5. Deal - Haunted
Aku terbangun dan menatap permukaan kayu tempatku dikurung. Suara hiruk pikuk pesta menggema dari lantai bawah. Pesta tampaknya belum usai.
Masa hukumanku seharusnya sudah berakhir sejak seminggu yang lalu. Sayangnya, karena ada pesta dirumah ini, sementara diriku adalah makhluk cacat yang berpotensi besar untuk merusak nama besar keluarga, hukumanku bertambah. Jadi sekarang, disinilah aku, masih terkurung dalam sebuah kotak.
Padahal tanpa kotak sempit yang mengurungku pun, aku sama sekali tidak berani keluar. Aku sadar betul kakakku tidak akan segan-segan meminta pelayan untuk memotong kedua kakiku jika aku berani melanggar perintahnya.
Seperti kata mereka, aku terlalu pengecut dan lemah. Jangankan merencanakan pembunuhan, aku tidak sanggup menggoda saudagar kaya dan menguras hartanya atau menyebarkan hasutan yang mengadu domba. Bahkan aku tak pernah becus membunuh seekor kelinci mungil. Aku bukan bagian keluarga ini, aku tidak bisa melakukan hal-hal yang mereka anggap normal.
Bunyi lonceng tanda tengah malam terdengar bergema di seluruh penjuru rumah, tanda bagi Cinderella untuk pulang. Sayangnya tidak akan ada Cinderella yang bisa pulang malam ini, tidak dari pesta yang dibuat keluargaku.
Samar-samar mulai terdengar bisikan di telingaku, suara-suara itu tak begitu jelas di antara tawa yang menggema dari ruang pesta, namun aku yakin ada seseorang di dekatku saat ini. Tidak, bukan seseorang tapi begitu banyak orang, suara-suara bisikan itu terdengar sangat banyak.
"Ayo kita mulai pestanya," gumam seseorang, disusul suara teriakan histeris yang samar-samar. Aku tak yakin itu suara dari ruang pesta atau dari bisikan-bisikan aneh disekitarku, namun yang pasti alunan musik pesta yang sebelumnya gembira kini berubah pelan dan sumbang. Suara tawa memudar digantikan oleh teriakan-teriakan yang saling bersautan.
Belum sempat aku berpikir apa yang terjadi, tiba-tiba saja penutup kotak yang mengurungku terlempar dan kakiku ditarik dengan keras oleh asap hitam yang entah bagaimana telah melingkar dipergelangan kaki kiriku.
Aku berusaha melawan tarikan itu dengan meraih apapun yang bisa kuraih, sayangnya tidak ada apapun disekitarku selain kotak kayu berpermukaan licin tempatku berbaring. Jadi dengan mudah badanku diseret keluar dari kotak dan terus diseret hingga kakiku membentur daun pintu.
Aku tak berani keluar. Aku tak mau keluar, namun pintu didepanku
terbuka begitu saja dan dengan tarikan lainnya di kakiku aku diseret keluar kamar.
Aku mencoba menacapkan jari-jariku ke lantai, mencari pegangan namun tarikan berikutnya sukses mematahkan kuku-kuku jariku dan aku kembali diseret. Sekuat apapun aku coba melawan, hasilnya tetap konsisten pada kegagalan, asap ini jauh lebih kuat dariku.
Aku benar-benar panik. Jari-jariku kini gemetaran dan berlumur darah, sama sekali tidak bisa diharapkan untuk bisa menggapai sesuatu apalagi berpegangan, sementara kakiku terus ditarik kearah ujung lorong yang temaram dimana sepasang kekasih terlihat sedang bercumbu mesra.
Jika ada yang melihatku amat terlebih saat pesta sedang berlangsung dan melaporkannya pada salah satu dari anggota keluargaku, maka tamatlah riwayat kedua kakiku.
Semakin dekat dengan kedua insan itu aku baru menyadari bahwa salah satu dari mereka bukanlah manusia melainkan seperangkat kerangka yang dibungkus kulit kisut berwarna hitam legam. Makhluk itu tidak memiliki wajah melainkan beberapa tonjolan-tonjolan tak beraturan serta celah besar berwarna merah menyala yang memuat beberapa baris gigi runcing.
Makhluk kisut itu melumat bibir si wanita gempal yang sedang bersamanya dengan bersemangat, dan melumat di sini bukanlah sebuah kiasan namun dalam artian sebenarnya. Tidak ada gigitan kecil yang lembut, yang ada justru koyakan kasar hingga bibir si wanita tak berbentuk lagi. Dan sang makhluk tak berhenti sampai di situ, ia menghisap lidah si wanita kuat-kuat hingga darah segar menetes-netes bersama liur kental sang makhluk.
Begitu menyadari kehadiranku, tangan si wanita berusaha menggapai-gapai ke arahku. Aku iba, wanita itu adalah ibuku tapi aku pun tak bisa menolongnya, seperti katanya aku terlalu lemah, mana mungkin aku bisa melawan makhuk yang sedang berjaya atas tubuhnya. Lagipula aku tahu dengan pasti kenapa ibuku dicumbu oleh sang makhluk kisut, dosa lidahnya sudah terlalu banyak, hasutan, gosip, dan segala tipu daya bersarang di sana.
Dan sekali lagi kakiku ditarik, kali ini aku diseret memasuki ruangan pesta. Ini buruk, kakakku pasti ada di dalam sana. Dan jika ia melihatku mengganggu pesta, mungkin bukan hanya kakiku yang akan tamat, tapi seluruh tubuhku.
Di dalam ruangan pesta ada begitu banyak orang dan masing-masing dari mereka kini ditemani oleh satu maklukh kisut. Mereka menjalani penyiksaan yang berbeda-beda, sesuai dosa mereka selama hidup.
Cipratan darah menodai bajuku saat seekor makhluk mengoyak daging lengan sorang pria yang berdiri menjulang di samping kiriku.
"Aku hanya mengambil seratus juta," teriak pria itu di tengah erangan kesakitan. "Itu hakku, aku tidak muncuri. SIALAN."
Bukannya berhenti sang makhluk kisut malah menacapkan kukunya yang panjang di salah satu bola mata si pria dan menariknya ke luar. Urat-urat yang mengikat bola mata itu diputuskan dengan mudah dan dalam gerakan cepat sang makhluk kisut memasukan bola mata yang masih tertancap di telunjuknya itu ke dalam mulutnya, mengulumnya dan mengeluarkannya dengan bunyi "pop" keras. Sang makhluk kisut tampak begitu menikmati bola mata di tangannya seakan benda itu adalah permen manis.
"Kau mau?" tanya sang makhluk kisut sambil menatapku atau lebih tepatnya pada seseorang di belakangku karena tiba-tiba saja aku mendengar jawaban dari belakang.
"Tidak, aku punya jatahku sendiri."
Saat aku berbalik kudapati seorang pemuda berdiri tepat di belakangku, seorang pemuda yang sangat rupawan. "Kita bertemu lagi." Ia tersenyum dan tatapan tajam matanyanya tertuju padaku.
Tubuhku bergidik entah karena terkesima atau karena ketakutan, namun yang pasti dari barisan giginya yang putih bersih aku bisa melihat samar-samar bayangan gigi runcing berlumuran darah.
Saat pemuda itu mengacungkan tangannya di depan wajahku aku bisa melihat keberadaan asap hitam yang ternyata berujung pada kakiku, jelas pria inilah yang menarikku dari tadi. "Mari kubantu kau berdiri, tuan rumah tidak seharusnya tergeletak di lantai pestanya sendiri."
"Apa kau juga akan menyiksaku seperti mereka?"
Pemuda itu tertawa, "tidak kau akan menerima ganjaranmu dengan cara yang berbeda, kau membuat dosa yang spesial. Tapi itu bukan masalah untuk saat ini, sekarang adalah waktunya kau menikmati pestamu. Apalagi kau sudah tampil begitu cantik malam ini, sayang jika tidak memanfaatkannya"
Aku menelan ludah berat. Sepertinya aku tahu apa yang sedang terjadi, dan semua kegilaan ini adalah kesalahanku.
"Kau tidak menyukainya?" tanya pemuda seraya menarik tangannya kembali.
Aku menggeleng lemah.
"Bukankah ini yang kau harapkan saat menawarkan jiwa-jiwa mereka padaku?"
"A-a-aku ha-nya in-gin ... me-re-ka ... ber-hen-ti me-nye-bar-kan te-ror"
"Benarkah? Mereka semua senang menyiksamu, ini balasan yang sepadan bukan? Ibu kandungmu sendiri yang mengiris jari-jarimu saat masih kecil hanya kerena kau menolong seekor kucing. Kakakmu berulang kali meminta pelayan meremukkan tulangmu dengan palu hingga kau kehilangan satu tangan, sementara adikmu menyayat kulitmu dengan gunting. Kau bahkan dikurung didalam peti mati hingga kau bertemu denganku. Jika kita tidak terlibat perjanjian kau sudah tidak akan ada disini lagi"
"I-ni ber-lebihan"
"Kau tidak menyebutkan teknis eksekusinya saat kita membuat kesepakatan, jadi biarkanlah itu menjadi urusanku. Yang perlu kau pikirkan hanyalah soal upahku. Oh yah kau belum bertemu dengan kedua saudaramu, mari kuantar"
"Tidak, hentikan semuanya"aku menjerit sebisaku dan memejamkan mata seerat mungkin agar aku tak perlu melihat kengerian disekelilingku.
Sayangnya, sejak dulu keinginanku tak pernah ada yang terkabul, dan malam ini tidak ada pengecualian. Tubuhku tak hanya kembali diseret seperti sebelumnya, kali ini kelopak mataku pun dipaksa terbuka hingga aku tak terhindar dari pemandangan-pemandangan mengerikan disekelilingku.
Bahkan air mataku langsung kering dengan ajaib hingga tidak ada gambaran penyiksaan yang terlihat kabur, semua terpampang nyata didepanku.
Begitu mataku melihat pemandangan salah satu makhluk kisut yang sedang menarik daging di antara tulang selangkangan sorang gadis, aku segera memalingkan wajah. Adikku yang malang, entah sudah berapa pria bejat yang menikmati dirinya dan sekarang ia dinikmati oleh makhluk kisut. Saat ini tak ada erangan kenikmatan keluar dari mulut adikku, ia justru meneriakan kesakitan yang amat sangat, benar-benar terdengar begitu memilukan ditelingaku.
Sialnya, begitu mengalihkan pandangan, aku justru disambut pemandangan lain, tak jauh dariku berdiri sosok tegap kakak laki-lakiku. Ia tidak pernah membunuh siapapun namun dialah otak dari semua skenario pembunuhan sadis yang dilakukan keluargaku jadi tak heran jika makhluk kisut yang menemaninya malam ini menghantam tengkorak kepalanya dengan keras, melemparkan serpihan-serpihan batok kepalanya dengan serampangan, sebelum mengangkat potongan-potongan otak dengan jemari panjang dan menyesapnya dengan penuh penghayatan.
"Aku tidak ingin melihatnya," teriaku kalut. Ini semua terlalu mengerikan, aku tidak sanggup.
Dan untuk pertama kalinya keinginanku terkabul, semuanya menjadi gelap.
***
Aku terbangun, sekali lagi, dan menatap permukaan kotak tempatku dikurung. kali ini tak terdengar suara pesta, tapi justru terdengar suara keributan aneh serta bunyi dobrakan pintu.
Aneh sekali.
Badanku pun rasanya begitu tak enak, seakan tenagaku baru saja disedot habis dan setiap jengkal tubuhku mengeluh sakit.
Mataku kembali terpejam, aku bahkan tak memiliki cukup kekuatan untuk menjaga mereka terbuka. Entah apa yang sebenarnya sedang terjadi, aku sama sekali tidak mengerti.
"Ada seseorang disini" aku bisa mendengar seruan keras dan bunyi benda berat yang dijatuhkan. Lalu terdengar lebih banyak langkah kaki.
"Apa anda bisa mendengar saya nona?"
Aku tak hanya bisa mendengarnya, samar-samar aku merasakan sentuan-sentuhan ditubuhku. Mereka sedang memeriksa tanda-tanda kehidupan dalam diriku, dan sepertinya mereka masih menemukannya karena sekarang aku bisa merasakan tubuhku diangkat dengan sangat hati-hati.
Saat aku dibawa menuruni tangga, bau busuk menyapa indra penciumanku. Aku memaksakan mataku untuk membuka, dan hal pertama yang kulihat adalah para undangan pesta, mereka semua ternyata belum pulang. Hanya saja tak satupun dari mereka yang masih utuh, yang tersisa dari mereka semua hanyalah onggokan aggota tubuh yang berserakan di mana-mana.
***
"Apa anda bisa mendengar saya nona?" aku mendengar pertanyaan yang sama, suara yang sama seperti beberapa jam yang lalu, bedanya kali ini aku bisa membuka mata untuk melihat siapa itu.
Seorang pria paruh baya berbadan gempal dengan seragam polisi yang hampir tidak muat, duduk disamping tempatku berbaring. Aku tak menyukai pandangannya padaku, seakan ia ingin mencabuliku, tapi badanku masih terlalu lemah untuk bergerak lebih, terutama untuk berlari menjauh.
Aku juga bisa melihat, di samping pintu berdiri seorang berseragam lainnya, jelas sekali aku tak punya kesempatan untuk lari.
"Apa anda sudah merasa lebih baik?" tanya si pria gempal.
Aku mengangguk singkat tanpa memandang kearahnya.
"Apa anda mengetahui sesuatu yang terjadi dirumah anda?"
"Saya menjual jiwa mereka pada iblis," gumamku lemah, dan bayangan penyiksaan itu kembali berputar-putar dikepalaku hingga membuatku mual. Aku tak tahu semua akan seperti ini, kukira mereka semua akan mati dengan tenang. Namun ternyata mereka terlalu bejat untuk mendapatkan kemewahan itu.
Pria itu tertawa. "Benarkah? Lalu apa yang kau dapatkan sebagai imbalannya?"
Ia jelas sedang mengolok-olok pengakuanku, tapi tetap saja kujawab pertanyaannya. "Kehidupan yang tenang."
"Tapi jiwa orang lain bukan milikmu, jadi kau tidak memiliki hak untuk menjualnya."
"Kenyataannya iblis-iblis itu sudah membawa jiwa mereka semua."
"Benarkah? memangnya apa yang dikatakan si iblis saat kau memberikan penawaran itu?"
Nada sindiran terdengar kental disetiap suku katanya, tapi aku menghormati tugasnya sebagai aparat keamanan jadi untuk kesekian kalinya aku menjawab dengan sebenar-benarnya. "Ia bilang penawaranku menarik, tapi ia hanya menginkan satu jiwa."
"Lalu apa yang kau katakan?"
"Terserah. Aku tidak peduli jiwa siapa yang diambil, mereka semua sama-sama bejat."
"Dan menurutmu jiwa siapakah yang diambil?"
"Kurasa ia berubah pikiran dan mengambil mereka semua, iblis itu serakah dan..." gambaran-gambaran asing tiba-tiba muncul dikepalaku, gambaran-gambaran yang sama sekali tidak masuk akal. Layaknya banjir memori seseorang yang dijejalkan dengan paksa ke dalam otakku, aku melihat diriku sendiri mencincang lidah ibuku, aku menghantam kepala kakakku dengan palu, aku ... aku melihat setiap detail pembantaian di ruangan pesta dengan diriku sendiri menjadi pelakunya.
Aku jelas tidak mungkin menjadi pelakunya.
Tunggu dulu, apa mungkin jiwaku yang diambil iblis? Ibu pernah mengumpat padaku, katanya ia begitu ingin menjual jiwaku pada iblis agar aku bisa menjadi anggota keluarga yang normal, setidaknya dalam standart keluargaku. Jika jiwaku sudah dimiliki iblis maka aku akan menjadi kejam suka atau tidak suka.
Kalau memang itu yang terjadi maka sisi baiknya adalah ibu dan kedua kakakku pasti bahagia, mereka akan mengangkat gelas anggur dan bersulang untukku, tidak, mereka akan membuat pesta besar untuk merayakannya.
"Berhentilah menggagunya, aku punya firasat buruk" teriak si polisi yang berdiri didekat pintu dengan suara cempreng, membuatku kembali dari lamunanku.
"Kenapa, kau ketakutan?" goda si pria gempal. "Apa kau takut karena penampilan fisik gadis ini yang penuh bekas luka dan tangan kirinya yang buntung? Atau karena fakta ia ditemukan mengurug diri dalam peti mati dengan tubuh berlumuran darah kering? Atau karena gadis ini sudah dikabarkan mati minggu lalu namun ia berada didepan kita sekarang ini dengan tubuh yang masih bernafas?"
"Terserah apa katamu, ayo cepat pergi dari sini."
"Baiklah, aku akan pergi" si pria gempal bangkit berdiri namun ia menyempatkan diri untuk menundukan kepalanya dan berbisik tepat ditelingaku, "kita akan bicara lagi nona."
Anehnya aku mendengar suara bisikan lain. Bisikan-bisikan samar seperti sebelumnya, serta sebuah suara berat pria yang terus mengulang kalimat, "aku mendapatkanmu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top