Chapter 10 - Tidak Ada Kesempatan
Pintu ruangan serba putih dengan alat-alat medis itu terbuka. Seorang cowok mengenakan baju khusus ruangan ICU muncul dari balik pintu itu. Ada sedih yang kentara dari manik cokelatnya. Ada rasa kehilangan yang mendalam kala manik itu menatap seonggok tubuh yang tak berdaya. Kakinya mengayun perlahan hingga berhenti di tepian alat pendeteksi jantung.
Suara not-not dari pendeteksi itu menjadi pengalun lagu untuk membuai tubuh tak berdaya itu. Banyu mengembuskan napas panjang melihat Lazuardi belum juga bangun. Dua bulan. Ya, Lazuardi tertidur bersama alat-alat medis ini selama dua bulan lamanya. nggak ada yang bisa dilakukan selain menunggu sahabatnya ini sadar.
"Hai, Bro."
Suasana kembali hening.
"Kapan lo bangun? Gue ... rindu." Dia terdiam untuk beberapa saat. Tangannya mulai mengeluarkan ponsel dari saku celana. Jemarinya menekan-nekan layar tipis itu. Gue ... gue habis latihan band. Dan lo harus tahu kalau ada satu cewek yang selama ini gue incar. Bukan gue incar sih, cuman ... gue kagum sama suaranya." Dia mengangkat pandangan untuk melihat sahabatnya itu. "Barusan gue abis berduaan sama dia. Kita ... maksudnya dia nyanyiin lagu, dan gue yang metik gitar." Banyu tersenyum lebar saat mengingat kebersamaan beberapa jam lalu. "Pokoknya lo harus denger suaranya. Gue jamin lo juga bakal suka dengan suaranya."
Sebuah suara petikan gitar keluar dari ponsel Banyu. Dia meletakkan ponsel itu di dekat kaki Lazuardi.
"Jatuh hati. Dia nyanyiin lagu dari Raisa. Pas banget sama suasana hati gue dan..., " dia tertawa, "kok jatuhnya lagi curhat, ya. Lo dengerin aja deh. Waktu gue cuman sebentar di sini."
Suara Nuansa mengalun memenuhi ruang serba putih itu.
Namun ku jatuh hati.
Ku terpikat pada tuturmu. Aku tersihir jiwamu.
Perlahan, jemari Lazuardi bergerak.
Terkagum pada pandangmu. Caramu melihat dunia.
Namun, Banyu belum menyadari. Dia masih terlena dengan suara merdu Nuansa.
Ku tak harus memilikimu, tapi bolehkah ku selalu di dekatmu.
Perlahan, mata Lazuardi terbuka.
*****
Hard feelings
These are what they call hard feelings of love
When the sweet words and fevers all leave us right here in the cold,
Alone with the hard feelings of love
God, I wish I believed you when you told me this was my ho-o-ome
Lagu dari Lorde menggema di dalam sebuah mobil mini berwarna putih susu. Banyu. Orang yang berada di kemudi itu Banyu. Dia tengah terpaku melihat sahabatnya sedang bersama Nuansa.
Banyu membuka mulut untuk menyanyikan lirik lagu itu, "Now I'll fake it every single day 'til I don't need fantasy, 'til I feel you leave. But I still remember everything..., " ada jeda sejenak, "how we'd sing together, how you'd sing for me." Dia sedikit merubah lirik itu.
Apakah Banyu masih suka dengan Nuansa? Entahlah. Adakalanya Banyu merasa muak jika berada di dekat Nuansa, tetapi ada kalanya Banyu merindu kenangan tiga bulan yang lalu. Keputusan terlalu terburu-buru itu sanggup meletakkan perasaannya di tebing hati. Menunggu untuk jatuh tak bersisa.
Dia menarik napas dalam-dalam untuk mengenyahkan rasa campur aduk ini. Fokusnya berpindah pada ponsel pintarnya. Dia menekan sebuah nomor untuk memberitahu sesuatu.
"Halo, Tante." Banyu langsung menjawab sedetik kemudian. Dia terdiam sejenak saat suara di seberang sana terdengar panik. "Tenang, Tante. Ardi udah ketemu. Nanti saya antar ke rumah. Sebaiknya Pak Min suruh pulang aja." Dia tersenyum dengan sebuah anggukan.
Ibu Lazuardi panik saat Pak Min, supir pribadi Lazuardi, nggak melihat batang hidung anak majikannya. Tante Mira langsung menghubungi Banyu, meminta tolong untuk menemukan keberadaan Lazuardi. Sebenarnya dia juga khawatir karena Lazuardi belum juga kembali dari parkiran sekolah. Dia menunggu sahabatnya itu di ruang ekskul sambil mendekap tas Lazuardi. Matanya memandang guyuran hujan yang menderas dengan pancaran keresahan. Kenapa Lazuardi belum kembali?
Dia memutari sekolah setelah Tante Mira meneleponnya. Kekhawatiran itu memuncak saat dia nggak bisa menemukan Lazuardi. Hingga pada akhirnya, Banyu memutuskan untuk menelusuri jalanan menuju sekolah. Dan di sinilah, di tempat tambal ban yang berada di pertigaan jalan raya, Lazuardi berada. Banyu bisa bernapas lega setelah melihat kepala plontos cowok itu di sana. Akan tetapi, terselip rasa cemburu ketika melihat keberadaan Nuansa di samping sahabatnya.
Damn it! Nggak seharusnya dia menjilat ludahnya sendiri.
Nuansa bukan tipenya! Titik!
Dering ponsel Banyu berbunyi keras. Dua sudut bibirnya terangkat saat melihat tulisan di ponsel itu. "Lo buat orang spot jantung!" Tanpa ba-bi-bu, Banyu langsung menyerang. Dia tertawa lirih saat mendengar alasan dari si penelepon. "Lo nggak liat ada mobil putih mantengin lo dari tadi?" Manik cokelatnya menangkap Lazuardi yang sedang melambaikan tangan. "Tunggu di situ. Gue bawa payung."
Setelah menutup panggilan, Banyu langsung keluar dengan sebuah payung berwarna putih. Dia membawa Lazuardi ke dalam mobil. Setelah keduanya masuk, Banyu mematikan AC. Dia mengambil jaket yang berada di jok belakang.
"Pakai ini. Gue nggak mau lo sakit."
Lazuardi tergelak.
"Ada yang lucu, ya?"
Kepala Lazuardi menggeleng. "Kita kayak pasangan homo."
"Sialan lo!" Sontak Banyu memukul lengan Lazuardi kemudian wajahnya menatap horor.
"Nggak usah dibayangin kali! Gue juga jijik!"
Banyu bergidik ngeri, dia langsung melajukan mobil, membelah jalanan yang masih diguyur hujan. Untuk beberapa saat mereka sibuk dengan urusan masing-masing; Lazuardi dengan baju dan jaket, Banyu dengan jalanan kota.
"Lo biarin dia pulang gitu aja?" Banyu membuka percakapan setelah menyamankan posisi mobilnya.
"Dia yang minta sendiri," jawab Lazuardi. Tangannya merogoh saku celana dan mengeluarkan kertas yang basah.
"Oh, shit Man!" Banyu memekik histeris saat melihat kertas basah itu ditempelkan Lazuardi ke dash board mobilnya. "Fucked you!"
"Sorry."
"Dash board gue basah, Ardi!"
"Gue, kan, udah minta maaf. Terus mau gue taruh mana lagi. Jok mobil lo?"
"No!"
"Ribet banget sih!"
"Itu apaan?" Mata Banyu melirik sekilas ke arah kertas yang sudah nggak jelas bentuknya.
"Kertas sketch."
Banyu langsung menoleh.
Lazuardi mengangguk mantap. "Ya, dia yang bawa."
"Tingkah dia pas latihan juga aneh, 'kan? Dia jarang banget salah nada kecuali ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Entah dia jatuh cinta atau salah tingkah. Soalnya dia dulu juga begitu waktu jatuh cinta sama gue."
"Dan lo juga jatuh cinta sama dia, 'kan?"
Banyu hanya tersenyum kecut dengan bahu terangkat.
"Lo yakin kalo lo udah nggak cinta lagi sama dia?"
"Ya, gue yakin. Saat itu gue cuma khilaf! Gue terlalu bahagia melihat perubahan yang cukup besar dalam diri lo hingga gue menganggap dia seorang malaikat bersuara merdu!"
Lazuardi mengangguk paham. "Berarti sekarang bagian gue."
"With pleasure. Gue cuma pesen sama lo, kalau lo nggak kuat, lambaikan tangan ke kamera."
Lazuardi terbahak. "Ya kali uji nyali."
"Ya, siapa tahu aja."
"Tapi..., " ada jeda dalam ucapan Lazuardi, "gue rasa, gue bisa merubahnya." Dia tersenyum bahagia.
Banyu menoleh. Ada sebuah kilat yang luar biasa dari tatapan Lazuardi.
"Dan gue benar-benar jatuh hati dengannya."
Dan sepertinya, Banyu sudah terjatuh ke jurang. Tak bersisa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top