11. Garis terdepan

Pukul 11 malam, aku masih memetik gitar di balkon sambil memandangi gadisku yang sedang tertidur daritadi. Waktu kelas 1 kami sering bermain gitar bersama, tapi sekarang sudah jarang. Kami hanya bermain gitar di kelas ekstrakulikuler musik saja. Ini gitar miliknya, sebenarnya milikku, yang kuberikan padanya saat kenaikan kelas 2. Saat itu dia memintanya karena tau kamar kami sudah tidak sama, untuk mengingatku katanya. Kumainkan pelan saja, hanya bermain akustik, sampai suaranya memanggilku.

"Kamu main lagi?" Dia terbangun.

"Eh, iya. Udah setengah jam kok. Kedengeran ya?" Aku berhenti memetik gitar.

"Enggak kok... Aku cuman ha-"

Aku berjalan mendekat, mengambil botol minum yang sudah disiapkan dan memberikan itu padanya.

"Nih."

"Tau aja aku haus." Jawaban yang selalu dia berikan sambil tersenyum setiap aku memberinya minum atau makanan. 

"Tau donk."

"Lagunya siapa? Enak banget. Kayak pernah denger."

"Fiersa. Garis terdepan."

Dia mengangkat alisnya.

"Nyanyi donk, Den. Aku mau denger." Dia tengkurap sambil menopang dagu dengan kedua tangannya, memandangku sambil tersenyum dari tempat tidurnya. Mau sampai kapan dia senyum-senyum terus? Lesung pipi di wajah tirusnya itu bisa bikin aku overdosis. Aku sebenarnya tidak terlalu suka menyanyi, tapi demi dia hal yang aku benci pun pasti akan aku lakukan, apalagi hanya hal yang tidak terlalu kusukai? Aku mulai bernyanyi. Tapi makin lama aku menyanyi, senyumnya perlahan memudar. 

"Bila kau butuh telinga 'tuk mendengar
Bahu 'tuk bersandar, raga 'tuk berlindung
Akulah orang yang selalu ada untukmu
Meski hanya sebatas teman"

Aku masih menyanyi, tapi air matanya menetes. Aku memutuskan untuk berhenti menyanyi, ini ada yang tidak beres.

"...Kenapa? Suara aku jelek banget ya?"

"Enggaaak. Bukaaan..." Neratha menghapus air matanya yang menetes tadi lalu mengulum senyum.

"Terus? Kuping kamu sakit dengernya?" Aku berjalan mendekat, duduk disampingnya.

"Enggak den. Cuma liriknya aja, sedih." Iya Tha, liriknya sedih, kayak perasaan aku ke kamu.

"Iya tapi nadanya enak kan?" 

"Iya." 

"Yaudah aku main lagu lain ya." Dia mengangguk. Aku mulai menggenjreng gitar dengan sedikit enerjik.

"Hey tayo, hey tayo, dia bis kecil nakal. Melaju, mengebut, bawa lari anak orang~"

"Apaan sih den? Tayo bawa lari anak orang?" Dia mendengus lalu tertawa.

"Mau kamu dibawa lari sama tayo?" 

"Ogah! Kamu aja sana! Biar tayo perbaikan keturunan! Hahaha!"

"Iya tayo perbaikin keturunan, keturunan aku yang rusak gara-gara tayo!" Ketawa aja terus, Tha, aku senang kok. 

"Udah ah, tidur yuk."

"Yaudah, aku balik ke kamar aku ya. Nite." Aku berjalan kearah pintu.

"Den?" Dia memanggil.

"Iya Tha?"

"Tidur disini aja sama aku. Tanggung kamu balik." 

"Ganggu gak?"

"Enggak banget lah. Sini." Dia menepuk sisi kasur yang kosong.

"...iya." aku berpikir sejenak, sudah setahun, ini pertama kalinya kami tidur bersama lagi. Aku berbaring disana.

"Den?"

"Iya?"

"Sini donk. Kok jauh-jauh sih kayak musuhan? Kamu kemusuhan? Hahaha." Dia memakai istilah konyol dari anak-anak yang sempat viral.

"Apaan sih tha? Kemusuhan, istilah jaman tik-tok ya?" Aku tertawa geli, lalu menggeser badanku lebih dekat kearahnya.

"Den, makasih ya." Tangannya melingkar di perutku. 

"Aduh Tha, ngomongnya jangan bisik-bisik di kuping aku napa?" Aku sedikit menarik kepalaku.

"Eh iya maaf." Dia menarik jarak dariku.

"..makasih ya." Ucapnya lagi.

"Sekali lagi ngomong makasih dapet payung." Ucapku sambil menutup kedua mataku dengan tangan kiri.

"Makasih! Mana payungnya? Sini. Lumayan. Hehehe." 

"Ih malah minta-minta payung." 

"Pelit." Dia mendengus.

"Udah lama ya."

"...iya."

"Emang tau apa yang aku maksud?"

"Udah lama gak bisa lupain aku?" Ujarnya.

"Ge-er banget sih?! Udah lama gak tidur bareng kayak gini!" Aku benar-benar tertawa sekarang. Neratha memang percaya diri sekali.

"Tapi bener kan?" 

"Sok serius deh." 

"Jawab den."

"Iya ah! Mana bisa lupa." Jawabku, masih dengan mata terpejam.

"Makanya tadi aku nangis." Dia berkata pelan.

"Maksud kamu?" 

"Iya, aku gak bisa ngasih kamu lebih, tapi kamunya tetap bertahan. Selalu ada buat aku, gak pernah nuntut aku apapun, selalu perhatian dan baik sama aku. Rasa sayang kamu itu kerasa banget, Den." 

"Aku bisa apa, Tha..." 

"Kita sama-sama cewek." Ucap kami serempak. Aku menoleh padanya, dia juga sedang menatapku, lalu kami tertawa lagi.

"Bisa ya serempakan gitu." Ujarku.

"Dodol banget sih." Dia tertawa geli.

"Gak masalah kok buat aku. Selama aku tau aku masih jadi prioritas kamu, masih ada tempat di hati kamu, masih diperhatiin kamu, masih disayang kamu, aku beruntung." 

"Den, maaf. Aku gak pernah bisa ngungkapin perasaan aku. Tapi kamu udah bisa simpulin sendiri kan?"

"Enggak. Aku gak mau. Aku takut salah." 

"Serius den? Kita udah mau lulus."

"Serius."

"Kamu duganya apa selama ini?"

"Kamu gak suka sama aku. Benar-benar gak ada perasaan. Kita cuma teman." Sebenarnya cukup sakit bagiku untuk menjelaskan ini padanya. Aku kembali menutup mataku dengan tangan kiriku.

"Salah Den." Salah? Jadi? Aku menaikkan alisku. Tapi memilih untuk mendengarnya saja tanpa berkomentar.

"Aku gak mau kita pacaran. Aku gak mau kamu kayak fero." Aku menatapnya, tidak terima disamakan dengan fero.

"What? Fero? Kamu nyamain aku sama fero?"

"Enggak. Aku cuma gak mau hubungan kita berakhir kayak aku sama fero, Den. Aku gak mau suatu hari kita putus terus kamu ninggalin aku. Kalo kita temenan kita bakal sama-sama terus sampai kapanpun, Den."

"Aku gak bakal ninggalin kamu, Tha."

"Den, cukup kamu tau aku sayang sama kamu lebih dari apapun. Sebegitu pentingnya status untuk kamu?"

"Aku juga sayang."

"Aku tau, Den. Aku juga cinta sama kamu." Oh Tuhan, maafkan aku. Aku tidak bisa tidak tersenyum mendengar kalimatnya ini.

"Jadi? Kita pacaran?" Tanyaku, tak sabaran.

"Denaaaaaaa." Ia menyebut namaku dengan kesal.

"Iya, iya. Hubungan tanpa status ya?" Jelasku.

"Enggak. Kita cuma teman." Dia membelakangiku.

"Teman tapi mesra ya?" Aku tertawa geli menggodanya.

"Enggaaaak!!" Dia berteriak kesal.

"Becanda kok. Enggak, enggak tapi tadi sore nyium." Aku tidak dapat menahan tawaku lagi. 

"Denaaaa!" Dia berteriak karena malu sekarang.

"Hahaha. Yaudah biarin aja kayak gini. Tidur yuk udah malem."

"Udah mau ganti hari, kali." Jawabnya. Ia berbalik kearahku, menatapku.

"Yaudah tidur. Mau ngapain?" Aku heran melihatnya, sebentar galak, sebentar manis, sebentar nangis, sebentar menggemaskan.

"Peluk boleh?" 

"Cuma teman, ya, cuma teman." Jelasku. Aku menariknya kedalam pelukanku, dia tertawa sambil memukul bahuku. Malam itu tidurku nyenyak sekali rasanya, lebih-lebih dari tidur dimanapun.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top