05. Mata pelajaran yang menyebalkan

Hampir seisi kelas sedang badmood. Guru mereka tak henti-hentinya membahas perilaku menyimpang homoseksual. Di kelas itu memang ada beberapa penyuka sejenis baik laki-laki maupun perempuan, baik yang berpasangan maupun tidak. 

"Kehidupan di asrama kita ini buruk sebenarnya. Sistemnya sudah bobrok! Karena tinggal sekamar saja bisa jatuh cinta sama temannya! Konyol kan!" 

Dia menyudutkan kehidupan beberapa siswa-siswa di sekolah itu. Siswa-siswi lainnya hanya diam mendengarkan meski risih, takut pada guru killer ini. Sedangkan yang normal tertawa geli, menertawakan teman-temannya yang tersindir.

Denata menatap ke luar jendela, tak acuh. Tak lama kemudian sesi diskusi dimulai, siswa-siswa itu dibagi ke dalam kelompok untuk berdebat tentang hubungan sejenis ini. Dia sekelompok dengan Sonia dan beberapa siswa lainnya, sedangkan Neratha yang duduk di bangku ujung depan sekelompok dengan Renata dan beberapa siswa lainnya. Perdebatan antar kelompok pun dimulai.

"...tapi kan kaum LGBT itu harus dibasmi!" Perdebatan semakin panas.

"Saya menolak sebagai tim pro! Cinta itu tidak bisa dipaksakan! Kalau sukanya sama sejenisnya mau bagaimana!" 

"Eaaaa... Tim pro homo terbawa emosi, pemirsa." Renata menyambung dari bangkunya, membuat beberapa teman-temannya cekikikan mendengar kalimatnya.

"Tapi kan walau suka sama sejenis juga gak boleh maksa donk kalau yang dikejar gak suka! Tetap ada hak untuk menolak itu!"

"Betul! Betul!"

Seketika kelas menjadi riuh antara siswa-siswa yang pro dan kontra dengan topik homoseksualitas. Hingga tiba saat kelompok Neratha maju sebagai tim pro, melawan para siswa yang kontra. Perhatian Denata mulai tertarik, dia mulai memperhatikan dengan was-was. Dia tau sekali Neratha pasti tidak mau dijadikan tim pro, kalau saja guru BK tidak menentukan seperti tadi pasti dia akan jadi tim kontra.

"Ih, ada pelakunya juga di tim pro." 

"Neratha..?"

"Iya. Sayang sih padahal cantik, pinter lagi." bisik-bisik beberapa siswi membuat Denata ingin menendang mereka satu persatu. Perdebatan masih berlangsung, walaupun Neratha dan timnya mendebat berdasarkan pijakan ilmu psikologi dan ideologi liberal masih saja para siswa di tim kontra tidak ingin kalah. Menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka jika bisa menjatuhkan apalagi mengalahkan wakil ketua OSIS di sekolah itu. Hingga...

"...iya donk kan kamu juga salah satu pelakunya, bukan?" Seketika kelas menjadi riuh.

"..." Denata bangkit dari duduknya.

"No offense ya. Kalo isi otak kosong dan gak bisa berargumen memang hobinya ngejatuhin orang yang berisi aja kerjaannya. Gak baca data apa? Yang disampaikan tim pro daritadi kan berdasarkan ilmu psikologi. Lagian, menurut APA atau American Psychological Association, homoseksual itu bukan penyakit jiwa. Tapi cuma perbedaan orientasi seksual. Tapi memang di negara kita itu melanggar adat dan agama! Bisa mikir gak sih? Sampai gak logika kalian kesana? Ck. Makanya banyakin baca donk."

Seisi kelas hening. Guru bimbingan konseling mereka seketika pucat, takut di pecat. Denata duduk kembali di kursinya setelah selesai memberikan penjelasan tadi dengan lantangnya lalu memandang keluar jendela.

"Hari ini kita akhiri sampai disini. 5 menit lagi istirahat. Kembali ke tempat duduk." Guru itu berjalan keluar kelas setelah mengemasi buku-bukunya.

"Gila sih, Denata keren banget." Renata takjub, sedangkan Neratha tak bersuara daritadi.

"Kantin yuk." Suara bass dibelakangnya mengejutkan Denata.

"Eh, Roy. Enggak deh. Duluan aja." 

"Kenapa?" Lelaki tampan itu cemberut mendapat penolakan Denata.

"Lagi pengen sendiri." 

"Bales WA aku ya tapi nanti malem. Hehehe." 

"Iya siap, Pak Sekretaris OSIS."

"Bentar lagi bagi rapot bulanan, Den. Lu males dikit kek jangan baca buku terus jadi kan gue bisa rangking 2." 

"Rapor, bukan rapot, Roy."

"Sama aja Den!" 

"Di KBBI gak ada kata rapot. Cek deh." Denata tak mengalihkan pandangan dari bukunya.

"Itu buku apa?" 

"Sejarah."

"Nanti malem bahas sejarah yuk."

"Boleh."

"Sejarah cinta kita ya. Hahaha."

"Rese!" Denata meninju lengan Roy.

"Jahat deh Den. Pantes lu gak punya sejarah cinta."

"Terserah." 

Tiba-tiba Renata, Sonia dan Neratha datang mendekat.

"Den, ke kantin yuk?" 

"Ayo." 

"Ih! Dena! Tadi gue ajakin gak mau! Si Etha ngajak langsung mau!"

"Ayolah barengan gak usah merajuk gitu kayak banci." Renata menatap Roy dengan sebal. 

Akhirnya mereka pergi ke kantin.

"Kok diem aja?"

"Gapapa."

"Udah jangan dipikirin." 

Denata bertanya pelan pada Neratha yang duduk disampingnya, saat ketiga temannya heboh membicangkan hal lain.

"Enggak kok Den."

"Jangan boong mulu deh. Tuman!" 

"Den! Bosen gue denger kata tuman mulu hari ini!" Neratha kesal lantas mencubit pinggangnya.

"Gue jerit nih Tha, lepas gak?" Denata menahan tawanya.

"Siapa tuman?" Roy menyambung.

"Si Etha tuman." 

"Si Denata kuman." 

Mereka tergelak.

"Son, tuh." Renata menyenggol lengan Sonia, menunjuk kerumunan diujung yang baru datang. Rombongan kelas XII IPA 1.

Diantara 6 orang itu tampak Vania sedang menggandeng erat lengan Riana. Keduanya tampak bahagia dan sangat serasi, di mata homolovers. Di mata orang normal mah iyuh yuh yuh.

Sonia membuang mukanya. Sakit. 

"Napa lu? Kebakaran ya? Panas mbak? Gue pesenin es ya?" Renata terkikik jahil.

"Gak. Ayo makan yuk. Bentar lagi masuk." 

"Eh sayang kita duduk disini yuk!" Tak disangka tak diduga, Vania menyeret Riana duduk di meja sebelah Sonia. Riana diam saja, menatap sekilas ke meja disebelahnya. Matanya menangkap Sonia. Sonia tersenyum tipis lalu mengangguk sedikit.

"Kamu mau apa? Aku pesenin." Wajahnya lesu sekarang.

"Yang biasa aja."

"Oke bentar ya." Riana pergi memesan makanan, rombongan anak IPA itu mulai berbisik-bisik. Sedangkan rombongan anak IPS tak henti-hentinya tertawa daritadi. Hanya Sonia yang tidak terlalu bersemangat, diam-diam mencuri pandang kearah punggung kekasihnya di depan sana.

"Ini sayang." Tiba-tiba Riana yang sedang membawa nampan berhenti di depan Sonia. 

"Ini anak kok gobloc sih, mau nyari mati apa ya main-main di depan pacarnya." Sonia terkejut setengah mati.

"Sini sayang, kok malah ke kanan." Vania untungnya tidak curiga. Riana masih memalingkan mukanya ke Vania saat berkata "ini sayang" tadi.

"Eh iya sayang." Riana tersenyum tipis.

Renata tiba-tiba tertawa ngakak melihat kejadian barusan.

"Ren. Kalem Ren. Lu ngetawain Roy gitu amat."  Teman-teman semejanya masih tidak sadar situasi barusan.

"Yuk balik ke kelas." Denata sudah mulai beranjak. Mereka berjalan di belakang Vania dan Riana. Sonia mengelus pundak  dan punggung Riana pelan sambil berjalan melewatinya. Riana tersenyum senang, lalu menoleh ke belakang sedikit. Sonia mengedipkan matanya sambil tersenyum.

"Kenapa sayang?" 

"Eh? Gak apa-apa." Riana melanjutkan makannya. Sayangnya mata Vania masih sempat menangkap kemana arah mata Riana tadi. Vania menatap tajam punggung Sonia.

***

"Kan. Kamu bohong lagi bilang mau beresin kandang kelinci." 

Denata mendekat pada Neratha yang sedang nangis di pojokan.

"Ngapain kamu kesini?" Neratha masih menelungkupkan wajahnya.

"Mastiin aja."

"Mastiin apa lagi sih den?"

"Mastiin kalo kamu bener gak apa-apa."

"..." Tak ada jawaban. 

"Lupain kata-kata murid-murid brengsek di kelas tadi." 

"Mereka gak brengsek, Den. Mereka baik." Masih dalam posisi menelungkupkan wajah di kakinya, Neratha sedikit terisak.

"Mau sampe kapan sih kamu polos gini nilai semua orang baik?! Mau sampe kapan dimanfaatin terus?!" 

"...Den, gak ada salahnya berbuat baik. Berbuat baik itu gak harus milih-milih siapa orangnya. Aku cuma mau berguna aja untuk sesama." 

"Tapi kamu dimanfaatin."

"Den, kalo mereka memang jahat biar karma yang bales." 

"Mereka kayak gitu, baik depan kamu, ngomongin kamu di belakang!"

"Biarin aja den, ada karma. Aku bersyukur mereka baik karena kamu bantuin aku di kejadian tahun kemarin."

"Lupain masalah kejadian besar tahun kemarin."

"Gaakan lupa seumur hidup! Hahaha!" 

"...yaudah nangis deh. Aku temenin."

"Aku udah ketawa ih masa disuru nangis!"

***



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top