Chapter 11 - Demam?
Bel istirahat pertama berbunyi.
Seluruh murid di dalam kelas mulai menutup buku mereka. Ada yang langsung keluar kelas tanpa menunggu sang guru pergi dari kelas. Ada yang mulai sibuk ngobrol tentang menu makan siang. Ada juga yang langsung menggeletakkan kepala di atas meja.
Nuansa melirik bangku Lazuardi yang kosong kemudian berpindah ke luar jendela. Mendung. Mungkin Lazuardi nggak masuk hari ini karena hujan kemarin sore. Ada sebuah rasa bersalah di dalam diri Nuansa, kenapa dia membiarkan Lazuardi mengikutinya? Nggak, ini semua bukan murni kesalahannya. Lazuardi lah yang ngotot nganterin dia ke tukang tambal ban. Nuansa menggelengkan kepala berkali-kali, bukan saatnya memikirkan Lazuardi. Ada satu hal penting yang harus ia selesaikan.
Nuansa beranjak dari bangku setelah memasukkan semua bukunya ke dalam tas. Saat dia akan melangkah di ambang pintu, tubuhnya terhuyung hingga membentur bingkai pintu.
"Mat.... " Dia tiba-tiba mengurungkan kata-katanya.
Dua cewek yang bersenda gurau hingga menyenggol tubuh Nuansa itu langsung memasang wajah horor.
"Eh, so-sori, Sa." Teman satu kelasnya itu langsung meraih lengan Nuansa. "Gue nggak sengaja." Wajahnya benar-benar ketakutan.
Nuansa menarik napas dalam-dalam kemudian sebuah senyum mengembang di bibirnya. Seperti sebuah adegan slow motion, dua teman Nuansa memasang wajah terkejut, mulut mereka menganga dan mata mereka membelalak.
"Nggak apa-apa. Lain kali hati-hati." Nuansa langsung pergi dengan senyuman.
Kedua cewek itu hanya bisa terbengong. Bukan hanya dua cewek itu saja, melainkan seluruh teman Nuansa yang masih ada di dalam kelas. Nggak biasanya Nuansa ngomong sehalus itu dan nggak biasanya Nuansa tersenyum saat tubuhnya kesakitan. Apa Nuansa sedang demam?
Meninggalkan keterkejutan teman-teman Nuansa, cewek itu berjalan ke sisi kiri gedung menuju kelas IPA untuk menemui seseorang. Langkahnya sempat terhenti saat melihat orang itu ada di depan pintu, bermain ponsel sambil ngupil.
"No!" Nuansa langsung berjalan menghampiri Reno.
Reno menoleh kemudian kembali sibuk dengan ponselnya saat mengetahui sosok astral yang memanggilnya.
"No!" Nuansa sudah berdiri di depan Reno. Dia melihat Reno enggan mengangkat pandangan. Nuansa menarik dan mengembuskan napas berkali-kali. "No."
"Hem?" jawab Reno tanpa mengangkat pandangan.
"Maafin gue."
Bak anak idiot yang kehilangan permen, mata Reno langsung menatap Nuansa dengan pandangan kosong. Hatinya bergumam apakah dia sedang mengalami mimpi?
"Maafin sikap gue kemarin."
Reno terkesiap mendengar ucapan itu terlontar dua kali. "Lo Nuansa, 'kan?"
Mata Nuansa berputar jengah. "Bukan, gue Valak!"
Tangan Reno mengorek kuping berkali-kali. "L-lo tadi bilang apa?"
"Gue minta maaf sama lo."
Kini kepalanya menggeleng berkali-kali. "Lo nggak demam, 'kan?" Nuansa menggeleng. Tangan Reno memegang dahi Nuansa, matanya berputar ke atas, berpikir tentang berapa derajat demam yang dialami temannya ini.
Nuansa menarik tangan Reno dari dahinya. "Gue sehat walafiat"
Tanpa menunggu ucapan Nuansa lebih lanjut, dia langsung menarik pergelangan Nuansa, kepalanya melongok ke dalam kelas. "Bay, Bay. Ikut gue ke ruang ekskul. Ada yang gawat!"
Banyu yang sibuk memilah-milah buku menoleh dengan dahi berkerut. Ditambah lagi keberadaan Nuansa di depan kelasnya.
"Pokoknya sekarang! Gue WA Puguh!"
Reno langsung menyeret Nuansa menuju ruang ekskul yang ada di lantai satu. Tanganya menekan-nekan ponsel untuk menghubungi Puguh, sedangkan satunya lagi menarik pergelangan Nuansa. Nggak ada perlawanan sama sekali dari cewek bertubuh mungil itu. Dia sudah memprediksi sebelumnya kalau hal ini bakalan terjadi. Terkadang perubahan yang drastis bisa membuat orang syok. Itu yang dialami Reno saat ini.
Nggak menunggu waktu yang lama, mereka sudah ada di ruang ekskul. Reno berdiri di depan pintu, sedangkan Nuansa di sudut ruangan.
"Lo berdiri di situ aja." Kepalanya melongok ke luar ruangan. Matanya berbinar saat Banyu dan Puguh berjalan mendekat. "Cepet, woy!"
"Apaan sih?!" Puguh kesal karena lengannya ditarik-tarik Reno.
Tangan Reno teracung ke arah Nuansa. "Temen lo kesurupan!"
Puguh dan Banyu mengernyitkan dahi dan saling berpandangan.
Nuansa mengembuskan napas kasar. "Gue sehat walafiat, No! Gue nggak sakit atau kesurupan! Gue cuma pengen minta maaf sama lo. Gue tahu kalau gue salah, gue nggak konsentrasi pas latihan kemarin. Masih salah, ya?"
Tiba-tiba Banyu tersedak ludahnya sendiri, sedangkan Puguh menatap horor ke arah Nuansa.
"Tuh kan, bener kata gue."
"Gue serius!" Nuansa maju selangkah. "Salah ya, kalau gue mau berubah?"
Mereka bertiga saling berpandangan. Bibir mereka terkunci, nggak tahu harus menjawab seperti apa.
"Gue pengen berubah biar nggak ada lagi yang tersakiti sama ucapan gue."
Puguh maju mendekati Nuansa, tangannya terulur. "Lo nggak demam, kan, Sa?"
Lagi dan lagi. Nuansa menjelaskan alasannya ingin berubah. Berkali-kali pula teman-temannya mengira dia demam, sakit atau kesurupan. Nuansa menerangkan semuanya tanpa putus asa dan penuh kesabaran. Yap, ke-sa-ba-ran. Satu kata yang amat sangat berat untuk dipraktekkan dalam diri Nuansa.
Lima belas menit lamanya mereka berada di sana; mendengar alasan-alasan Nuansa, dan sangkalan dari Reno juga Puguh. Hingga pada akhirnya terdengar suara bel, memutus perdebatan mereka yang belum selesai. Namun, terpaksa diselesaikan oleh Puguh dengan satu kalimat.
"Oke, kita percaya."
Reno mengangguk dan Banyu terlihat biasa saja.
"Terima kasih."
"Kita akan bantu lo berubah," tambah Reno.
Pembicaraan mereka ditutup seketika itu juga. Mereka keluar dari ruang ekskul satu-persatu. Istirahat pertama telah usai.
"Bay," panggil Nuansa.
Banyu menghentikan langkah kemudian memutar tubuh. Mulutnya terdiam dan ekspresinya biasa saja.
"Gimana kabar Lazuardi?" tanya Nuansa tanpa ada ragu sedikit pun.
Banyu hanya terdiam. Entah kenapa pertanyaan itu kurang enak didengar.
"Dia ... sakit?"
Banyu menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk.
Nuansa menggigit bibir bagian bawah. "Demam?"
Sekali lagi Banyu mengangguk.
Ada sebuah keresahan yang terpancar jelas dari wajah Nuansa. "Parah nggak?"
"Demam biasa." Kali ini Banyu membuka mulut.
Nuansa mengembuskan napas lega. "Syukurlah." Dia menatap sejenak mata cokelat Banyu. "Sampein salam buat dia, ya. Semoga lekas sembuh."
Sebuah senyum mekar di bibir Nuansa. Mata Banyu terpatri melihat senyuman yang sudah lama nggak bertandang di pandangannya.
"Makasih, ya."
Dia hanya terdiam dan mengikuti pergerakan Nuansa. Ada yang mengganjal di dalam hatinya ketika Nuansa mengatakan hal itu. "Nggak usah ngucapin makasih."
Langkah Nuansa terhenti tepat di hadapan Banyu.
"Gue nggak bakal nyampein salam lo."
Nuansa terdiam sejenak kemudian mengulum senyum. "Oke, nggak pa-pa, kok."
Hati Banyu mencelos melihat sikap Nuansa. Kenapa saat bersamanya, cewek ini nggak selembut sekarang?
"Bukannya lo punya nomor WA dia? Ngapain juga pakai perantara gue? Ini zaman modern. Bukan zaman purba." Banyu langsung melengos dan pergi meninggalkan Nuansa.
Andaikan ... andaikan Nuansa nggak ingin berubah. Bisa dipastikan Banyu sudah ia lahap!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top