Chapter 22 - Long Distance Relationshit
Big Size I'm in Love masih Open PO di Grassmedia, Gengs. Intip ig @anie_bunda yuk.
.
.
.
.
"Sadako datang!" celetuk Reno saat Nuansa duduk di kursi kantin—tempat mereka berkumpul—dengan wajah pucat pasi.
"Kayak habis ngelihat hantu aja, Sa. Pucet banget!"
Mata Nuansa menatap kedua temannya yang lagi asyik makan gado-gado-gado. Mereka sudah seperti pasangan sehidup-semati, coba saja lihat menu yang mereka makan saat ini. Tangan Nuansa mengambil satu kerupuk milik Puguh, kemudian memakannya.
"Kalo laper beli sono! Main ambil aja!" celetuk Reno.
Nuansa hanya melengos, tapi kali ini tangannya merambah ke gado-gado milik Reno. Dengan cekatan, Reno menepis tangan Nuansa.
"Lo pelit banget, No!" Mulut Puguh yang penuh dengan makanan masih sempat-sempatnya menghardik Reno.
"Tahu! Gimana pacar lo nanti. Pasti mereka nggak betah karena lo cowok paling pelit!"
"Nah, gitu dong. Ngomong! Jangan cemberut aja!" kata Puguh.
Nuansa mengembuskan napas lalu memangku tangan. "Perasaan gue ... campur aduk, Guh."
"Campur aduk gimana?" Walaupun Puguh lahap-lahapnya makan gado-gado, tetapi dia tetap meladeni omongan Nuansa. Berdeda sekali dengan Reno yang cuek.
Kedua tangan Nuansa menangkup wajahnya sendiri. Sebuah rengekan keluar dari mulut itu. "Campur aduk kayak gado-gado, Guh!"
Reno mencebikkan mulut. "Beli aja keleus kalo lagi pengen gado-gado. Nggak usah sok pakai majas metafora!"
Sontak Nuansa membuka tangan dan mendengus. "Lo ganggu suasana aja!"
Puguh menahan tawa melihat cengiran yang tampak di wajah Reno. Kali ini, gado-gado milik Puguh sudah habis. Dia meminum es teh untuk melegakan tenggorokan.
"Emang lo kenapa?"
"Lo bisa ngerjain ulangan?" Nuansa balik bertanya.
Reno hampir saja menyemburkan makanannya saat mendengar itu. Seperti yang telah diduga oleh Reno kalau Nuansa sedang mengeluhkan ulangan tengah semester yang berlangsung selama seminggu ini.
"Ngapain lo ketawa?" Nuansa sewot melihat ekspresi Reno.
Reno mencoba menelan makanan sebelum berkata, "Udah gue duga kalau muka pucet lo gara-gara mikirin ulangan yang kagak bisa lo kerjain!"
"Si—"
"Eits!" potong Puguh untuk mengingatkan temannya satu ini.
Nuansa mencoba mengatur napas untuk meredakan emosi, kemudian dia tersenyum manis. "Iya, gue emang nggak bisa, Reno. Lo tahu sendiri kala otak gue nggak pernah bener dari dulu!" Kini matanya melotot tak keruan.
Reno terbahak sambil memegangi perut. Akhir-akhir ini dia senang melihat Nuansa yang selalu menahan emosi dan menjaga mulut. Dengan perubahan seperti itu, membuatnya lebih leluasa untuk menggoda Nuansa karena semua nggak akan berakhir dengan pertengkaran. Jahat banget, kan? Tapi mau gimana lagi. Reno hanya nggak mau mengingkari nikmat Tuhan!
"PUAS LO, NO!"
Kedua jempol Reno mengacung dengan tawa yang masih menderai.
"Udah, lanjutin makan lo!" Puguh menepuk bahu Reno. Nuansa memajukan mulut. "Emang lo nggak belajar, Sa?"
"Belajarlah!"
"Lha terus? Belajarnya kayak gimana kok, sampai putus asa gitu."
"Masalahnya apa yang gue baca itu tiba-tiba nguap saat belum nyampai ke otak!"
Reno kembali tertawa mendengarnya dan mengurungkan niatnya untuk memasukkan makanan ke mulut. "Ya Tuhan, perut gue ... perut gue kram, Guh."
Nuansa memaki Reno dalam hati. Andai saja dia nggak belajar sabar, mungkin kantin bakalan gempa gara-gara mulutnya.
"Sabar, Sa."
"Gue udah sabar!"
"Oke, terus kenapa kamu nggak minta bantuan pacar lo?"
Lazuardi? Ah, dia lupa kalau punya pacar yang memiliki IQ tinggi. Tapi ....
"Nggak mungkin bisa."
"Maksudnya?" tanya Puguh.
"Dia itu di Amerika, gue sendiri juga nggak tahu Amerika mana! Yang jelas, saat gue mau belajar, dia lagi sibuk-sibuknya sekolah, dan di saat gue mau tidur, dia ada waktu kosong. Itu pun melalui chat, bukan telepon! Dia bisanya telepon gue pas pagi hari doang, pas gue baru melek mata!"
"Sibuk banget, ya, kayaknya?"
"Banget! Katanya dia lagi ngejar ketertinggalannya! Gue benci hubungan yang kayak gini, tahu nggak! Kenapa sih, dia malah pergi di saat gue butuh dia. Udah kayak Bang Toyib aja!"
Mulut Nuansa dengan lancar melemparkan unek-unek kepada Puguh dan Reno. Dia menganggap dua cowok ini sudah seperti saudaranya sendiri dan dia berani jamin kalau keluh kesahnya nggak akan keluar begitu saja, sekali pun dengan Banyu.
"Ya udah putus aja! Kalo lo nggak suka, putus aja," sela Reno.
Nuansa menatap Reno dengan kesal.
"Gue serius, Sa. Nggak ada maksud apa-apa."
"Nggak segampang itu, No. Udah ah! Gara-gara Puguh nyinggung Lazuardi, mood gue semakin kacau!" Nuansa berdiri dari bangku. "Gue balik kelas.
Puguh dan Reno hanya melongo melihat mood Nuansa yang begitu jelek. Mereka melihat Nuansa membeli jus buah terlebih dahulu sebelum balik ke kelas.
Hubungan Nuansa dan Lazuardi sudah berjalan satu setengah bulan. Dalam rentang waktu itu, Nuansa merasa seperti nggak punya pacar. Komunikasinya dengan Lazuardi hanya berdurasi singkat, padahal dia ingin sekali mengobrol lebih lama. Tapi ya sudahlah, Nuansa harus berpuas hati dengan keadaan seperti ini. Entah sampai kapan, yang jelas Nuansa masih berharap banyak pada Lazuardi.
Nuansa berjalan keluar kantin dan menyusuri koridor sekolah yang masih ramai. Beberapa minggu lagi akan diadakan bazar dan pertunjukan dari masing-masing ekstrakulikuler yang ada di sekolah ini. Romancious Band tentu saja sudah mempersiapkan hal ini begitu matang. Mengingat jam terbang mereka yang cukup tinggi, bisa dipastikan penampilan mereka akan sempurna nantinya.
Tiba-tiba sebuah tangan menepuk bahu Nuansa ketika dia mulai menaiki tangga. Jantung Nuansa hampir copot saat melihat Banyu di sampingnya.
"Lo?"
Banyu menaikkan satu alis. "Kenapa?"
Nuansa memalingkan wajah, kemudian kembali melangkah.
"Muka lo kelihatan kesel banget."
Apa? Nuansa nggak salah denger? Kenapa Banyu jadi sok-sok perhatian gini?
"Apa peduli lo?"
"Karena lo pacar dari sahabat gue."
"Tapi gue bukan pacar lo. Jadi, nggak usah segitunya."
Bayu hanya tersenyum masam, sedangkan Nuansa terus meyakinkan dirinya untuk nggak terpesona lagi dengan Banyu. Dia punya Lazuardi dan nggak akan kembali lagi ke Banyu.
"Ada urusan apa ngajak gue ngobrol?"
Banyu menyodorkan bungkusan kado berbentuk persegi kepada Nuansa. "Ini dari Lazuardi. Katanya anniversary satu bulan."
Langkah Nuansa langsung terhenti. Dia memandangi kado itu cukup lama.
Banyu menggoyang kado itu agar segera diterima Nuansa. "Dia ada kiriman buat gue, jadi sekalian dititipin ke gue kadonya. Katanya biar nggak berat di ongkir."
Nuansa masih terdiam.
"Sa?"
"Segitu hematnya dia sampai nitipin kado ini ke elo?"
"Hah?"
Nuansa mengembuskan napas. Dia sudah menemukan titik terang tentang minimnya komunikasi dengan Lazuardi. "Gue tahu. Jadi ... dia jarang lama-lama di telepon dan lebih banyak chat hanya karena nggak mau abisin kuota banyak?"
Banyu berpura-pura mengerutkan dahi. Dia langsung bisa menangkap maksud Nuansa dengan apa yang ia ketahui dan ia lakukan selama satu setengah bulan ini. "Maksud lo?"
Tanpa berpikir lagi, Nuansa langsung mengambil kado itu dengan cepat. "Nanti pulang sekolah gue yang telepon dia, biar dia nggak habis kuota banyak."
"Eh, tapi Sa ... dia si—" Banyu belum sempat melanjutkan kata-kata, Nuansa sudah berlari jauh menaiki tangga. Hal ini benar-benar membuat kepala Banyu pusing. Dia harus segera memberi tahu Lazuardi agar sahabatnya itu mempersiapkan diri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top