Chapter 16 - Kecurigaan
Latihan band hari ini berjalan dengan lancar, meskipun ada Lazuardi di dalam sana. Nuansa sudah terbiasa dengan kehadiran teman sekelasnya yang selalu memandanginya dengan takjub dan intens itu. Entah kenapa dia lebih bersemangat dan lebih berkonsentrasi dengan latihan kali ini. Dua minggu ini dilalui Nuansa dengan kedekatannya bersama Lazuardi, dan tentu saja ada Banyu yang selalu menjadi body guard di antara mereka berdua. Kalau boleh jujur, dia sedikit gembira jika ada Banyu di antara mereka berdua. Dia merasa dengan cara ini bisa menunjukkan kepada cowok itu bahwa rasa yang dulu pernah ada udah hilang; cowok di dunia ini bukan cuma Banyu semata.
Semua anggota band meletakkan alat musik ke tempat masing-masing, sedangkan Nuansa berjalan mendekati Lazuardi yang tersenyum menyambutnya.
"Abis ini lo mau pulang?"
Satu alis Lazuardi terangkat. Nggak biasanya Nuansa bertanya seperti itu.
"Lo bawa buku sketch?"
"Emang mau ngapain kalau gue bawa itu."
"Em ... gue mau nunjukkin satu spot yang bagus. Ya ... walaupun bukan pemadangan serba hijau. Hanya deretan gedung pencakar langit."
"Oh ... jadi intinya lo mau berduaan sama gue?"
Nuansa menggigit ujung lidah untuk mencegah kata kasar yang akan keluar.
Lazuardi tertawa lebar melihat ekspresi kesal yang tertahan itu. "Biasa aja kali. Gue terima tawaran lo buat berduaan sama gue."
"Boleh nggak sih, gue ngumpat. Sekali aja!" Nuansa mengacungkan telunjuk.
Tawa Lazuardi semakin lebar mendengar hal itu. Puguh dan Reno mengambil tas yang diletakkan di deretan kursi di bawah jendela, sedangkan Banyu masih berdiri di dekat gitar yang sudah tertata rapi.
"Lo mau ajak gue ke mana?"
"Emang lo mau ke mana?"
Reno dan Puguh mengurungkan niat untuk menyampirkan tas ke pundak lalu melihat ke arah Banyu yang mulai buka suara.
"Cuma di sekolah aja," jawab Nuansa.
"Gue nggak tanya sama lo, gue tanya sama temen gue."
Nuansa hanya membuang muka dan menelan kekecewaan. Tanpa banyak kata, dia berjalan mendekati Reno dan Puguh untuk mengambil tas.
"Gue ikut Nuansa," seloroh Lazuardi.
Nuansa memutar tubuh dan melihat Lazuardi yang berdiri dari duduknya.
"Lo harus pulang, Di."
Lazuardi tidak menghiraukan perkataan Banyu, dia terus berjalan mendekati Nuansa, mengambil tas cewek itu, kemudian menarik tangan teman sekelasnya itu.
"Ardi!"
"Gue tahu, Nyu. Nggak perlu lo ingetin," jawab Lazuardi, kemudian melangkah keluar ruangan sambil menarik Nuansa. Cewek itu hanya bisa menurut sambil melihat wajah Banyu yang menunjukkan amarah.
Puguh dan Reno saling berpandangan, kemudian Puguh mendekati Banyu.
"Ayo pulang," kata Puguh sambil menepuk bahu Banyu.
"Lo cemburu, ya?"
Banyu langsung menoleh saat mendengar kata-kata itu terlontar dari mulut Reno.
"Dia mungkin udah move on dari elo. Jadi, lepasin aja."
Banyu berdecih. "Gue yang udah move on duluan, dia yang belum." Dia langsung mengambil tas dan keluar dari ruang ekstra.
Cemburu? Iya, Banyu mengakui ada rasa cemburu yang berkecamuk ketika tangan sahabatnya itu menggenggam tangan Nuansa. Namun, bukan itu yang dipermasalahkan Banyu. Semua ini murni karena Lazuardi. Keadaan sahabatnya saat ini nggak begitu baik. Lazuardi harus melakukan cuci darah setiap setelah pulang sekolah agar tubuhnya tetap terjaga dengan baik. Sahabatnya itu sebenarnya nggak bisa lepas dari alat medis, tetapi keinginan dan semangatnya itu membuat semua terasa sedikit normal.
Mata cokelat itu mengedarkan pandangan saat berjalan melewati koridor, mencari keberadaan sahabatnya yang pergi dengan mantan pacarnya. Dia nggak akan pulang begitu saja karena dia nggak mau terjadi apa-apa dengan Lazuardi. Pandangannya menatap keberadaan mereka berdua yang sedang berjalan di lantai tiga, kemudian masuk ke ruang olahraga indoor.
Di atas sana, Nuansa memimpin jalan, sedangkan Lazuardi memandangi punggung cewek bertubuh mungil itu.
"Jadi lo mau ngajak gue berduaan di sini."
Nuansa memutar tubuh. "Ardi, please. Jangan bikin gue malu!"
Lazuardi terkekeh. "Oke, di mana kita bisa lihat spotnya?"
Tanpa banyak bicara, Nuansa terus berjalan menaiki undakan yang dijadikan tempat duduk para penonton. Lazuardi bisa menebak bahwa pemandangan itu ada di balik jendela yang berderet memanjang di ruang olahraga. Dia berjalan mendekati Nuansa yang sudah menggeser jendela dan mempersilakan angin sore menerpa wajahnya.
Lazuardi sudah berdiri di samping Nuansa, menjulang tinggi di depan jendela. Senyumnya mengembang ketika melihat pemandangan kota yang dihiasi gedung pencakar langit dan deretan rumah-rumah warga. Dia sependapat dengan Nuansa, bahwa spot ini adalah spot terbagus yang dapat dilihat dari sekolah.
"Gimana?" tanya Nuansa dengan kepala mendongak, menatap Lazuardi.
"Bagus." Mata Lazuardi masih menatap lurus.
"Digambar, dong, kan bagus."
Lazuardi mendengus. "Gue nggak perlu gambar pemandangan ini, gambar wajah lo aja udah cukup buat gue."
Seketika wajah Nuansa memanas. "Lo momong apa, sih, masa wajah gue secantik itu."
"Siapa bilang lo cantik?"
Wajah malu-malu itu langsung berubah dengan drastis. Nuansa berdecak dan melipat tangan dengan wajah cemberut. Lazuardi menatap wajah itu dengan senyuman, kemudian mengambil buku sketch dari tas. Sedangkan cewek itu masih menatap lurus tanpa menyadari apa yang sedang dilakukan Lazuardi.
"Lo itu, ya, bisa nggak kalau ngomong itu yang lembut? Kalem dikit apa? Pedes tahu mulut lo?"
Lazuardi menahan tawa dan mulai menggoreskan pensil. "Gue nggak suka makan pedes. Jadi mulut gue nggak pedes."
Nuansa memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.
"Atau ... lo mau nyobain mulut gue?"
Sontak Nuanas menoleh dengan mata yang memelotot. Dia ingin menyemburkan amarah, tetapi tertahan ketika melihat lazuardi sudah memegang buku sketch dan pensil.
"Posisi lo tetep aja kayak gitu, gue lagi gambar lo."
Tangan berlengan panjang itu dengan cekatan menggoreskan pensil ke atas kertas putih. Mata Nuansa menatap cowok jangkung itu dengan penuh kekaguman. Dia pernah merasakan hal ini untuk kedua kalinya, saat bersama dengan Banyu.
"Sejak kapan lo suka gambar?"
Haruskah lazuardi menjawab sejak penyakit itu menyerangnya? Sejak dia menghabiskan hari-hari terbaring di rumah sakit dengan alat-alat medis yang menopang nyawanya?
"Sejak SMP," jawabnya penuh dengan kegetiran.
Pembicaraan mereka berdua mulai mengalir dengan lembut. Suasana yang begitu hangat itu disaksikan Banyu yang berdiri di depan ruang olah raga indoor. Dadanya bergemuruh hebat menyaksikan keintiman itu. Ekspresi itu hanya terlihat saat Nuansa bersamanya dulu, tetapi kali ini berbeda. Dia nggak pernah melihat wajah berseri Nuansa saat cewek itu bersamanya.
Mata cokelat itu beralih dari Nuansa ke Lazuardi. Ya ... seharusnya seperti ini yang terjadi. Nuansa bersama dengan Lazuardi. Sahabatnya itu lebih layak daripada dirinya yang begitu lemah dan mudah putus asa. Nuansa membutuhkan sosok yang memiliki keteguhan hati untuk mempertahankannya.
Dua sudut bibir Lazuardi terangkat dengan sempurna dan enggan untuk kembali seperti semula. Dia tengah merasakan terbang ke awan-awan bersama semilir angin yang berembus. Suasana ini begitu hangat dan indah baginya. Dia akan menyimpan semua ini menjadi kenangan yang akan membangkitkan semangatnya. Sinar matahari, semilir angin dan pujaan hatinya. Sayangnya, keindahan itu terusik karena keadaan baik sedang tidak berpihak. Tiba-tiba pandangannya terasa berputar. Jemarinya bergetar hebat karena tenaganya tiba-tiba menurun. Waktunya sudah habis. Dia seperti Cinderella yang kehabisan waktu untuk tampak sempurna di depan Pangeran. Lazuardi memiliki batas sendiri untuk tampil sempurna di hadapan Nuansa.
Banyu melihat keanehan itu dengan cermat. Dia sudah mengenal betul bagaimana tubuh Lazuardi bereaksi ketika penyakitnya kambuh.
"Rupanya kalian di sini." Seketika Banyu muncul dan mengagetkan mereka berdua.
Lazuardi mengembuskan napas lega ketika mendengar suara yang sangat familier itu.
Banyu mendekati mereka. "Ayo pulang." Dia menarik lengan sahabatnya.
Nuansa mencengkeram pergelangan Banyu. "Kamu nggak ada hak nyuruh-nyuruh dia. Lazuardi punya keputusan sendiri."
"Lo nggak usah ikut campur."
"Lo yang terlalu ikut campur atas kemauannya. Em—" Perkataan Nuansa terhenti ketika tangannya yang menggenggam Banyu dilepas perlahan oleh Lazuardi.
Lazuardi mengembangkan senyum yang begitu kaku. "Ng ... kayaknya aku lupa kalau ada janji ketemuan sama seseorang bareng Banyu."
Ujung alis Nuansa tertukik saat melihat wajah cerah itu berubah pucat. "Lo sakit?"
Banyu memasang badan sehingga menghalangi pandangan Nuansa. "Nggak, dia nggak sakit." Dia berbalik, kemudian menyeret Lazuardi keluar dari ruang olahraga.
Nuansa hanya bisa termangu melihat sesuatu yang terjadi begitu cepat itu. Matanya nggak mungkin salah lihat. Pasti ada yang disembunyikan oleh mereka berdua.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top