Chapter 14 - Mata Nggak Pernah Berbohong

Bola mata Nuansa bergulir ke luar jendela lalu kembali lagi ke laptop. Tangannya mengetik dan telinganya mendengar ucapan Lazuardi. Dia sudah mirip seperti seorang sekretaris dengan CEO yang sibuk sama gambaran yang dia sendiri nggak tahu gambar apa itu. Bola mata itu kembali bergulir menatap jemari Lazuardi yang masih menggoreskan pensil di atas kertas berukuran folio. Setelah menyinggahi jemari Lazuardi, bola mata Nuansa kembali menatap laptop. Urutan persinggahan bola mata Nuansa bermula dari melihat seseorang di luar jendela, kembali ke laptop dan dari laptop ke jemari Lazuardi lalu kembali ke laptop. Begitu seterusnya tanpa henti.

Mulut Lazuardi yang terus mengoceh tentang isi makalah nggak terhenti sedikit pun. Otaknya bercabang menjadi dua, tetapi kedua-duanya bekerja dengan baik. Memikirkan pelajaran dan sketsanya. Matanya berpindah dari kertas sketch ke wajah Nuansa berkali-kali hingga dia menangkap gelagat yang aneh. Jemari Lazuardi terhenti, begitu juga dengan mulutnya.

Bola mata Nuansa masih sibuk menyinggahi tempat-tempat itu hingga berhenti pada satu titik. Jemari Lazuardi nggak bergerak. Dia menghentikan jemarinya kemudian mengangkat pandangan.

"Lo lagi liatin apa?"

Nuansa menyelipkan rambut bagian depannya ke balik telinga. "Liat laptop." Nadanya terdengar halus dan perempuan banget!

Lazuardi menyunggingkan senyum dengan sebuah dengusan. Entah kenapa sejak kemarin malam hingga sekarang, dia merasa aneh dengan sikap Nuansa. Lazuardi seperti sedang menghadapi dua orang yang mengidap penyakit DID.

"Ada yang lucu, ya?"

"Sebaiknya kita sudahi ngerjain tugas ini. Tinggal bab terkahir dan penutupan, 'kan?"

Mata Nuansa berbinar kemudian mengangguk.

"Biar gue yang nyelesein semua."

"Beneran?" Kali ini diameter matanya lebih lebar.

Kepala Lazuardi mengangguk. Sebaiknya dia yang menyelesaikan semua karena dia ingin menikmati suasana berdua dengan Nuansa. Setengah jam lagi, dia akan keluar dari kafe ini dan memulai rutinitas cuci darahnya. Sungguh berat, tetapi tetap harus dijalani demi ingin hidup bahagia.

Semalam, sewaktu dia menelepon Nuansa, janji mengerjakan tugas di tempat ini telah dibuat. Tidak banyak yang mereka bicarakan, hanya saling bertanya kabar dan juga mata pelajaran. Namun, hati Lazuardi benar-benar bahagia. Ada dua penyebab yang membuat telepon semalam begitu berkesan. Satu, dia bisa mendengar suara Nuansa begitu dekat. Dua, ada yang berbeda dari gaya bicara Nuansa, sepertinya dia bisa merubah tingkah kasar cewek satu ini. Alasan kedua inilah yang membuat Lazuardi senang setengah mati. Entah di bagian mana dia berucap, yang jelas Nuansa mau memperbaiki diri.

"Tapi ... lo yakin?"

"Maksudnya?"

Nuansa memasang raut cemas. "Muka lo masih pucet. Pucet banget malah."

Pucat. Sudah menjadi penampilan yang sangat biasa bagi Lazuardi. Mana ada manusia sehat bermuka pucat?

"Lo masih sakit, ya?"

Lazuardi berdeham, dia nggak ingin pembicaraan ini menjurus tentang kesehatannya. "Lo tadi liatin apa?"

"Oh." Nuansa menegakkan tubuh kemudian menoleh ke luar jendela kaca di kafe itu. "Kamu selalu bawa supir pribadi, ya? Nungguin kamu kayak body guard."

"Pak Min." Lazuardi kembali membuat sketsa. "Iya, semua itu atas perintah Papa sama Mama." Dan juga penjaga gue kalau-kalau gue pingsan di tengah jalan, Lazuardi melanjutkannya di dalam hati.

Kepala Nuansa mengangguk paham. Dia mulai memakan sisa-sisa kentang goreng, menyeruput es cokelat dan memandangi gerak tangan Lazuardi. Sebenarnya, tuh cowok gambar apa? Tinggal satu pertanyaan ini yang belum ia lontarkan. Kayaknya dua deh, kenapa Lazuardi cuma pesen air putih? Biasanya orang-orang pergi ke kafe selalu memesan minuman berwarna, kopi misalnya.

"Lo nggak pesen apa-apa selain air putih?"

Kepala Lazuardi menggeleng. "Gue lagi nggak mood minum begituan."

Mulut Nuansa ber-oh ria. Di memutar-mutar pipet minuman cokelat yang tinggal seperempat. "Lo lagi gambar apa?"

"Bukan urusan lo."

Mulut Nuansa ingin sekali mengumpat, tetapi dia harus bisa mengontrol emosinya. Dia mengembangkan senyuman penuh sarkas. "Gue udah sopan lho tanyanya?

Lazuardi tergelak melihat perubahan yang begitu drastis dari Nuansa. "Iya gue tahu. Semoga lo bisa kayak gini terus. Lebih lembut--"

"Dan lebih manusiawi."

Lagi-lagi Lazuardi dibuat terbahak dengan tingkah Nuansa. Rupanya cewek ini masih mengingat hal itu. "Gue sengaja ngasih itu ke elo bukan karena alasan itu."

Satu alis Nuansa terangkat, dia nggak mau kecewa untuk kesekian kalinya.

Gerakan tangan Lazuardi terhenti, manik legamnya menatap intens pandangan Nuansa. "Gue mau ngaku satu hal ke elo." Dia memutar buku sketch itu hingga menghadap Nuansa.

Mata Nuansa membulat saat melihat sketsa wajahnya menodai kertas putih itu.

"Gue yang gambar wajah lo di kertas pesawat itu dan lo keliatan lebih cantik dengan japit rambut itu."

Untuk sesaat, Nuansa tercengang mendengarnya. Apa ini tipuan untuknya? Lazuardi sengaja mengerjainya? Ini bukan April Mop, 'kan? Nggak mungkin, sekarang masih bulan Oktober.

Tiba-tiba Nuansa tertawa garing. "Gue tunggu lanjutan kata-kata dari lo ... gue bener-bener pingin berubah setelah denger ucapan lo tempo hari di tukang tambal ban. Mellow banget sih, tapi ngena ke gue. Jadi ... please bisa nggak lo bersikap normal. Gue udah sadar!"

"Gue serius."

"Di."

Tepat setelah Lazuardi menyelesaikan kata-katanya, sebuah suara yang sanggup menggetarkan gendang telinga Nuansa terdengar.

Kening Lazuardi berkerut saat melihat sosok Banyu berdiri di sana. "Lo ngapain ke sini?"

Nuansa lebih memilih membuang muka. Entah kenapa dia merasa seperti orang yang sedang berkhianat di depan kekasihnya padahal status itu sudah nggak berlaku lagi.

"Lo lupa kalau ada janji sama gue?"

Mata Lazuardi mengisyaratkan sebuah tanya.

Sebenarnya Banyu terpaksa datang ke sini hanya demi jadwal cuci darah Lazuardi. Dia nggak mau sahabatnya tiba-tiba pingsan di depan cewek pujaan hati. Terdengar begitu miris, tetapi Banyu sedang berusaha membuang rasa itu jauh-jauh. Lagian, yang namanya sifat nggak akan pernah bisa dirubah.

"Apa gue harus bilang kalau hari ini lo ada jadwal nge-date sama gue." Banyu mendekat ke meja Lazuardi. Sekilas, matanya melirik ke arah Nuansa yang enggan melihatnya. Oke, mungkin hati cewek ini sudah berpindah haluan. Itu akan lebih bagus untuk diri Banyu.

Lazuardi tersenyum kecut. Acara ngobrol intensnya hancur berantakan gara-gara sahabat yang baik hati. Dia segera menutup buku dan membereskan barang-barang yang tergeletak di atas meja. Tiba-tiba sudut alis Nuansa menukik saat melihat lengan Lazuardi berwarna kebiruan di balik lengan sweater biru. Matanya menyipit untuk melihat lebih jelas titik noda yang tertutup gulungan lengan sweater itu.

Akan tetapi, tangan Banyu langsung menarik lengan sweater itu hingga tangan Lazuardi tertutup sempurna. Sontak Nuansa mengangkat pandangan dan melihat Banyu membuang muka dengan sebuah deheman. Dia menangkap sesuatu yang sedang disembunyikan.

"Gue pinjem falshdisk lo. Udah lo simpen, 'kan?" Perkataan Lazuardi membuyarkan konsentrasi Nuansa.

"Oh iya." Nuansa menyodorkan falshdisk dengan sedikit kebingungan.

"Sori, ya. Gue ada urusan sama nyokap-bokapnya dia." Mata Lazuardi melirik ke arah Banyu."Gue janji bakal gue selesein tugas ini"

Nuansa tersenyum kaku. Lazuardi mulai melangkah mendahului Banyu.

"Tunggu," cegah Nuansa.

Langkah Lazuardi terhenti dan langsung memutar tubuh. "Ya?"

Banyu masih terdiam dan ikut menatap Nuansa.

"Lo datang di acara pensi SMA Sejahterah, ya. Liat gue manggung lagi." Mata Nuansa menatap lurus Lazuardi tanpa ingin melihat manik cokelat itu. Dia nggak mau tersihir dengan tatapan itu.

Mata Lazuardi mengerjap berkali-kali. Nuansa mengundangnya? Ini seperti mimpi!

"Iya, gue pasti datang."

Tepat setelah Lazuardi menyelesaikan kalimat, Banyu melangkah terlebih dahulu meninggalkan mereka. Ada sebuah raut kecewa yang berhasil ia tangkap di sorot Lazuardi. Ada sebuah keruntuhan yang ia lihat dari ekspresi itu. Saat dia ingin mengenyahkan rasa ragu itu, hatinya tersentak. Manik Nuansa menatap nanar punggung sahabatnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top