04. Feronica-ku yang dulu

Aku sudah berjalan kembali ke kelas bersama Denata. Pakaianku sudah bersih sekarang. Tidak sulit mengganti pakaian ini saat meminta pertanggungjawaban Dena. Dia langsung membelikan satu stel seragam baru di bagian perlengkapan. Sepanjang koridor yang didominasi warna putih ini kami sibuk membahas anggota-anggota OSIS yang baru. Sampai tiba-tiba kami berpapasan dengan dia yang baru keluar dari kelasnya. Tidak ada jalan lain, untuk memutar pun sudah tidak mungkin. Rasanya menyebalkan bertemu orang yang pernah menjadi bagian dari masa lalumu terlebih lagi ia meninggalkan kenangan buruk sebelum berpisah. Orang itu sudah tinggal beberapa meter lagi, dia akan melewatiku, tepat disebelahku. Aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa mengajak Denata berbicara terlebih dia hanya diam daritadi sejak aku menyadari orang itu keluar kelas.

"Eh liat deh burungnya!" Tiba-tiba Denata menarikku untuk melihat kearah jendela sebelahnya lalu merangkul bahuku. Membelakangi orang itu.

"Itu yang sering aku kasih makan! Namanya asyap." Dena menunjuk seekor burung merpati yang sedang terbang melintas dan bertengger diatas pohon, tepat disamping jendela ini.

"Asyap? Apaan? Asap? Kok ngasih nama burung aneh-aneh sih Den?"

"Iyaaaa. Asyap itu kependekan dari ashiyap. Hehehe! Yuk jalan lagi." 

Aku menoyor kepalanya. Anak ini sering bertingkah laku konyol saat bersamaku. Berbeda 180 derajat saat dihadapan orang lain. Dena, Dena, sungguh aku beruntung memilikimu.

Kami kembali berjalan, orang itu sudah lewat. Sepertinya aku harus mentraktir Denata sebagai tanda terima kasih.

***

Flashback.

"Kebagusan lu tau gak! Lu kira lu cantik hah?!" Seorang senior dengan vest cokelatnya sedang menendang perutku.

"Siram! Hajar! Terus! Tendangin aja!" Seorang lagi dengan dasi cokelat tanpa vest sedang merekam dengan hp-nya.

"Ampun Kak. Ampun." 

"Berani ya lu rebut Fero? Hah?! Dasar gak tau diri!" Seorang lagi dengan vest tanpa dasi menampar pipiku.

Senior-senior yang tak kukenal daritadi tak henti-hentinya memukuliku di belakang sekolah, sejak selesai piket kelas aku diseret kesini oleh mereka. Salah satu dari mereka mengaku pacarnya. Bajuku sudah basah, pandanganku buram. Sampai tiba-tiba aku mendengar suara yang familiar di telingaku.

"Sayang? Stop!" 

"Kamu ngapain kesini? Mau belain selingkuhan kamu ini?" 

"Enggak. Aku gak ada hubungan sama dia, sayang. Semua yang kamu dengar cuma gosip aja."

Dia menatapku nanar, matanya ketakutan, dia gelagapan, dan dia sedang berbohong sekarang. 

"Fer, kamu pacaran sama dia?" Tanyaku, lemas.

"Iya. Kamu jangan ngejar-ngejar aku lagi ya." Jawaban menyakitkan meluncur keluar dari bibirnya. Bibir yang pernah menyentuh bibirku.

"Heh! Dia siapa maksud lu?! Gak sopan ya ini anak minta dihajar!" 

Senior yang mengaku pacar Fero itu sudah menarik kerah bajuku dan bersiap menampar lagi. Aku menutup mataku erat-erat. 1 detik... Tidak terjadi apa-apa. 5 detik. Aku buka mataku ketika mendengar suara orang jatuh tersungkur.

Senior itu jatuh tersungkur, dan disana Denata berdiri tegak menginjak tangannya. Kedua temannya tidak berkutik, hanya menunduk ketakutan. Fero? Dia hanya mematung menyaksikan.

"Sini hp yang lu pake ngerekam daritadi, bangsat! Kasih atau gue hancurin hpnya sama hidup lu sekalian?!" Denata berteriak pada senior yang daritadi bertugas merekam saat aku disiksa. Anak itu menyerahkannya. Denata tampaknya sedang menghapus rekaman video tadi, lantas membanting hp itu ke lantai hingga layarnya pecah. 

"Brengsek!" Senior yang menampariku maju dan mendekati Denata. Tapi Denata dengan tangkas menarik tangannya dan memelintirnya.

"Mau gue patahin? Gue gak takut." 

Senior itu meringis hingga bersujud. Sepertinya sakit sekali. Denata menamparnya lantas menendangnya, begitu juga dengan si pemilik hp yang rusak tadi. Sekarang ketiganya tersungkur di lantai. Fero masih berdiri mematung melihat kami. Aku? Untuk tegak saja aku tak mampu sekarang, masih tersungkur di lantai.

"Itu buat temen gue. Sekarang, pergi dari sini kalian semua para bajingan, kalo gak mau pindah sekolah, dasar bajingan!! Dan jangan ganggu temen gue lagi!!" 

Ketiga senior tak dikenal itu segera melarikan diri. 

"Heh, bangsat. Lu busuk ya ternyata. Jadi lu cuma mainin temen gue aja? Mau mati lu ya?" Denata maju mendekati Fero, ia menarik kerah bajunya. 

"Jangan, Den." Aku merangkak, memeluk kakinya.

"Please jangan lukain Fero" mohonku.

"Kalian harus putus sekarang, Tha! Dia gak baik! Dia penipu! Brengsek!" Denata menjerit marah.

"Lu gak mau ngomong apa-apa lagi? Bangsat!" Denata menunjuk Fero.

"Maaf. Ner, kalo kamu mau putus sekarang aku gapapa."

Aku hanya menangis mendengar kata-katanya.

"Maaf, aku memang pacaran sama dia tapi itu juga dia yang maksa. Aku gak mau dia lukain kamu. Dia ngancam bakal nyebarin hubungan kita ke semua murid. Aku gak mau kamu kena masalah." Penjelasan dari Fero justru membuatku hancur lebur. Kamu gak mau mereka lukain aku? Tapi sekarang apa, sayang? Aku udah babak belur dan kamu gak ngapa-ngapain. Apa kamu juga takut sama mereka? Kalo kamu takut kamu bilang aja sayang, aku rela. Jangan cuma diam dan buat aku salah paham kayak gini.

"Bukannya lu yang gak mau kena masalah kalo Bapak lu itu yang kepala sekolah tau kelakuan anaknya?!" Denata membentak Fero lagi.

"Den, please. Jangan bawa-bawa orangtua." Aku semakin erat memeluk kakinya, masih menangis.

Denata memapahku berdiri. 

"Brengsek lu!" Dia berteriak tepat di telinga Fero. 

Kami kembali ke asrama, tepatnya ke kamar Denata. Dia segera memindahkan semua barang-barangku ke kamarnya. Dia meminta teman sekamarnya bertukar kamar denganku. 

"Ssh... Sakit."

"Tahan. Tinggal yang ini yang belum diobatin, Tha."

Denata mengobati luka-luka di sekujur tubuhku daritadi. Tapi luka di tepi bibirku ini pedihnya luar biasa. 

"Diapain sih tadi?"

"Ditonjok sama ditamparin."

"Ck. Kenapa gak ngelawan sih?" 

"Aku kan gak bisa muaythai kayak kamu."

"Kalo gak diobatin nanti infeksi, Tha. Itu udah mulai lebam, ada darahnya juga." 

"Sakit banget, Den. Kesentuh dikit aja sakit." 

Denata menghembuskan napasnya keras, masih sambil menatap luka di tepi bibirku.

"Aku ada obat yang gak sakit. Mejem."

"Gak mau pake air hangat Den apalagi alkohol. Kamu mau bikin aku nangis semalaman?" 

"Baring gih. Sekalian tidur."

Aku menurut saja, karena badanku sudah mau hancur rasanya. Denata ikut berbaring disampingku.

"Mana obatnya? Salep ya?" 

"Belum nyampe salepnya, besok pagi baru bisa nyari salep. Udah aku pesenin."

"Terus?" 

"Udah, mejem aja. Jangan gerak lagi. Kamu tau kan air ludah bisa nyembuhin luka? Untuk keadaan darurat."

"Kamu mau ludahin aku? Jangan jorok deh Denaaaa. Aku gak mau." Aku merengek kesal padanya. Dia masih saja bercanda.

"Pejem. Aku gak ludahin." Dia menatapku serius.

"Jadi?"

Denata mendekat, mengikis jarak denganku, hingga bibirnya tertempel pada lukaku. 

Aku membeku. Terdiam. Terlalu terkejut untuk bereaksi. Aku tidak bisa melihat matanya, aku terpejam. Tak lama kemudian Denata melangkah ke toilet, kemudian mendekat lagi padaku.

"Tadi aku buang darahnya. Mejem lagi kayak tadi."

Aku menurut saja. Denata tidak bohong. Rasanya tidak menyakitkan seperti diobati alkohol atau dibersihkan dengan handuk hangat. Bibirnya sudah menempel lagi di lukaku. Setelah lama, kemudian aku terbangun karena rasa pedih.

"Sakit ya?" 

"Ssh..."

"Maaf, tetap harus dibersihin lukanya." Denata meletakkan handuk bekas alkohol.

"Kan tadi udah!" Rengekku.

"Tadi kan pertolongan pertama. Kurang lama diobatinnya?" Denata tersenyum tengil. 

"Kurang lama apalagi sampai aku ketiduran?" Dengusku.

"Maaf."

"Untuk apa?" tanyaku.

"Untuk ninggalin kamu selama kamu bertarung sendirian." Denata menggenggam tanganku.

"Maaf 4 bulan ini aku jauhin kamu sejak aku marah hari itu. Aku gak tau hal buruk apa yang harus kamu lewatin sendirian selama gak ada aku. Aku nyesal banget." 

Aku duduk bersandar di sandaran kasur, menghapus air matanya dengan tanganku.

"Jangan minta maaf. Kamu gak salah, Den. Aku yang salah. Aku yang bodoh. Harusnya aku gak ikutan marah dan cuekin kamu."

Isak tangisnya tambah keras.

"Janji ya habis ini kita sama-sama lagi? Lupain semua kenangan buruk. Besok kita mulai hari yang baru." Denata tersenyum sambil mengacungkan kelingkingnya.

"Janji." Aku menautkan jariku ke jarinya.

Malam itu pertemanan kami kembali utuh. 

Flashback end

***

"Kak, ini untuk kakak." Nita menyodorkan sekaleng sprite.

"Makasih ya Nit. Kakak aja nih? Kak Denata nya enggak?" Godaku sambil tertawa. 

"Ah.. eh..." Nita gelagapan, padahal aku cuma bercanda.

"Gak butuh." Denata menjawab dengan wajah dinginnya.

"Senyum kek!" Aku mencolek pinggangnya, tapi dia malah mundur. Dia memang sangat menjaga imagenya di depan orang-orang.

"Gak usah rese." Denata menjadi sangat dingin. Lucu sekali menggodanya di depan orang-orang seperti ini.

"Bercanda Nit. Makasih ya. Kami masuk dulu." Aku melambai pada Nita dan kembali berjalan ke kelas bersama Denata.

***








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top