4. Revenge - Für Elise Instrumental


Ting..Ting..Ting..

Alunan melodi piano memenuhi ruangan remang tanpa penerangan lampu.

"E – E# – E."

Seorang anak laki-laki kecil bergumam sambil memainkan piano di ruangan itu. Jari-jarinya dengan cepat memencet tuts piano sesuai dengan tempo lagu yang ia mainkan.

Tauren berdiri dengan kaki telanjang di atas lantai yang dingin. Jaraknya dengan piano sekitar lima meter. Tauren bisa melihat anak kecil itu dengan jelas. Rambut pendeknya berwarna hitam, kulit wajahnya terlihat pucat, serta bibirnya terlihat merah.

Sinar bulan masuk melalui jendela-jendela besar yang mengelilingi ruangan itu. Cahayanya yang pucat menerangi piano yang berdenting. Piano itu penuh dengan guratan-guratan dangkal dan dalam. Tauren mengernyit ngeri melihat guratan-guratan itu, yang tampak seperti bentuk guratan kuku jari tangan.

Makin lama, kecepatan tempo lagu yang anak kecil itu mainkan semakin meningkat. Entah kenapa, mata Tauren tak dapat lepas dari wajah anak di depannya. Tiba-tiba, anak itu terkekeh kecil dan menoleh pada Tauren, tanpa menghentikan permainan pianonya.

Mendadak, Tauren merasakan rasa nyeri menusuk dadanya. Ia ingin berteriak kesakitan namun tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Tauren hanya bisa mengernyit kesakitan. Ia memandang dadanya. Tidak ada apa-apa di sana yang bisa menyebabkan rasa sakit seperti itu. Perih. Sesak. Tauren tidak dapat bernafas.

Lagu yang dimainkan oleh anak kecil di depannya semakin lama semakin keras dan cepat. Suara tawa anak kecil itu juga semakin kencang.

Tauren jatuh terduduk karena tubuhnya tidak kuat menahan rasa nyeri. Tangannya gemetar. Kepalanya tertunduk lemah. Rambut hitam panjangnya menutupi wajahnya. Ia memejamkan matanya menahan rasa sakit.

"E – E# – E," ujar anak kecil itu masih sambil terkekeh, "untukmu Therrese."

Suara berfrekuensi tinggi menyerang telinga Tauren sampai membuatnya harus menutup kedua telinganya dengan tangan. Ia memaksakan matanya untuk membuka karena ingin tahu darimana asal suara itu.

Kegelapan menyergap dirinya. Tauren merasakan dirinya terbaring di kasur. Aroma pengharum ruangan yang ia hirup, membuat Tauren yakin, ia sedang ada di kamarnya. Ia menajamkan telinga, berusaha mendengar suara sekecil apapun dari luar kamarnya. Hening. Tidak ada suara dentingan piano. Tidak ada suara anak kecil. Tidak ada rasa nyeri. Tauren menghela nafas lega.

Ia bangkit dari tempat tidurnya lalu menyalakan lampu redup di atas lemari. Tauren keluar dari kamar dengan perlahan dan menuju ke dapur. Lorong rumahnya sudah gelap, menandakan semua anggota keluarganya sudah pergi tidur.

Tauren membuka kulkas dan mengambil susu. Ia mengambil sedotan lalu meminumnya sambil duduk di kursi makan. Perlahan, ia memejamkan mata sambil berusaha mengingat mimpi-mimpi yang sering datang padanya akhir-akhir ini.

Tauren ingat semua ini bermula ketika ia menginjak umur dua puluh tahun sekitar lima hari yang lalu. Pada saat itu, mimpinya yang aneh dimulai. Dalam mimpinya, ia melihat sesosok pria tua yang sedang bermain piano di ruangan yang sama dengan mimpinya tadi. Esoknya, sosok pria dewasa, bermain piano, tetap berada di ruangan yang sama. Malam setelahnya, sosok itu berubah menjadi pria remaja, berada di ruangan yang sama, dan tetap bermain piano.

Malam ini, ia memimpikan sosok anak kecil yang juga bermain piano. Tauren menarik nafas panjang. Lagu apa yang anak kecil itu mainkan? Tauren merasa pernah mendengar lagu itu entah dimana.

Ting...Ting...Ting...

Tauren terkesiap. Alunan melodi piano terdengar dari ruang tengah, tempat piano miliknya berada. Melodi itu sama dengan lagu yang ada di mimpinya. Dada Tauren berdebar kencang. Siapa yang sedang bermain piano selarut ini?

Tauren perlahan bangkit dari tempat duduknya. Ia berjalan menuju ruang tengah yang pintunya masih tertutup. Sekarang, ia bisa mendengar suara dentingan pianonya dengan lebih jelas. Tauren menelan ludah.

"Siapa di dalam?"

Tauren berseru pelan. Alunan piano tetap terdengar dari balik pintu. Tauren mencoba memberanikan diri untuk mengetuk pintu.

"Ayah, apakah itu kau? Ibu?" tanyanya sedikit keras sambil mengetuk pintu.

Tidak ada jawaban. Hanya suara melodi lagu yang sama yang terus berulang dimainkan.

Tauren ingin sekali berlari kembali ke kamarnya dan bersembunyi di balik selimut. Namun, rasa penasaran juga menggunggahnya untuk segera membuka pintu yang ada di depannya. Tangannya sudah memegang kenop pintu. Dengan perlahan, Tauren membuka pintu itu sedikit demi sedikit sambil melongokkan kepalanya.

Pianonya hilang. Begitu juga rak buku, sofa, lampu, komputer, dan barang-barang lain yang seharusnya ada di ruangan itu. Tauren buru-buru masuk ke ruang tengah dan memencet tombol lampu. Ia berharap matanya salah dan sedang berusaha menipu dirinya.

"Lampunya mati," gumam Tauren.

BRAK!

Pintu di belakang Tauren mendadak menutup dengan sendirinya. Tauren berusaha membuka pintu itu namun tidak bisa.

"Kenapa ini? Pintunya tidak bisa dibuka," kata Tauren panik, "Ayah, Ibu, tolong aku!"

Tauren berteriak panik namun keadaan di luar ruangan tetap hening, seakan tidak terjadi apa-apa.

"Kau tidak bisa pergi lagi," ujar sebuah suara pria dari belakang Tauren.

Tubuh Tauren membeku. Apakah ada pencuri yang masuk ke rumahnya? Suara itu, entah kenapa memberikannya perasaan rindu. Namun, Tauren juga merasa takut.

Tauren memberanikan diri untuk berbalik. Dalam kegelapan, ia dapat melihat sesosok pria berdiri di ujung ruangan. Pria itu memakai jubah hitam. Wajahnya tidak terlihat karena tertutup oleh tudung jubah. Postur tubuhnya tegap. Tauren dapat melihat jari-jari panjang pria itu dari balik jubahnya.

"Si...siapa kau?" tanya Tauren gemetar.

Pria itu membuka tudung yang menutupi wajahnya sambil mendekati Tauren.

Tauren mundur ke belakang karena terkejut. Wajah pria itu rusak. Rusak karena luka bakar. Kulit wajahnya berkerut tak beraturan. Tak ada lagi bentuk hidung yang harusnya menghiasi wajahnya, digantikan oleh dua lubang kecil di tengah wajahnya. Matanya tidak memiliki kelopak, sehingga kedua bola matanya terlihat seperti akan keluar dari tempatnya. Bibirnya membentuk satu kerutan tak berbentuk yang menyeramkan. Kerutan itu tertarik ke pipi tanda pria itu tersenyum.

"Kenapa kau kaget?" tanyanya sambil terkekeh, "tidakkah kau rindu padaku?"

Tauren menarik nafas dalam. Ia ingin sekali berteriak namun tenggorokannya tercekat. Campuran perasaan takut, bingung, dan marah memenuhi hatinya.

Alunan melodi piano masih berdentang entah darimana asalnya. Cahaya bulan yang pucat masuk melalui jendela besar di sekeliling ruangan. Tauren kembali terkejut. Sejak kapan ia berada di ruangan yang sama seperti di mimpinya? Bukankah tadi ia masih ada dirumahnya?

"Di...dimana kita?" tanya Tauren gemetar, "dari mana asal lagu ini? Siapa kau sebenarnya? Apa maumu?"

Pria yang diberondong pertanyaan itu tertawa keras. Tauren mengernyit kesal. Siapa pria ini? Beraninya dia menertawakanku, batinnya.

"Tauren...Tauren...," ujar pria itu lambat-lambat setelah puas tertawa. "kau tidak berubah, masih tetap banyak pertanyaan dari mulut kecilmu yang berbisa itu."

Pria itu berbicara sambil semakin mendekati Tauren.

"Kau tidak ingat aku? Begitu mudahnya kau melupakanku, Tauren. Padahal dulu kita saling cinta."

"Kau gila," teriak Tauren, "aku tidak kenal dirimu. Kau manusia aneh. Kembalikan aku kerumahku sekarang!"

Tauren terengah setelah mengeluarkan segenap tenaganya untuk berteriak melawan pria aneh di depannya. Ia bergidik ketika ada angin semilir berhembus menerpa wajahnya padahal tidak ada jendela yang terbuka.

"Astaga, kau benar-benar tidak ingat aku rupanya," kata pria itu pura-pura terkejut. "Kalau kau ingat, pasti kau tidak akan berkata kalau aku manusia aneh. Kenyataannya aku memang bukan manusia lagi sekarang."

Pria itu perlahan membuka jubah hitam panjangnya. Tauren terkesiap. Pria itu tidak memiliki anggota tubuh bagian bawah, mulai dari pinggang sampai ke kaki.

Air mata Tauren mulai menggenangi matanya. Ia merasa sangat ketakutan sekarang. Pria di depannya sangat mengerikan. Pria itu melayang di depannya sambil merentangkan tangannya lebar-lebar. Seulas senyum berkerut menghiasi wajahnya.

"Aku tahu kau pura-pura lupa padaku, Tauren," katanya sambil perlahan mendekat. Jaraknya dengan Tauren hanya tinggal satu kepalan tangan. Tauren memejamkan matanya karena tidak tahan melihat wajah rusak pria itu.

"Mungkin dengan sedikit rasa sakit kau bisa ingat," lanjutnya.

Tauren merasa kedua telapak kakinya seperti di tusuk jarum-jarum tajam. Ia berdiri dengan kesakitan. Ia sudah hampir pasti menduga bahwa kakinya akan berlumuran darah sekarang. Tauren memandang kakinya namun tak tampak ada darah maupun luka sedikitpun. Rasa sakit yang menyerangnya mendadak hilang sama seperti datangnya.

"Kau setan," sembur Tauren. Ia berusaha memukul pria itu sekuat tenaga. Sebelum sempat menyentuh tubuh pria itu, tangannya sudah digenggam erat sampai ia berteriak kesakitan. Tangannya terasa kebas. Aliran darahnya terasa berhenti. Saat Tauren merasa tangannya akan putus, pria itu melepaskan tangannya sambil tertawa. Tauren menunduk kebawah sambil mengusap-usap tangannya yang memiliki bekas merah sekarang.

"Sepertinya kau masih tidak ingat apapun. Tapi, kau pasti ingat piano itu," katanya sambil mengibaskan tangannya. Sebuah piano penuh guratan muncul di tengah ruangan. "Ayo, lihatlah, atau aku congkel matamu dari tempatnya."

Pria itu tertawa kejam. Tauren terisak kesal lalu mengangkat matanya. Ia melihat piano, yang sama seperti di mimpinya, berada di depannya.

"Aku...aku tidak ingat," kata Tauren bergetar sambil memalingkan wajahnya.

Pria tanpa kaki itu mengerutkan wajahnya. "Kau tetap saja suka menipu. Kalau saja aku tidak mencintaimu, aku akan menghancurkanmu sampai tak bersisa."

"Kau jahat," teriak Tauren, "aku tidak ingat piano itu. Aku tidak kenal denganmu. Butuh penjelasan apalagi?"

Pria itu memandangi Tauren tajam dengan bola matanya yang biru tanpa kelopak. Ia melayang mendekat ke piano lalu mengelus tuts-tuts piano itu dengan tatapan sendu.

"Kalau begitu, aku bantu kau mengingatnya," katanya. Ia duduk di kursi piano lalu mulai memencet tuts demi tuts. Awalnya, yang terdengar hanya potongan nada. Kemudian, untaian nada itu berubah menjadi sebuah lagu. Lagu yang mengalun penuh hasrat. Lagu yang sama seperti di mimpi Tauren. Ia memainkan piano itu bagai sebuah mantra yang mampu menyihir siapapun yang mendengarnya, bahkan Tauren yang awalnya marah dan takut, mulai berubah tenang.

"E — E# — E," katanya, "disinilah semuanya dimulai. Sepuluh tahun yang lalu, kita bermain piano bersama. Masa-masa yang menyenangkan."

Sebuah gambaran dua orang anak kecil bermain bersama menghantam pikiran Tauren. Ia seperti melihat kilas balik sebuah film. Anak kecil laki-laki yang dilihatnya sekarang, sama seperti yang dilihatnya di mimpi.

"Lima tahun yang lalu, kita saling mengucap janji," lanjutnya sambil terus memainkan piano, "kita akan bertemu kembali di resital piano Internasional. Jalan kita berbeda, namun tujuan kita sama."

Sekarang, Tauren melihat remaja laki-laki dan perempuan saling mengaitkan jari kelingking dengan raut muka sedih. Tapi, setelah itu, keduanya tersenyum. Mereka terlihat bahagia.

"Dua tahun yang lalu," kata pria itu dingin, "kau tidak datang. Kau justru pergi meninggalkan piano ini."

Gambaran ruangan luas, seperti ruangan tempat Tauren sekarang, muncul di depannya. Tapi, ruangan itu tidak kosong, justru penuh dengan rak-rak buku yang menjulang tinggi, stand partitur, dan sebuah piano. Ruangan itu hanya disinari oleh cahaya bulan, sama seperti sekarang. Terlihat seorang remaja pria duduk dan memainkan piano dengan raut muka sedih.

"Setahun yang lalu," lanjutnya gemetar menahan amarah, "kau membuatku menghilang. Kau iri dengan kesuksesanku. Kau terlalu cinta dengan rasa ambisiusmu yang memabukkan. Rasa tulus persahabatanmu hilang. Kenistaan mulai muncul di hatimu."

Bulu kuduk Tauren meremang. Sebelumnya, ia tidak ingat apapun tentang pria di depannya itu. Sekarang, sedikit demi sedikit, ingatannya mulai muncul kembali.

Gambaran ruangan yang tadi masih belum hilang, semuanya masih sama, begitu juga dengan bentuk perabotannya. Hanya satu yang berubah, ada remaja perempuan di sebelah remaja laki-laki. Mereka terlihat saling tertawa bersama. Remaja laki-laki itu membawa sebuah piala kristal dan ia terlihat bahagia. Lalu, ia duduk dan memainkan piano dengan bersemangat, tanpa tahu bahwa si perempuan mengangkat piala milik si laki-laki lalu memukul bagian belakang kepalanya.

Laki-laki itu jatuh pingsan ke depan, menekan tuts-tuts piano secara bersamaan. Suaranya terdengar sumbang, sangat kontras dengan lagu yang saat ini dimainkan oleh si pria buruk rupa. Di gambaran itu, si perempuan menyiramkan sesuatu yang cair dari jerigen. Ia menyalakan korek dan membuangnya ke dekat si laki-laki lalu bergegas keluar. Dalam sekejab, api menyambar tubuh laki-laki itu, bersama dengan pianonya. Laki-laki itu terbangun sadar, namun terlambat. Api sudah mengoyak tubuhnya. Ia hanya bisa mencakar piano di depannya sebagai pelampiasan rasa panas dan nyeri yang dirasakan. Guratan-guratan dalam di piano itu menjadi saksi bisu penderitaan yang dirasakan oleh si laki-laki.

"Semua menjadi abu," lanjut pria buruk rupa itu sambil terus memainkan lagu dengan tempo yang perlahan semakin cepat. "Kepercayaan berubah menjadi pengkhianatan."

Tauren menggelengkan kepalanya lemah. Ia tidak dapat menerima hantaman ingatan yang barusan ia dapatkan. Perempuan di gambaran tadi, adalah dirinya. Sedangkan si laki-laki, adalah pria buruk rupa yang ada di depannya.

"Tidak...tidak mungkin," gumam Tauren pelan. Ia memandangi pria itu. Sekarang, ia paham mengapa ia merasa rindu sekaligus ketakutan ketika melihatnya.

"Kau sudah ingat kan, Tauren?" tanya pria itu sambil terkekeh, "atau harusnya kupanggil kau, Theresse?"

Ingatan masa lalu kembali menyerang pikiran Tauren. Setelah ia membakar temannya sendiri hidup-hidup, ia merasa sangat tertekan sampai jatuh sakit. Orang tuanya setuju untuk mengganti namanya. Alhasil, namanya diganti menjadi Tauren. Namun, seluruh ingatannya, saat menjadi Theresse, menghilang.

"Theresse...itu aku?" tanya Tauren lambat-lambat.

Pria buruk rupa itu hanya terkekeh. "Karena itulah lagu ini sangat cocok untukmu."

Jari-jari panjang pria itu memainkan tuts piano dengan cepat. "E — E# — E. Untukmu Theresse."

Air mata Tauren mengalir. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud membunuhmu. Aku...aku tidak tahu apa yang terjadi padaku saat itu. Semuanya terjadi begitu saja."

Pria itu berhenti memainkan pianonya. Ia melayang mendekati Tauren. Tangannya menghapus air mata di pipi Tauren. Walaupun wajahnya terkena luka bakar, begitu juga kakinya yang menghilang, namun tangannya masih utuh dan halus, seperti tangan manusia.

"Aku memaafkanmu, Theresse," katanya lembut, "tapi, kau harus mengikuti keinginanku."

Tauren memandang wajah pria di depannya tanpa rasa takut. Ia menyadari semua kesalahannya sekarang. Ia sudah siap untuk hukuman apapun yang harus ia terima.

"Terserah padamu, aku siap menebus dosaku."

Pria itu menarik seulas senyum tipis yang tak terlihat. "Kalau begitu, kembalilah ke duniamu."

Tauren didorong ke belakang oleh pria itu. Tauren tidak siap dengan serangan mendadak dari pria yang sudah dipercayainya sejak kecil. Ia bersiap untuk menerima rasa sakit tubuh bertemu lantai, namun ia justru terjatuh ke dalam lubang hitam besar. Tauren berteriak minta tolong tapi tidak ada suara yang keluar. Kegelapan menelan dirinya. Ia terjun bebas tanpa halangan.

Mendadak, ia berada di tengah kobaran api yang membara. Asap pekat menyelubungi seluruh ruangan tempatnya berada. Tauren terbatuk-batuk karena tak sengaja menghirup jelaga. Rasa panas api terasa membakar sampai ke kulitnya. Ia menundukkan kepala serendah yang ia bisa untuk mencari udara. Api semakin berkobar. Warnanya yang kuning membutakan mata Tauren. Ia mencoba berteriak minta tolong namun hasilnya justru ia terbatuk terus menerus. Dadanya semakin terasa sesak. Kulitnya terasa meleleh terbakar. Perihnya tak dapat ia tahan lagi.

Samar-samar, Tauren dapat melihat pria itu bermain piano sambil tertawa di tengah kobaran api.

"Tidaak!"

Tauren berteriak keras sambil meronta.

"Pegangi tangannya!"

"Ikat kakinya!"

Suara-suara asing yang juga ikut berteriak membuat Tauren membuka mata lalu mengenyit silau. Dominansi warna putih pada dinding dan atap membuatnya pusing, setelah terlalu lama berada di dalam kegelapan. Ia merasa tangan dan kakinya tidak dapat digerakkan. Lima orang bermasker dan berjubah putih mengelilinginya. Bau khas antiseptik memenuhi ruangan.

"Dimana aku? Kalian siapa? Dimana pria itu?" tanyanya bertubi-tubi. Ia berusaha untuk meronta namun sia-sia. Tubuhnya telah terikat erat ke ranjang.

"Masukkan obat penenangnya sekarang," ujar salah satu orang berjubah putih di sekelilingnya.

Rasa nyeri menusuk tangan Tauren. Ia berteriak kesakitan. Ia kembali berontak. "Aku mau pulang. Biarkan aku pulang. Dosaku sudah terbalas. Bukan aku yang salah."

Semakin Tauren memberontak, semakin ia merasa tenaganya hilang. Teriakannya semakin lama semakin lemah. Tangan dan kakinya sudah terdiam tanpa gerakan. Mata Tauren terasa semakin berat. Dengan sisa tenaganya, ia berusaha mendengarkan suara orang-orang yang berbincang di dekatnya.

"Kasihan dia, sudah setahun masuk rumah sakit jiwa. Padahal umurnya masih muda. Lima hari yang lalu dia baru berumur dua puluh tahun."

"Kabarnya, dia merasa terpukul karena temannya meninggal."

"Benarkah? Setahuku, anak ini yang membakar temannya hidup-hidup."

"Kalau begitu, hukum karma memang benar adanya."

Suara-suara itu makin tidak jelas terdengar bersamaan dengan mulai menutupnya mata Tauren. Kesadarannya semakin menghilang. Suara terakhir yang dapat ia dengar adalah denting piano dan suara seorang pria.

"E — E# — E. Untukmu Theresse."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top