6. 別世界 - Instrumental Fur Elise
Alasan orangtuaku pindah itu sangat tidak masuk akal. Ya, alasannya sahabatku yang pindah sebulan yang lalu, sudah meninggal. Lalu? Kenapa aku harus ikut pindah juga. Katanya supaya tidak stress karena kehilangan sahabatku.
Oh, memang sih aku sangat sedih. Tapi, aku masih suka di rumah lamaku. Apalagi rumah baruku itu jauh dari rumah lamaku. Apa rumahnya lebih bagus? Lebih besar? Aku masih belum tahu.
Aku tertidur selama perjalanan. Kurasa lama sekali sampai akhirnya aku dibangunkan.
"Ayo Yumi, kita udah sampai!" Ibuku mengguncang tubuhku.
"Hah? Udah sampe?" Aku mengucek mataku lalu mengerjap-ngerjap.
Aku segera keluar dari mobil dan menatap rumah baru di depanku ini. Besar. Terlihat tua. Seram. Ah, ini hanya penampilan luar. Aku mengambil koperku lalu segera masuk ke dalam rumah tanpa basa-basi.
"Yumi, kamu pilih kamarmu sendiri ya. Ada banyak kamar di dalam." ujar Ibuku dari luar.
"Benarkah?!"
"Iya!"
"Yes!" Aku menarik koperku sambil mencari kamar.
Benar. Ada banyak kamar. Lorongnya seram juga. Aku menemukan kamar di lantai paling atas, lantai 3.
Aku masuk ke dalam kamar itu. Ada jendela besar. Wah, di dekat jendela itu ada kasur jendela. Yah, kasurnya menempel di dekat jendela, biasanya bagian bawahnya bisa dibuka. Tempat tidurnya boleh juga.
Aku memutuskan untuk merapikan barang-barangku dulu. Tunggu, apa di kamar ini ada kamar mandi? Setelah kuperiksa sih, tidak ada. Ah, malas sekali. Aku segera beres-beres. Sekaligus membersihkan kamar ini.
----
Aku menemukan sebuah piano usang di ruangan depan kamarku. Selain ada piano, ada cermin besar juga.
Entah kenapa ketika aku membuka tutup piano, terbesit olehku untuk memainkan lagu Fur Elise karyaBeethoven. Tentu saja aku tahu lagu itu. Aku pun mencobanya. Untung aku tahu notnya.
Ya, aku pernah diberitahu notnya saat les piano. Aku pun memainkannya. Anehnya, setelah aku selesai memainkannya, aku merasa merinding.
Aduh, mana ada cermin lagi. Huft...aku harus pergi. Aku berlari ke pintu---BRAK!!
"Huwaa!! Kenapa ketutup sendirii! Tolong!!" Aku panik sambil menggedor-gedor pintu.
Percuma. Orangtuaku kan sedang istirahat di kamarnya. Mampus aku.
"Kau tak perlu takut."
Eh? Suara itu darimana? Oh, ayolah jangan bilang itu hantu.
Aku menoleh ke arah suara itu berasal. Oh god. Itu berasal dari cermin.
"K-kau s-si-siapa? K-kenapa bi-bisa ada di cermin?" tanyaku terbata-bata sambil ketakutan.
"Jika kau berpikir aku hantu, itulah aku. Tapi aku baik kok. Aku hanya mencari teman." katanya dari dalam cermin.
"Tap--tapi, kenapa kau bisa ada di dalam cermin?"
"Ah, masa laluku yang mengerikan. Boleh kutahu siapa namamu?"
"A--Aku Yumi Shinaya. Yumi. Kau?" tanyaku
"Karena aku muncul karena lagu Fur Elise, kalau begitu kau panggil aku Elisa, ya?" pinta hantu itu.
Aku berpikir sebentar. "Hmm...baiklah."
Oke, apa aku sudah gila? Berteman dengan hantu?
"Kau tidak gila, kok. Anak sebelum kau juga berteman denganku."
"Oh, sebelumku ada yang tinggal disini?" tanyaku.
"Tentu saja. Mereka langsung pindah tanpa membawa barang-barang. Seperti melayang."
Aku terkikik. "Sekarang, aku boleh keluar?" tanyaku.
"Boleh saja."
Aku segera berlari keluar. Oh, mengerikan sekali. Kalau saja tadi aku tidak memainkan lagu Fur Elise, aku tidak memanggil hantu itu.
Aku berlari ke bawah. Mengambil minum lalu kembali ke atas. Ke kamarkua tentunya---eits, kenapa pintu kamarku tertutup. Kayaknya aku gak menutupnya sama sekali.
Aku menaruh minumnya dan berusaha membuka pintu. Keras sekali! Seperti dikunci. Padahal kan tidak ada kuncinya. Aku menoleh ke belakang. Ruang dimana cermin dan piano itu berada.
Terbuka lebar.
Letak cermin itu di depan pintu.
"Kau harus mengunjungi duniaku." kata hantu Elisa.
"Tidak!! Aku mau kembali ke kamarku. Kamu kan yang menguncinya?"
"Ah, tidak kok. Buka saja."
Aku mencobanya. Eh--kok bisa?
"Ta--tadi terkunci."
"Ya sudahlah, kalau kau tidak mau main bersamaku. Dah!" Dengan ajaib cermin itu ke tempatnya semula. Pintu ruangan itu juga tertutup.
Aku langsung masuk ke kamar dan membantingnya.
"HUWAA!! APA ITUU?!" Kali ini aku melihat mayat tergantung di dekat jendela.
Aku langsung menutup mata. Aku makin merinding. Serius deh. Aku belum pernah begini.
Begitu aku membuka mata, mayat itu hilang dari pandanganku. Berganti dengan secara tiba-tiba kasurku bercak-cak darah.
Aku mundur perlahan. Mengamati keadaan kamarku sendiri. Mayat yang tergantung tadi, berdiri di depanku secara tiba-tiba. Aku kaget dan reflek mundur dan jatuh.
Aku mendengar suara bisikan dari telinga kiriku. Aku menoleh perlahan.
KALI INI TUYUL!!
Aku diantara dua hantu ini. Aku bangkit mendekati pintu.
"Yumi? Buka pintunya, nak"
Hah? Suara ibuku. Benar nih? Bukan suara hantu jadi-jadian kan? Duh, apa sih. Aku berdiri dan membukakan pintu.
"Kamu kenapa sih? Berisik banget di kamar." tanya Ibuku sambil mengelus kepalaku.
"Ak--Aku takut. Tadi ada mayat gantung diri di jendela. Kamarku juga jadi penuh darahh!" kataku ketakutan sambil memeluk ibuku.
Ibuku tertawa pelan. "Sayang, gak ada apa-apa. Coba lihat kamarmu sekali lagi."
Ibuku membalikkan badanku perlahan. Lagi-lagi ini terjadi. Kamarku normal lagi. Tidak ada tuyul ataupun mayat gantung diri tadi. Oh, apa yang terjadi disini?
"T--Tapi aku takut."
"Gak ada yang perlu ditakutin. Kita makan malam dulu."
"Hah? Makan malam? Bukannya ini masih siang?" Aku bingung.
"Ya ampuun...liat jam tanganmu deh. Jam 7."
Aku melihat jam tanganku. Benar. Jam 7. Loh? Kok bisa gitu sihh. Apa selama aku mengalami ilusi tadi, jam berjalan cepat? Entahlah. Aku harus makan. Mungkin efek lapar (?).
----
"Lawan ilusi itu."
Suara bisikkan itu mulai terdengar setelah aku makan malam. Oke, aku menggila hanya karena bermain piano!!
"Lawanlah! Yumi! Kuatlah!"
Eh? Bisikkan itu tahu namaku? Serem amat.
Ini rumah dulu rumah hantu kali ya? Serem banget.
Sebenarnya aku takut tidur sendiri di lantai 3. Orangtuaku bilang, itu hanya khayalanku saja. Ya sudah, aku tetap disini.
Sahabatku, harusnya kau menemaniku disini. Kau kan berani. Tidak takut dengan semua ini. Sedangkan aku? Jangan ditanya lagi. Sudah jelas (sangat) takut.
Entah kenapa, aku ingin bermain piano lagi. Kali ini lagu yang lain deh. Aku keluar dari kamar menuju ruang piano. Well, aku menyebutnya begitu.
Ruang Piano setan.
Anehnya saat aku membuka tutup piano, aku merasakan hasrat ingin memainkan Fur Elise lagi. Aku tidak bisa menolaknya. Seperti dikendalikan, aku memainkannya lagi. Shit! Ini membawa Elisa! Dan ilusi-ilusi mengerikan itu!!
Tanganku memainkan lagu itu. Dari awal sampai akhir. Aku tidak dapat mengendalikan tanganku lagi.
"Kau rindu padaku, Yumi?"
Sial! Itu Elisa.
"Tidak!! Aku sama sekali tidak rindu padamu! Kau yang membuat segala ilusi itu!" bantahku.
Suasana jadi horror. Gelap. Dengan konsentrasi aku melepaskan tanganku dari piano dan melempar diri menjauh.
Cermin Elisa berputar-putar. Tubuhku terantuk ke pintu saat melempar diri. Aw! Sakit.
"Aku ingin minta satu hal. Aku mau kau main ke duniaku. Sebentar saja." pinta Elisa.
"Jangan mau! Kumohon!"
Suara itu kini ada di kepalaku. Mana yang harus kuturuti? Aku memilih tidak. Aku berusaha membuka pintu. Aku menariknya dengan keras. Syukurlah terbuka.
"YUMI!! JANGAN LARI!" seru Elisa dari cermin.
Suasana rumahku jadi penuh darah. Ada mayat-mayat mengerikan. Juga musik horror yang terdengar pelan namun sangat mengerikan. Aku lari ke kamar orangtuaku.
Sial! Kamarnya malah penuh darah. Harusnya mereka disini. Aku diam sebentar. Bisa saja aku di dunia lain. Setiap aku memainkan lagu kutukan itu, aku akan berada di dunia lain.
"Kamu memang di dunia lain."
Eh? Siapa itu? Aku celingak-celinguk.
"Aku di sebelahmu."
Aku kaget. Sangat. Sangat. Kenapa? Suara itu milik...
"AYANA?! KENAPA KAU BISA DISINI?!!" tanyaku melihat sosoknya.
"Cerita yang panjang. Tempat ini antara duniamu dan duniaku. Dan juga Elisa."
"Bisa kau ceritakan? Aku takut. Aku ingin keluar dari ilusi ini." kataku.
"Ini bukan ilusi. Ini nyata. Yumi, karena kau sudah memainkan lagu itu dua kali, maka ini nyata. Sebelumnya memang hanyalah ilusi. Kita harus memusnahkan Elisa. Bantu aku."
"Beritahu aku caranya." pintaku.
"Hell, Ayana, kau tidak boleh mendekatinya. Kau berjanji akan menjadi temanku!" seru Elisa.
GOD! Kali ini berwujud. Maksudku tidak berada di dalam cermin.
"Aku tidak mau lagi jadi temanmu! Yumi-lah sahabatku. Selamanya! Sampai kapanpun! Pergilah, Iblis!!"seru Ayana, sahabatku.
"Kau lemah, Ayana. Separuh dari kekuatanmu adalah milikku. Sebentar lagi, kekuatan Yumi yang akan kuambil. Kau tidak bisa apa-apa lagi."
"Ayana?"
"Aku tidak apa-apa. Ayo, lari!!" Ayana mendorongku pelan.
Kami berlari bersama. Sialnya, Elisa selalu menghadang jalan kami. Kubakar juga kau Ibliss!!
Eh? Apa bisa dengan membakar cerminnya dia musnah? Bisa saja.
"Ayana, kita coba bakar cerminnya." kataku pelan sambil tetap berlari.
"Pernah kucoba. Anehnya, tetap kembali. Seperti sekarang!"
Aku berpikir keras. Jika cerminnya saja yang dibakar, masih kembali, itu artinya ada perantara lain yang harus dibakar.
Piano.
Ya, piano itu. Yeah! Itu dia caranya.
"Ayana, ambil minyak dan korek api." pintaku.
"Masih mau coba bakar cerminnya?"
"Tidak. Maksudku, iya. Tapi kali ini sama pianonya. Cepat ambil. Elisa mengincarku sekarang. Cepatlah!"
"Berhati-hatilah. Jika kau terdesak, teriak saja. Aku akan mendengarnya." Ayana pergi menghilang.
"HAHAHAHA! Benar kan? Ayana hilang. Kau milikku Yumi!!"
"Sama sekali tidak!" Aku berlari lebih kencang.
Oh, aku sangat lemas. Aku capek. Aku memilih memutar arah lariku ke ruang piano setan tadi.
Bagus, masih ada cerminnya. Bedanya, sekarang pecah. Pasti karena Elisa keluar. Aku berusaha mengangkat cermin yang besar itu.
Elisa datang. Tepat ketika aku mengarahkan cermin itu ke arahnya. Dia masuk lagi ke cermin.
"AYANA!!!" teriakku sekencang-kencangnya.
"Hahaha...percuma saja. Ayana kan sudah meninggalkanmu. Kau harus ikut denganku!" Kedua tangan pucat Elisa menarik kedua tanganku.
Cermin kembali retak. Sial, lenganku sudah masuk ke cermin, berlanjut ke bahuku---eh? Aku terjatuh dan punggungku menghantam lantai.
Ayana datang!!
"Siram dia dengan minyak!" seru Ayana.
Aku menurut.
"Kau mau coba bakar aku lagi? TIDAK MEMPAN! BODOH!!" serunya diiringi tawa jahatnya.
Ayana menyulut cermin itu dengan apinya. Aku tersenyum ke Elisa.
"Sayangnya, bukan hanya cermin dan kau." kataku sambil menyiram semua minyak ke piano.
"Mungkin kali ini kau berakhir, Elisa." Ayana melempar dua buah korek api ke piano.
"APAA?!!"
"Ayana, ayo keluar." ajakku sambil menutup hidung.
Ayana menggandeng tanganku. Kami keluar dan membanting pintu ruangan. Kami akan menahannya sampai piano dan cermin terbakar habis. Aku bertanya pada Ayana.
"Sekarang, bagaimana caranya aku kembali ke dunia nyata?" tanyaku.
"Mudah kok. Aku yakin setelah piano dan cermin itu terbakar, kau akan kembali. Jika kau butuh teman ngobrol, bicara saja. Aku akan mendengarmu. Soal kenapa aku disini, kau bisa menebak sendiri." katanya mulai menghilang.
"Tap--Tapi!! Aku butuh kamu disini!"
"Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah. Ini sudah berakhir. Selamat tinggal!"
Bayangan Ayana menghilang. Setelah dia menghilang, pandanganku gelap.
----
"Sayang? Kamu sudah sadar nak?" suara ibuku.
Aku mengerjapkan mataku. Aku melihat sekeliling. Aku tetap di kamar baruku.
"Bu? Kenapa aku bisa di kamar?"
"Kamu gak sadar? Kamu pingsan di depan kamarmu kemarin malam."
"A-Aku pingsan? Sekarang jam berapa?"
"Jam 12 siang. Waktunya makan siang. Kalau kamu sudah baik-baik saja, ayo kita makan bersama."
Aku bangun perlahan. Duduk di tepi kasur. Apa benar sudah berakhir. Atau hanya mimpi?
"Aku sudah gak apa-apa, kok. Mungkin kemarin aku hanya kecapekan."
"Hmm...ya sudah. Ibu buatkan masakan spesial untuk kamu."
"Benarkah?"
"Ya."
Ibuku menggandengku sampai keluar kamar. Tunggu--- ada sesuatu yang beda. Ruang piano setan itu hilang. Bukan hilang, melainkan berganti jadi ruang baca. Ada rak-rak buku layaknya perpustakaan.
"Bu, bukannya disini ada ruang piano?" tanyaku langsung.
"Hah? Tidak ada. Dari awal kita pindah, memang sudah begini. Sudah ibu tata dengan buku-buku favoritmu. Barang-barang tua sudah disingkirkan semua."
"Ibu sama Bapak saja?" tanyaku.
"Oh, ada tetangga sebelah yang membantu. Ada anak perempuan yang seumuran denganmu. Dia memberimu hadiah."
"Hadiah apa?" tanyaku senang.
"Oh, itu ada di mejamu."
"Oke. Aku akan menyusul. Biar kubuka hadiah itu."
"Oke. Jangan lama-lama, ya"
"I won't!" kataku.
Aku segera mengambil bingkisan itu. Membukanya dengan cepat. Yang kudapati adalah kotak musik berwarna pink. Aku membukanya. Wah, apa ya lagunya? Kuputar kuncinya.
Muncullah melodi Fur Elise versi Music Box. SIAL! AKU SUDAH KAPOK MENDENGARKANNYA!!
Aku menutup kotak musik itu dan kusembunyikan di bawah kasur. Aku tak mau mengingatnya lagi. Sampai kapanpun!
----End----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top