Chapter 25 - Lembaran yang Terbuka Lebar


Lagu dari Christina Peri menyeruak masuk ke telinga Banyu ketika ia akan berjalan mendekati Lazuardi. Lagu yang sangat familier itu menarik kesadaran Banyu. Rangkaian peristiwa yang terjadi tadi siang memberi keyakinan padanya. Dia langsung membuka pintu cokelat itu. Dan benar saja, Nuansa ada di balik pintu. Matanya menangkap pandangan Nuansa yang menerobos masuk ke dalam ruangan. Tepat di saat ponsel Nuansa terjatuh, Banyu menarik mundur lengan Nuansa dan langsung menutup pintu.

"Ngapain lo ke sini?"

Bola mata Nuansa bergulir tak tentu arah. "Itu Lazuardi, 'kan?"

"Lo pergi dari sini!" Banyu berusaha menarik lengan Nuansa.

Nuansa berontak dari genggaman Banyu, dia berusaha melepas tangan itu. "Itu Lazuardi, 'kan?!"

"Gue bilang pergi dari sini!"

Tanpa ba-bi-bu, Nuansa mendorong tubuh Banyu kuat-kuat. "Jawab pertanyaan gue, Bay!"

Banyu terhuyung ke belakang. "Ini bukan urusan lo, Sa!" Persetan dengan perkataan Banyu. Nuansa sudah balik kanan, tetapi Banyu mencegah pergerakan cewek mungil itu. "Gue bilang ini bukan urusan lo!"

"Dia pacar gue! Dan lo nggak ada hak apa pun ngelarang gue untuk tahu keadaan pacar gue."

Perkataan Nuansa meremat kuat hatinya. Kalau saja bukan karena Lazuardi, sendinya sudah pasti akan melemas saat mendengar itu. "Gue juga punya hak karena sudah diberi mandat oleh Lazuardi!"

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Perhatian mereka berdua teralih ke arah pintu itu. Tante Mira keluar dari balik pintu, memungut ponsel Nuansa yang terjatuh kemudian tersenyum lembut.

"Iya, yang di dalam adalah Lazuardi."

Tubuh Nuansa langsung melemas, tetapi Banyu berhasil menahan tubuh itu.

Tante Mira maju mendekati Nuansa kemudian menyodorkan ponsel yang masih berdering. "Angkat dulu teleponnya. Pasti ada sesuatu yang penting. Nanti Tante jelaskan semuanya."

Kesadaran Nuansa kembali sepenuhnya. Dia meraih ponsel dan melihat nama Citra tertera di sana. "Ha-halo, Kak?" Entah harus dibagi menjadi berapa otak Nuansa saat ini, yang jelas isi kepalanya riuh dengan pertanyaan. Bukan hanya tentang Lazuardi, tetapi juga tentang Dimas. "Apa? Operasi? I-iya, Kak. Aku ke sana."

Setelah Nuansa mematikan panggilan telepon, Tante Mira langsung merengkuh pundak Nuansa kemudian menarik tubuh itu ke dalam pelukan. Tangannya membelai lembut surai sebahu itu. "Selesaikan dulu masalahmu setelah itu kembalilah ke sini."

Nuansa memejamkan mata sejenak untuk menikmati sentuhan yang menenangkan. "Iya Tante. Makasih." Nuansa merenggangkan pelukan "Aku pergi dulu." Dia mulai melangkah tanpa melihat Banyu yang masih terdiam.

"Sa," panggil Banyu. Nuansa memutar tubuh. "Gue ikut." Dia melangkah kemudian mengamit tangan itu. "Ayo."

Tante Mira hanya melihat mereka berdua menghilang dari pandangan. Dia mempunyai presepsi yang sama dengan anaknya saat melihat dua mata yang saling menatap itu.

*****

Jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam. Operasi Dimas berjalan dengan lancar, tetapi cowok bertubuh bongsor itu masih belum sadarkan diri dari pengaruh obat bius. Satu per satu teman Dimas pulang setelah mendapat kabar bahwa operasi Dimas berhasil. Cowok itu mengalami patah tulang tangan dan kaki. Nggak ada luka parah pada bagian kepala. Mereka bersyukur dengan keberuntungan yang nggak sepenuhnya membawa keberuntungan.

Banyu masih setia menemani Nuansa dengan baju seragamnya, pun dengan Nuansa yang masih memakai seragam. Dia hanya bisa diam melihat keluarga kecil itu gelisah dan saling menenangkan satu dengan yang lain. Pemandangan ini sudah sering ia lihat ketika mendampingi Lazuardi. Dia sudah berkali-kali melihat orangtua Lazuardi gelisah dengan kesehatan anak semata wayang mereka.

"Sebaiknya kalian pulang." Suara Papa membuat Nuansa dan Citra mendongak.

Banyu hanya duduk tediam di bangku seberang mereka.

"Aku mau nungguin Dimas, Pa. Papa sama Nuansa aja yang pulang, besok balik lagi. Biar aku sama Mama yang nunggu di sini."

"Aku ada keperluan sebentar."

Papa yang semula memasang wajah menimbang berubah menjadi kerutan curiga. "Urusan apa?"

"Teman sekelas Nuansa ada yang sakit di sini, Om." Spontan Banyu memutus pembicaraan keluarga kecil itu.

Papa melihat Nuansa dan Banyu bergantian.

"Biar Nuansa saya antar pulang, Om." Banyu mengulurkan tangan. "Nama saya Banyu. Teman satu band Nuansa."

Kepala Papa mengangguk paham, dia menyambut uluran tangan Banyu. "Jangan malam-malam, ya."

Kalau saja saat ini mereka sedang nggak dalam keadaan sedih, pasti Citra dan Mama menggoda Nuansa. Mereka semua tahu kalau Banyu adalah mantan pacar Nuansa dan semua info itu didapat dari Dimas, mata-mata Nuansa di sekolah. Namun sayang, keadaan saat ini nggak memungkinkan.

Setelah Papa menghilang dari pandangan, Nuansa dan Banyu berpamitan dengan Mama juga Citra. Mereka berjalan bersisian melewati lorong rumah sakit yang masih terlihat ramai. Pada saat Nuansa berbelok ke kanan menuju tangga, Banyu sudah mencegahnya.

"Mau apa lagi sih, lo? Gue capek, Bay. Please!" Terlihat jelas raut lelah dari paras Nuansa.

"Lo tahu sekarang jam berapa? Lazuardi masih sedang lemas-lemasnya dan Tante Mira juga mengantuk. Besok kita bolos sekolah buat lihat keadaan Lazuardi."

"Terus ngapain gue pulang sama lo?" Nuansa mengempaskan genggaman Banyu.

"Gue yang ceritain semua. Selama perjalanan pulang, gue ceritain semuanya."

Nuansa sedikit menimbang perkataan Banyu kemudian berakhir dengan anggukan. Nggak ada yang salah dengan perkataan Banyu, lagi pula sudah terlalu larut untuk mengunjungi orang yang sakit. Banyu menggiring Nuansa menuju mobilnya. Mereka berdua sudah duduk manis di dalam mobil. Sunyi masih menjadi dominasi kebersamaan mereka sejak di lorong rumah sakit hingga mobil Banyu melewati gerbang rumah sakit.

"Jadi lo mau cerita apa?"

Banyu mengecilkan volume radio mobil. "Dia sakit gagal ginjal akut." Nuansa mulai menyimak. "Sejak SMP kelas dua dia menderita penyakit ini. Dia masih belum menemukan pendonor ginjal karena kedua ginjalnya nggak berfungsi. Selama dia sakit, gue berusaha melindunginya agar nggak diterpa isu yang nggak-nggak. Lazuardi nggak suka dikasihani, jadi sebisa mungkin aku menambahi kebohongan yang ia perbuat."

Ingatan Nuansa langsung menampilkan beberapa kejanggalan yang ditangkap olehnya saat bersama Lazuardi. Dia mengingat Lazuardi marah saat tangannya mencoba menyentuh tangan cowok itu waktu memilih tema kerja kelompok. Gelagat Banyu yang menutup lengan baju Lazuardi saat menangkap mata Nuansa menatap ke lengan cowok itu. Dan tingkah protektif Banyu yang sempat ia salah artikan.

Banyu menarik napas dalam-dalam saat mengingat peristiwa pedih itu. "Banyu sempat koma selama tiga bulan. Saat itu dokter angkat tangan dengan keadaan Lazuardi, hanya keajaiban yang bisa menolong."

Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, mata itu akhirnya saling menatap intens. Beradu tanpa ada semburat malu.

"Lo tahu keajaiban itu dari mana?" Banyu kembali menatap jalanan. "Keajaiban itu dari lo."

Dahi Nuansa berkerut dalam. "Dari gue?"

Banyu mengangguk. "Lo tahu sendiri sewaktu kita ... maksudnya gue jatuh cinta sama lo, gue selalu ngerekam suara lo di hape gue. Lo inget, 'kan?" Nuansa mengangguk. "Saat pertama kali gue kumandangkan suara lo. Dia langsung bagun dari komanya."

Mulut Nuansa menganga. Masih adakah keajaiban seperti itu? Nyatakah?

"Gue nggak bohong soal ini. Dan sejak saat itu gue putusin kalo lo harus jadi pacar gue."

Nuansa membuang muka. Selalu ada rasa kesal ketika mengingat hubungan seumur jagung itu dan selalu ada debar yang buncah saat meihat manik cokelat itu. Begitu kontras dan gila!

Banyu menarik napas dalam-dalam. "Gue nggak nyangka kalau Lazuardi juga jatuh cinta sama lo. Awalnya gue nyesel karena mutusin lo hanya karena perkara sepele, tetapi sejak Lazuardi berkata kalau dia suka sama lo. Gue nggak menyesal setelah mutusin lo."

Nuansa tertawa getir. Jadi hanya dirinya yang susah berpindah, sedangkan Banyu sudah melesat cepat. Dan sekarang, Nuansa memanfaatkan sahabatnya untuk melupakan cowok itu. Sungguh ironi!

Banyu mendengus. "Kenapa lo ketawa?"

"Cuma pengen ketawa aja."

"Gue nggak mau lo permainin perasaan Lazuardi. Gue pengen lo tetap setia sama Lazuardi, sekali pun lo tahu kalau gue masih belum bisa move on dari lo."

Jantung Nuansa seperti diremat mendengar perkataan itu. Seharusnya dia senang mendengar hal itu, tetapi entah kenapa Nuansa seperti dipermainkan. "Lo sadar kan, dengan perkataan lo?!"

"Gue sadar, Sa. Gue sadar!"

"Lo mutusian gue begitu aja dengan alasan yang ... yang lo sendiri bisa perbaikinya! Nggak perlu ada campur tagan Lazuardi buat ngerubah gue. Seharusnya lo bisa ngelakuin sendiri, Pengecut!" Nuansa berteriak berang dengan tangan mendorong lengan Banyu.

Banyu yang terganggu dengan dorongan Nuansa langsung meminggirkan mobil di tepi jalan yang lengang. Setelah menepikan mobil, dia langsung menagkup kedua tangan Nuansa yang semakin liar. "Iya gue emang pengecut!"

"Nggak seharusnya lo bilang begini di saat gue jadi pacar sahabat lo!" Nggak ada air mata yang menetes sedikit pun dari mata Nuansa.

"Gue tahu, Sa. Gue tahu kalau yang gue lakuin saat ini jahat, tapi gue benar-benar cemburu liat lo sama Lazuardi. Bahkan tiap malam gue yang balas pesan-pesan lo ke Lazuardi."

Mata Nuansa semakin membulat. "Apa?!" Sedetik kemudian air mata Nuansa meluruh. Air mata yang sedari tadi ia tahan saat melihat Dimas terkapar dan Lazuardi seperti orang sekarat langsung pecah oleh kenyataan ini. Nuansa menangis kencang, menangisi peristiwa yang terjadi hari ini, menangisi hatinya dan kebodohan Banyu. Pantas saja selama dia berbalas pesan dengan Lazuardi, dia selalu membayangkan Banyu. Dia mengira Lazuardi memiliki kemiripan dengan sahabatnya.

"Gue ... gue masih berharap lo kembali, Bay. Tapi apa ... lo sendiri yang memutus harapan itu buat gue! Dan sekarang.... " Nuansa sudah nggak sanggup meneruskan kata-katanya. Dia hanya bisa menangis sejadi-jadinya.

Banyu mencoba merengkuh Nuansa, tetapi cewek itu menangkis. "Maafin gue, Sa."

"Permintaan maaf lo nggak guna! Lazuardi lebih baik dari lo. Paling enggak, dia jujur dengan hatinya sendiri, nggak kayak lo." 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top