02. Denata

Aku menguap beberapa kali di bawah bayangan atap gedung, menghindari lapangan yang panas. Siang ini hari sangat panas, tapi gadis itu masih saja semangat daritadi mengurus hal-hal yang menurut kebanyakan orang merepotkan. Membantu menyiapkan perlengkapan olahraga, membantu mengambilkan keranjang bola, membantu teman yang minta diantar ke UKS, membantu teman yang minta diajari melakukan lay up shoot ke ring, membantu guru, dan hal-hal lainnya yang merepotkan menurut kebanyakan orang. Hingga akhirnya dia melangkah mendekat dengan muka capeknya yang penuh keringat tapi malah menambah kesan sexy, membuatku malah tambah lekat menatapnya. 

"Udah capeknya, bu kepala sekolah?" Ledekku.

"Apa sih lu. Gak olahraga? Jam olahraga malah neduh nanti lu tambah gendut." Ia duduk disampingku.

"Nih. Dan gue gak gendut."

"Hahaha! Iyadeh yang kurus kayak super model, ih, makasih. Tau aja aku ha-" 

Belum sempat ia menerima sebotol air mineral yang kuberikan tiba-tiba seorang siswi kelas 1 menarik lengannya.

"Kak, ini aja. Aku nungguin Kakak loh daritadi." 

Aku bengong. Siapa anak ini?? Datang darimana tiba-tiba? Dan apa-apaan dia dengan handuk kecil dan sebotol air mineral di tangannya?

"Eh, iya. Makasih ya, Nit." Neratha tersenyum ramah pada anak itu dan menerima handuk serta air minumnya yang sama dengan yang sudah aku siapkan. Anak itu mengangguk senang sekali sambil tersenyum, kemudian pergi berlalu dari hadapan kami.

"Siapa?" Tanyaku.

"Nita. Wakil ketua kelas 1A." 

"Oh."

"Cemburu?" Neratha tertawa keras.

"Enggak!" Sergahku cepat. 

"Bagus." Jawabnya. Jawaban yang tidak ingin kudengar.

"Thaaa temenin! Mau main ganda kurang 1 orang." 

"Ah iya bentar." 

Anak-anak kelas sudah memanggilnya lagi untuk bergabung.

"Kamu gak ikut?" 

"Enggak. Males. Capek."

"Yaudah, sini." Neratha mengulurkan tangannya untuk meminta sesuatu padaku. Aku bingung. Apa dia minta duit? Aku merogoh kantong celana training dan memberinya selembar seratus ribu. 

"Bukan, bego! Itu!" Dia menunjuk botol air minum disampingku yang tadi hendak kuberikan padanya.

"Buat? Lu kan udah ada." 

"Siniin!" Lantas aku memberikannya. Kukira dia haus sehingga 1 botol tidak cukup. Tapi ternyata dia menukar botolnya dengan botolku, lalu meminumnya.

"Aaah~ Makasih ya! Dadah buncit!" 

Lalu dia berlari meninggalkanku. Anak itu memang bodoh. Terlalu baik malahan. Aku benci dimanfaatkan tapi dia malah senang dimanfaatkan. Kehadirannya membuatku sadar, masih ada orang tulus di bumi ini. Walau kejadian tahun lalu membuatku terpukul.

*Flashback*

"Tha, kamu tau kan kalo anak-anak di asrama kita gak cewe gak cowo itu ada yang suka sama pasangan sejenisnya?"

"Iya tau. Kenapa den?"

"Kalo ada yang suka sama kamu gimana?"

"Ya gimana? Aku bisa apa?"

"Beneran?"

"Iya, tapi aku sukanya sama cowo." 

"Idih sok straight!" 

"Setan! Gue normal!" 

Walaupun aku sedikit terpukul, kami masih tertawa malam itu, bercanda bersama. Tahun pertama di SMA ini aku mendapat kamar yang sama dengannya, sebelum di rolling. Kamar yang salah, yang seharusnya tidak membuatku jatuh sedalam ini kepadanya dengan semua sikap-sikap baik dan perhatiannya.

Tahun kedua. Kami sudah pisah kamar, aku bergabung dengan seorang senior dan seorang junior kelas 1. Sedangkan Neratha sekamar dengan seorang teman seangkatan kami dari kelas lain. Memang jumlah orang tiap kamar tidak selalu sama.

"Psst. Tuh dia datang."

"Iya. Gak nyangka ya dia kayak gitu." 

Aku mendengar bisik-bisik murid di depanku sedang membicarakan orang, membuat telingaku terganggu. Tapi segera mataku teralihkan dari buku The Alchemist karangan Paulo Coelho begitu sadar orang yang dibicarakan mereka adalah Neratha. 

"Dia jadian sama Fero kemarin. Gak nyangka ya dia gak normal." 

"Apa? Neratha jadian sama Fero? What?!" Batinku.

"Iya ih, kirain dia normal. Sayang deh cantik-cantik gak normal." Gadis cantik yang tidak cantik-cantik amat ini tambah jelek dimataku sekarang. Mulut kurang ajarnya harus disumpal.

"Heh! Ngomong apa barusan?!" Aku mencengkeram bahunya dari belakang.

"Ah sakit! Apasih Den?" 

"Lu ngomong apa tadi? Ngatain siapa hah?" 

"Sakit, lepasin!" 

Neratha yang sedang duduk di meja ujung paling depan menoleh kearah kami. Ia terbelalak melihatku mencengkeram salah satu siswi di kelas kami yang bahkan aku tidak tahu namanya. 

"Den! Den, kenapa?" Ia berjalan mendekat.

"Ini nih, Tha, si Dena tau-tau nyengkeram bahu orang! Kan sakit!" 

"Eh munafik! Tadi lu jelekin siapa hah?!" 

"Tha, tolongin! Kami gak salah!" Celetuk teman setannya. 

"Den, lepasin! Jangan gini!" 

"Tha, sakit, tha! Tolong!" Gadis setan yang sedang kucengkeram malah playing victim. Dasar munafik.

"Dia tadi jelekin kamu!"

"Bohong, Tha! Gak ada! Kami lagi bahas hal lain!" Celetuk teman setannya lagi.

"Den, udah Den! Stop it!" 

Neratha memegang tanganku keras, lalu menarikku pergi darisana. Kami terdiam sepanjang jalan. Dia masih menarikku ke belakang gedung sekolah tepatnya ke West Garden, taman sebelah barat. 

"Kamu kenapa tadi berantem? Jangan kasar, Den!" 

"Tapi dia ngomongin kamu!"

"Ngomongin apa? Gak mungkin den, mereka itu baik."

"Katanya kamu gak normal!" Jeritku, tak tertahan. Suasana sangat sepi, guru-guru pasti sudah masuk ke kelas. Mata Neratha terbelalak. 

"Benar? Jadi benar?" Tanyaku. Dia membuang muka.

"Tha, jawab!" 

"Iya, gue pacaran sama Fero."

"Kenapa?! Kok bisa Tha?!" Aku mengguncang kedua bahunya. Tapi dia masih tidak mau menatapku.

"Karena aku suka dia! We fell in love, den! God!" Neratha mengusap wajahnya kasar.

Aku menatapnya nanar.

"Katanya kamu normal?" Tanyaku, pelan, dengan suara bergetar, tak karuan, menahan sakit dan tangisku.

"Den, aku gak tau. Aku senang sama semua sikap dia, sama semua percakapan kami, sama semua malam-malam yang kami lalui, dan aku pengen terus di dekat dia." Jelasnya.

"Cuma dalam waktu 3 bulan?! Kita baru 3 bulan pisah kamar, Tha! Dan kamu baru 3 bulan sekamar sama dia! Apa yang dia lakuin ke kamu?!" Jeritku.

"Iya, Den. Aku gak tau Den. Tapi rasa yang kami rasain sama." Jelasnya.

"Terus dulu waktu setahun kita sekamar memangnya kamu gak kayak gitu?" Tanyaku.

"Enggak, Den. Aku sayang kamu sebagai sahabat. You're my bestfriend." Jawabnya.

"Tapi aku cinta, Tha. Kamu jahat." Aku pergi berlalu meninggalkannya. Dan kata-kata barusan aku teriakkan keras-keras dalam hati.

"Den! Denata! Dena!" 

Dia masih berteriak dibelakangku tapi aku sudah terlanjur lari. Hari itu aku bolos.

*Flashback end*

***

"Enak donk sekarang punya kamar pribadi." 

"Apanya yang enak? Suram tau!"

"Oh pantesan sering ke kamar gue. Ada butuhnya aja ya."

"Ih gak gitu kampret!" Neratha menjewerku.

Kami sedang berjalan pulang. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top