan-pelan mendekat, menyejajarkan bibirku dengan telinganya.
"Aku disini, sayang. Bangun dong." Aku berbisik di telinganya, tapi dia masih tidak mau bangun.
"Kayaknya dia udah gak apa-apa." Renata bersila di kasurnya.
"Ini masih gak mau bangun, Ren." Aku menatap Denata cemas. Wajahnya merah sekarang, apa karena demamnya?
"Gue yang jaga deh, lu tidur aja. Balik ke kamar lu. Besok sekolah."
"Enggak, Ren. Gue disini aja. Gue jagain dia aja." Aku tidak bisa kembali sebelum memastikan dia baik-baik saja.
"Terus lu mau tidur dimana? Di lantai?"
"Gue bisa tidur sambil duduk, kan bisa nyender di kasur Dena, ini juga ada karpetnya." Aku menjawab sambil tertawa kecil. Tidak masalah bagiku.
"Den, bangun den. Kasian tau si Etha! Nanti dia tidur sambil duduk di lantai masuk angin terus masuk rumah sakit mau lu? Katanya sayang woi! Kalo sayang bangun!" Renata berteriak dari kasurnya. Apa-apaan dia ini? Aku ingin tertawa melihat caranya membangunkan Denata.
"Jangan teriak-teriak Ren nanti dia bangun." Aku tertawa kecil sambil menggelengkan kepalaku, lalu menyentuh tangan Denata pelan. Aku mengusap tangannya pelan. Masih dingin.
"Mmmh..." Tubuhnya mulai bergerak, ia membuka matanya pelan.
"Tha?" Ia menatapku terkejut.
"Bangun juga akhirnya." Aku tersenyum kecil melihatnya.
"Kamu?"
"Minum obat dulu ya?" Aku mengeluarkan obat yang tadi sempat kukantongi sebelum keluar kamar.
"Eh, tha. Udah biar gue yang urus. Lu tidur deh mending. Besok masuk pagi. Gue juga udah ngantuk banget nih." Renata berjalan mendekat lalu mengambil sekeping obat demam yang sedang kupegang.
"Tapi dia harus minum obatnya dulu." Rengekku.
"Iya nanti gue urus. Den! Lu minum obat nih! Awas lu gak minum! Ayo tha balik ke kamar, dia pasti minum obatnya." Renata menarik lenganku, lalu mengajakku keluar kamar. Ia mengantarku kembali ke kamarku.
"Tha, lu sayang banget sama Dena ya sampe cemas gitu?" Tanyanya.
"Ya iyalah Ren. Gue gak mau dia kenapa-napa." Jawabku tegas.
"Kalo lu sayang kenapa gak jadian aja sih?" Dia bertanya sambil tertawa kecil.
"Sebenernya pertanyaan lu ini susah dijawab. Serius." Aku tertawa kecil.
"Kasian tau si Dena digantung kayak jemuran." Dia tertawa lagi.
"Gue gak gantung dia kok." Aku menunduk pelan.
"Kalo dia nembak lu gimana?" Renata berhenti berjalan dan menatapku serius.
"Gak mungkin Ren." Jawabku asal, tak percaya diri lebih tepatnya.
"Kenapa?" Dia tampak penasaran.
"Karena kami udah punya kesepakatan sendiri." Jawabku, lalu meneruskan berjalan.
"Kesepakatan apa tuh?" Dia bertanya lagi.
"Ada deh. Udah sampe nih. Makasih ya. Jagain dia ya. Kalo kenapa-napa panggil gue." Aku tersenyum sebelum masuk ke kamar.
"Yaelah tinggal ganti aja kesepakatannya! Diskusiin baik-baik, anggap aja kayak rapat OSIS! Gak mau. Biar dia direbut orang lain. Biar lu tau rasa." Renata menjawab sambil tertawa sebelum dia berjalan menjauh.
*Neratha pov end*
"Hahaha! Jago juga akting lu. Gila."
"Elu juga. Tapi panas banget nih muka gue, tangan gue juga masih kerasa dingin tau. Untung udah gak kebas."
"Iyalah. Siapa yang gak panas dingin coba kalo dahinya ditempelin botol isi air panas setengah jam lebih, selimutan, terus tangannya direndam di baskom isi air sama es batu?"
"Ya gak ada, gila. Tapi ide lu brilliant. Thank's banget."
"Seneng kan lu? Sekarang lu tau kan gimana perasaan dia?" Renata bersila di kasurnya, menatap Denata yang bersila di kasur yang terletak di seberang kasurnya.
"Iyasih. Tapi kan dia cuma sayang temen, Ren."
"Lu liat donk kayak gitu sayang temen? Cemas kayak gitu?"
"Kan dia memang care dan baik banget orangnya. Wajar lah segitu baiknya dia ke gue." Denata berbaring di kasurnya.
"Terus ngapain pake bisik-bisik di kuping sampe muka lu merah? Ngapain pake pegang-pegangan tangan tadi? Sampe mau tidur disini buat nungguin elu bangun?"
"Yaaa kami memang sedekat itu."
"Yaudah nyatain, apalagi?"
"Tapi dia cuma anggap temen, ren. Lu tau itu."
"Apa sih yang jadi penghalang? Apa kesepakatan kalian itu?"
Denata menatap Renata terkejut.
"Lu tau?"
"Enggak. Tadi dia nyebut-nyebut itu. Katanya gak mungkin lu nembak dia karena kalian ada kesepakatan."
"Ah itu. Iyasih." Denata tampak cemberut sekarang, wajahnya sedih, teringat sesuatu.
"Emang apaan sih?"
"Kami sepakat cuma temen doank. Mentok-mentok ya paling TTM-an."
"Kan bisa diubah?"
"Susah, Ren. Dia gak mau kehilangan gue kalo kami lepas dari status pacaran."
"Terus gimana? Elu sendiri gak bisa terima kan? Mau tahan sampe kapan coba? Lebih baik lu ngomong sekarang ke dia kalo lu gak sanggup di friendzone aja. Kalo lu gak bisa cuma milikin dia setengah aja."
"Ren, gue gak bisa egois gitu tanpa mikirin perasaan dia." Denata tersenyum pahit.
"Lu terlalu maksain diri Den. Lu jangan nyiksa diri donk. Kalo gak suka, bilang!"
"Gak, Ren."
"Bilang aja lu takut kehilangan dia kalo lu jujur."
"Lu kok paham banget sih?!" Denata melempar bantal ke muka Renata. Renata menangkis, tapi tetap kena.
"Sakit monyet!"
"Hahaha lemah ah lu."
"Lu tuh yang lemah!"
"Udah ah tidur. Besok sekolah. Udah malem."
"Udah pagi, bego. Udah jam 1."
"Bodo amat." Lalu Denata kembali tidur tanpa bantal.
"Balikin bantal gue."
"Ogah! Suru siapa dibuang!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top