Chapter 13 - Malam yang Panjang

Petikan gitar merangkai intro sebuah lagu lembut memenuhi ruang berukuran 4x4 ini. Mata cokelat itu menatap intens seorang cewek bertubuh mungil yang tengah memandangi ponsel dengan jari yang bergerak ke atas dan ke bawah.

"Bentar, internet gue lagi lemot. Jangan mainin gitar dulu."

Cowok itu tersenyum geli seiring dengan kupu-kupu yang memenuhi dadanya. Ada rasa senang, bahagia dan indah yang tengah menggelitik hatinya. Satu tahun mengenal cewek ini membuatnya sadar bahwa dia adalah keajaiban di dalam hidupnya. Suaranya mampu membangunkan dua jiwa yang lama tertidur. Jatuh cinta? Iya baginya. Keajaiban? Iya untuk sahabatnya.

Sometimes when I'm with you

I just get that feeling inside

Nuansa berdecak kesal saat Banyu memulai lagu Heaven. Pasalnya dia masih belum hafal lirik lagu yang baru diliris itu.

Hoo sometimes when I see you.

I can't take you out of my mind.

Wajah Nuansa langsung cerah ketika layar ponselnya menampakan deretan lirik yang ia cari. Dia membalas tatapan intens Banyu dan mulai menyanyikan lagu itu.

Everyday from the sun rising up till the nights falls

Give my all just for you 'cause you're I'm dreaming off.

Nothing else, I need you to do.

Lalu, suara mereka mulai melebur menjadi satu, bercampur dengan petikan gitar Banyu yang semakin menambah indah lagu yang baru dirilis itu. Keduanya mulai tenggelam dengan rasa dan lagu yang timbul dari dalam diri masing-masing. Waktu seolah berhenti hanya untuk mereka. Suara orang berjalan di luar ruang ekskul teredam oleh suara yang timbul dari dalam. Semua terkalahkan oleh debar yang tengah mereka rasakan di hati masing-masing. Mencinta dan mendamba. Tidak ada yang lain, hanya Banyu dan Nuansa sebagai pemilik dunia ini.

Begitulah rasa ketika cinta mulai menyentuh hati.

Come over baby just lay here with me.

You knot that I'll be the first thing you see

'Cause you're the reason I breathe easily.

Sebuah kolaborasi yang selalu mereka lakukan setelah latihan band berakhir. Hampir enam bulan lamanya rutinitas seperti ini mereka lakukan. Hanya berdua tanpa adanya Reno dan Puguh. Sebenarnya kedua teman mereka sudah memperingatkan tentang susahnya bila berpacaran dengan teman satu band. Akan tetapi, mereka dua tidak mneghiraukan peringatan itu. Nggak ada pertemanan yang murni antara cowok dengan cewek. Semua pasti memiliki rasa yang terselubung. Ya ... kedekatan Nuansa dengan Banyu melebihi kedekatannya dengan dua temannya yang lain. Jadi, nggak menutup kemungkinan kalau benih itu akan tumbuh di hatinya.

Lirik terakhir dinyanyikan oleh Banyu dengan penuh penghayatan dan penekanan. Matanya tak luput di tiap jengkal wajah Nuansa. Tepat setelah dia memetik nada yang terakhir, Banyu mematikan rekaman di ponselnya.

"Sip."

"Gue dengerin dong."

Banyu terkekeh sambil duduk di hadapan Nuansa. "Nggak perlu. Suaramu bagus, kok."

Ada sesuatu yang ganjil dari ucapan Banyu tadi. Dahi Nuansa berkerut dalam, mencoba mencari maksud Banyu berkata seperti itu.

Banyu menangkap raut penuh tanya itu. "Kenapa?" Satu alisnya terangkat.

"Lo tadi momong apa?"

Mata Banyu berputar ke atas. "Suaramu bagus?"

Ujung alis Nuansa semakin menukik. " 'Suaramu'? Mu? Kamu?"

Pundak Banyu naik ke atas kemudian mengangguk. "Ada yang salah?"

Nuansa menarik napas dalam-dalam kemudian menggeleng. Nggak, nggak mungkin harapan di dalam dirinya akan terjadi. Mungkin saja Banyu sengaja mengganti panggilan lo-gue jadi aku-kamu.

"Nggak ada yang salah, kok." Nuansa beranjak dari duduk. "Gue pulang dulu, ya."

"Aku antar sampai parkiran, ya."

Banyu dapat melihat Nuansa salah tingkah dengan kata-kata yang baru saja ia lontarkan. Dia memang sengaja melakukan itu untuk memberi tanda kepada Nuansa. Banyu ingin cewek itu mengetahui perasaannya saat ini. Dia semakin mantap untuk mengutarakan perasaaannya sejak sahabatnya terbangun dari koma.

Mereka berdua keluar dari ruang ekstra dengan membawa tas ransel masing-masing. Nuansa berjalan terlebih dahulu, sedangkan Banyu tersenyum geli melihat tingkah itu.

"Jangan buru-buru, dong."

Nuansa menoleh ke belakang dan menghentikan langkah. "Eng-enggak. Gue nggak buru-buru, kok."

"Nggak buru-buru, tapi jalannya cepet."

"Nggak usah cerewet, ya. Suka-suka gue!"

Banyu tertawa mendengar nada tinggi itu. "Coba kamu nggak bawa motor, pasti aku bisa antar kamu pulang."

Nuansa kembali melanjutkan langkah. "Emangnya gue pacar lo!"

"Emangnya kamu mau jadi pacarku?"

Pundak Nuansa hanya terangkat sekali. "Tau!."

"Kamu suka sama aku nggak?"

"Nggak usah tanya yang aneh-aneh. Kita temen satu band, tau!"

"Dari dulu gue tahu. Emang kenapa? Nggak boleh?"

"Ya, nggak bolehlah."

"Kata siapa?" Banyu masih belum menyerah. "Kata Puguh dan Reno? Nurut banget kamu sama mereka."

"Bukannya nurut, tapi belajar dari kesalahan. Lagian ngapain lo tanya itu? Lo suka sama gue."

"Iya."

Mendengar itu, langkah Nuansa terhenti. Bola matanya bergulir malu-malu menatap cowok bermata cokelat itu. "Nggak lucu, Bay."

"Aku serius. Dari tadi kamu nggak sadar kalau aku ngomongnya aneh?" Banyu bisa melihat Nuansa menelan ludah. "Aku suka sama kamu, Sa." Tangan Banyu terulur. "Kita pacaran, yuk."

Kali ini mata Nuansa berpindah menatap uluran tangan Banyu. "Tapi, Bay ...."

"Soal Puguh sama Reno?"

Kepala Nuansa mengangguk. Selama ini dia selalu memegang teguh saran dari Puguh. Nggak berpacaran dengan teman satu band adalah satu-satunya cara mempertahankan keutuhan band.

"Berpacaran bukan satu-satunya cara menghancurkan band, Sa. Kurang komunikasi dengan asing-masing anggota juga bisa menyebabkan hancurnya band itu. Jadi, apa salahnya kita mengikuti kata hati."

Pandangan Nuansa terangkat dan menatap Banyu yang tersenyum begitu manis. Pelan tapi pasti, Nuansa menyambut uluran tangan itu, dan mereka berjalan dengan bergandengan tangan di sepanjang koridor sekolah.

Tubuh Banyu terhenyak dari tidur saat potongan indah itu menyusup kembali di hati dan ingatannya. Malam ini, dia begitu sulit untuk memejamkan mata. Untuk pertama kalinya dia merasakan cemburu yang luar biasa hebatnya. Nuansa menghubungi Lazuardi sudah cukup membuat hatinya berkecamuk hebat. Dia mengira kalau Nuansa tidak akan mudah melupakannya, tetapi perkiraan itu salah.

Semua yang ia rasakan adalah sebuah kesalahan. Seharusnya dia nggak menyukai Nuansa kalau pada akhirnya sahabatnya menyukai cewek yang sama. Nggak seharusnya dia menyatakan perasaan itu kalau pada akhirnya dia menyerah dengan hal kecil yang kemungkinan bisa ia ubah. Tapi, semua sudah terlanjur.

*****

Nggak ada hal yang lebih membahagiakan selain mendengar suara Nuansa menggema di telinganya. Suara itu seperti tertanam di alam bawah sadar yang sanggup menggugah saraf-sarafnya untuk tetap tersadar. Suara itu jugalah yang membuatnya terbangun dari koma.

"Siapa dulu yang hubungi gue?"

Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana. "Gue cuma tanya kabar lo aja. Nggak boleh?"

"Nggak ada yang ngelarang. Gue baik-baik aja."

"Terus kenapa nggak masuk kalau baik-baik aja?"

"Cuma demam biasa."

"Oh."

"Cuma 'oh' aja?"

"Emang lo mau gue ngomong apa?"

Lazuardi memutar bola mata. "Cepet sembuh atau apa gitu."

"Ah ... iya-iya. Sori, gue lupa. Cepet semu, ya, Di."

"Makasih, Sa."

"Sama-sama. Ya udah kalau gitu, kamu istirahat aja."

"Gue yang telepon kok lo yang ngomong gitu. Itu namanya nggak sopan." Lazuardi dapat mendengar geraman dari Nuansa. "Gue lagi cari bahan buat tugas."

"Wah, enak ya, pasangan sama orang pinter."

"Terus lo enak-enakan? Enak banget lo. Besok ketemu di kafe seberang sekolah buat ngerjain tugas ini. Nanti gue WA buku apa aja yang harus lo bawa." Lazuardi menahan tawa saat membayangkan wajah kesal Nuansa.

"Iya ... Komandan ...!"

"Oke. Selamat malam. Makasih udah khawatirin gue."

"Gu ...."

Lazuardi langsung memutus teleponnya dengan sengaja agar cewek itu kesal dengannya. Malam ini dia akan bermimpi indah, melupakan badannya yang nyeri dan menyambut esok dengan suka cita. Dia akan bertemu dengan Nuansa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top