Tjangkir

Terik atau mendung, sama saja untukmu. Mendekapku, memelukku. Menikmati secangkir teh hitam tanpa gula kesukaanmu. Tak ada yang tahu alasan pasti kau lebih memilih teh tanpa gula, tak seperti orang Pekalongan kebanyakan yang gemar minum teh manis, sangat manis menurutmu. Kau hanya bilang, “Lebih enak teh pahit. Cobalah sesekali.”

Bahkan kini, ketika sudah ada seseorang yang menemani tidurmu, kau masih dengan kebiasaan lamamu. Tak mengikutinya yang mencintai kopi. Herannya, kau tak merasa tersaingi atau cemburu. Kau justru mengajaknya duduk bersama, sambil kau memelukku, sedang suamimu memeluk istriku.

Harus kuakui kalau aku cemburu ketika tangan besar suamimu membelai dan menelusuri lekuk indah tubuh istriku. Aku kecolongan. Dia memeluk, mengelus, bahkan mencium bibir istriku di hadapanku. Kau pun melihatnya, tapi sama sepertiku, kau hanya mendiamkannya. Seharusnya kau bisa berontak, mencegahnya melakukan hal menjijikkan itu pada istriku.

Namun, bukannya menghentikan suamimu, kau memilih mencumbuku. Memeluk dan merasakan kehangatan tubuhku, mencumbu dan mencecap manis bibirku. Istriku hanya bisa memandangku dengan pandangan terluka, sesekali dia melihatmu dengan pandangan jijik dan sakit hati. Kami tak berdaya melawan atau sekedar berontak menghindar.

Sore ini, hujan turun dengan deras disertai angin dan petir yang melengkapinya. Pemandangan yang indah bagi penyuka hujan, tapi mengenaskan bagi yang tak terlalu menyukainya. Ah, dasar manusia. Ketika kemarau dan tak ada air setetes pun turun dari langit, kalian menangis, mengumpat, atau berdoa meminta hujan. Namun, ketika musim penghujan, dan hujan turun hampir tiap hari, kalian kembali mengeluh. Merutuki hujan, menghujat banjir, dan menangis, berharap Tuhan membantu kalian keluar dari bencana. Tak sadarkah kalian, bahwa banjir ini, kalianlah penyebabnya? Tanpa ampun, kalian menebang paru-paru dunia, tanpa malu, kalian memenuhi kali dengan sampah. Ah, manusia memang menyebalkan.

Mas, aku membuat pancake nih. Enak sebagai teman minum dan nonton TV,” serumu pada suamimu yang masih menggosok rambutnya dengan handuk.

“Iya, Sayang.” Bukannya menghampirimu yang telah membuatkan sepiring pancake dan secangkir kopi, dia malah menghampiri istriku. Menelusuri lekuk indah dan kembali mencium bibirnya yang ranum.

“Kopi aceh ya, Sayang?”

“Iya, Mas. Kiriman sepupumu tempo hari. Enak?” kau bertanya sambil meniup telingaku.

“Itu teh hitam?” tanyanya sambil melirikku.

As allways,” kau tersenyum menatapku.

Bisakah kalian berhenti bermesraan di depan kami? Bisakah kalian berhenti membuat kami iri? Kalian bisa saling menunjukkan kasih sayang dengan tatapan, ucapan, bahkan sentuhan. Sedang kami? Untuk sekedar saling menatap saja, kami butuh belas kasih kalian, kami bahkan tak mampu berkata atau saling menyentuh. Satu kesempatan yang membiarkan kami saling bersentuhan adalah ketika kau memasukkan kami ke bak cuci piring bersama kawan kami yang lain. Sentuhan kami pun terbatas saling menempel saja, tak pernah kami seperti kalian yang bisa memeluk, mengecup, mencium. Kami hanya bisa membayangkannya.

Kami tak pernah menyesal atas takdir yang memberikan kami bentuk seperti ini. Kami bersyukur, kami senang, setidaknya kami bermanfaat bagi kalian. Mengijinkan kalian menelusuri tubuh kami, meski terkadang kami risih. Memeluk mesra dan merasakan kehangatan tubuh kami, meski hangat itu bukan kami yang membuat. Kami hanya menghantarkan panas dari dalam tubuh dan menjadikannya hangat. Mencium mesra dan mencecap manis bibir kami, meski manis itu pun bukan dari kami. Kami hanya mampu diam menerima semua perlakuan kalian. Hingga nanti kalian bosan dan mengganti kami dengan cangkir baru atau kami pecah dan terlupakan.

Tjangkir.
Pekalongan, 31 Januari 2017, in one hand.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: