Chapter 9 - Nyanyian Hujan dan Tukang Tambal Ban

"Gue ada ide."

Lazuardi langsung bangkit dari kasur empuknya. Dia duduk bersimpuh di hadapan Banyu.

"Lo liat tingkah dia aja besok."

Suara decakan keluar dari mulut Lazuardi. "Nggak segampang itu. Lagian cewek begituan mana peduli sama gambar kayak gitu."

"Ya udah masalah selesai, 'kan? Dia nggak peduli itu berarti perasaan lo aman!"

"Tapi kalo dia peduli?"

Banyu menghela kesal, matanya berputar ke atas dan menjatuhkan tubuh di lantai berkarpet. "Susah musuh orang yang lagi ngerasaian bunga-bunga bermekaran."

"Nyu, lo tahu sendiri, kan, kalau dia.... "

"Iya, iya gue tahu, dan dia bukan tipe gue. Nyesel gue udah ngerebut dia dari elo." Banyu mengangkat sebagian tubuhnya, dan satu tangannya menyangga kepala. Posisi seperti model yang sedang melakukan proses pemotretan menjadi posisi favoritnya saat ini. "Maafin gue udah lancang selama ini."

Lazuardi menggeleng dengan dengusan. "Gue nggak masalah. Selama lo sadar dan menganggap gue sahabat.

Banyu mencebikkan mulut.

"Terus gimana solusinya?"

"Ya kayak semula lah." Telunjuk Banyu mengarah ke Lazuardi. "Lo tinggal liat tingkah dia, kalau dia salah tingkah, berarti tuh cewek yang nemu. Dan satu lagi, lebih baik lo selalu ikut gue latihan band untuk lebih meyakinkan dugaan lo."

*****

Hujan!

Haruskah Nuansa menjelaskan rentetan peristiwa hari ini? Bahkan semesta pun ikut mendukung kesialan yang menimpanya hari ini. Nuansa berdiri terbengong di ujung pintu keluar area parkir.

Titik-titik jarum langit itu mengucur hebat, membasahi semua yang ada di bawah. Nuansa menoleh ke sisi kiri untuk melihat lapangan yang sepi kemudian dia menatap jalanan yang masih dilalui beberapa kendaraan bermotor. Kalau saja dia membawa jas hujan, dan kalau saja bannya nggak kempes, Nuansa pasti sudah nekat pulang.

Tapi oh tapi, kenapa semua bersekongkol?

Lazuardi yang masih berada di area parkir hanya memandangi punggung Nuansa. Dia ingin sekali menemani cewek itu menikmati bunyi hujan yang menari-nari di asbes parkiran. Atau kalau bisa, membantu Nuansa mendorong motor. Namun, dia nggak mau menerima penolakan. Lazuardi yakin kalau Nuansa masih kesal dengan ucapannya tadi.

Bisa-bisanya mulutnya melontarkan kata-kata yang mungkin menyakiti perasaan Nuansa. Jujur, memang ada unsur ketersengajaan dalam ucapannya, tetapi kenapa rasa bersalah itu sangat besar? Lazuardi memiliki alasan tersendiri untuk melakukan semua itu.

Kesadarannya tertarik dengan cepat saat melihat Nuansa mendorong motor, menembus hujan. Tanpa berpikir panjang, dia mengejar Nuansa dan berhenti di hadapan cewek itu.

Mata Nuansa masih menyalang tajam. "Please, gue lagi males berdebat." Suara Nuansa membaur dengan guyuran hujan. Seluruh tubuhnya sudah basah kuyup, pun dengan Lazuardi.

Tanpa banyak bicara, Lazuardi meraih setir motor Nuansa.

"Please!"

Lagi-lagi Lazuardi hanya diam, dan mencoba melepas tangan Nuansa dari kemudi.

"Gue mohon jangan ganggu gue sekarang!" Kini suara Nuansa lebih keras dari suara hujan.

"Gue nggak mau lo kenapa-kenapa."

Bagai sebuah sihir, tangan Nuansa langsung melemas. Ucapan Lazuardi seperti mantra yang bisa menghipnotis dirinya. Lazuardi dapat memegang kendali motor cewek itu dengan mudah.

"Ayo."

Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Nuansa menuruti perintah Lazuardi tanpa pengelakan sedikit pun. Dia berjalan mengekor di belakang Lazuardi tanpa sepatah kata pun. Matanya kosong, pun dengan pikirannya. Dia nggak mampu melakukan apa pun selain berjalan mengikuti cowok jangkung itu. Benda dari langit terus mengguyur tubuh mereka berdua tanpa ampun. Ritme yang mengalun semakin intens, sesekali terdengar gemerutuk di langit abu-abu itu.

Lazuardi menoleh berkali-kali untuk memastikan keberadaan Nuansa. Dia takut kalau cewek itu jatuh pingsan karena guyuran hujan. Matanya bisa melihat raut hampa di antara kabut hujan yang menderas. Cewek ini pasti lelah dengan peristiwa yang terjadi hari ini. Apa yang bisa ia lakukan untuk mengembalikan wajah ceria Nuansa.

Tiga kilometer mereka tempuh tanpa perbincangan. Tukang tambal ban yang berada di tepi jalan menyambut mereka dengan suka cita, nggak peduli tubuh yang akan basah nantinya. Lazuardi menyerahkan motor Nuansa dengan senyuman singkat. Dia melihat Nuansa sudah duduk di kursi kayu panjang, berteduh. Lazuardi berlari kecil menghampiri Nuansa yang enggan melihatnya.

"Lo nggak kedinginan?" Lazuardi mencoba mencairkan situasi dingin yang serasi dengan cuaca hari ini.

Nuansa hanya melirik Lazuardi yang berdiri di sampingnya. Pertanyaan itu terdengar konyol di telinga Nuansa. Dingin? Yaiyalah, namanya juga hujan-hujanan!

Lazuardi mencari sesuatu untuk dijadikan penghangat. Dia melihat lembaran kain kusam tergantung di besi bagian atas.

"Bang, boleh pinjem, nggak?" tanya Lazuardi kepada tukang tambal ban.

Orang itu menghentikan gerakannya. "Boleh, Dek."

Nuansa hanya melihat seluruh gerak lazuardi tanpa berkomentar. Dia langsung terperangah saat lembaran kain itu diselimutkan Lazuardi ke tubuhnya.

"Pakai seadanya daripada masuk angin."

Baru saja Nuansa akan membuka mulut, tukang tambal ban sudah menginterupsi.

"Dek, kena dua paku!" seru tukang itu sambil menunjukkan dua paku berukuran besar. "Habis dari mana kok separah ini?"

Lazuardi menggaruk tengkuknya. Jujur, dia nggak tahu harus menjawab apa.

"Ya dari jalanan lah, Bang. Masa diem di tempat bisa kena paku!" celetuk Nuansa dengan nada kesal.

Wajah tukang tambal ban itu langsung berubah masam. Sedangkan Lazuardi hanya meringis melihat ekspresi itu.

"Kalau lo ngelakuin ini cuma buat permintaan maaf. Gue maafin."

Lazuardi langsung menoleh ke arah Nuansa. Akhirnya cewek ini mau bicara dengannya.

"Denger, ya. Sebenernya gue nggak butuh bantuan elo. Gue bisa sendiri. Gue sengaja diem aja biar lo tahu sebesar apa rasa kecewa gue!"

Satu sudut bibir Lazuardi terangkat. Cewek ini tetap menjaga image. Dia memutar tubuh, menghadap Nuansa sepenuhnya. "Gue sama sekali nggak merasa bersalah sama lo."

Mata Nuansa mendelik.

"Gue cuma kasihan sama lo."

Nuansa langsung memalingkan wajah. Cowok ini membuat ubun-ubunnya memanas.

"Gue tahu kalau lo sakit hati sama ucapan gue. Tapi lo sadar nggak, sih, kalau ucapan lo selama ini menyakiti banyak orang?"

Sontak Nuansa mendongak, dan menatap lamat-lamat manik hitam legam itu. Kata-kata itu menampar keras kesadaran Nuansa. Dia seolah ditarik paksa untuk melihat kembali ke belakang. Wajah-wajah kesal teman-temanya silih berganti bagai rol film yang sedang berputar. Tatapan Lazuardi seperti mengajaknya mengelilingi neraka, dan menghitung kesalahan yang pernah ia perbuat.

"Emang ada baiknya kalau cewek bersikap jutek. Tapi jutek nggak selalu kasar."

Nuansa menelan saliva dengan susah payah.

Lazuardi berjongkok untuk menyejajarkan pandangan. "Suaramu lebih indah daripada makianmu."

Nuansa langsung terkesiap mendengar nada lebih lembut dan sebutan 'lo gue' yang berubah dari mulut Lazuardi. "Jangan bilang kalau lo cuma modusin gue, ya! Gue nggak akan tertipu!" sangkalnya.

Lazuardi langsung terbahak melihat perubahan emosi Nuansa yang signifikan. "Bagus kalau lo udah balik seperti semula. Gue harap lo bisa memikirkan perkataan gue." Dia bangkit dari posisi dan kembali membelakangi Nuansa.

Entah kenapa, titik-titik langit yang turun menimbulkan nada indah di hati Nuansa. Entah itu kata-kata Lazuardi, entah itu suasana hatinya yang naik-turun dan entah itu punggung lebar yang terlihat hangat. Yang jelas, iringan hujan bersatu dengan suara obeng tukang tambal ban sanggup memintal nada indah di hati Nuansa.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top