16. Whisper of Melody - Haunted



Riuh di kelas 11-C sudah menjadi hal biasa terlebih jam kosong pada jam terakhir pastinya membuat murid-murid bersemangat untuk pulang. Beberapa manik yang penasaran tertuju padanya, sepasang orang asing yang duduk bersebelahan dengan status 'Murid baru'. Gadis dingin bermanik hazel itu tidak memperdulikannya walaupun sudah seminggu dia duduk dengan lelaki misterius yang digilai kaum hawa.

"Tuh cewek dingin banget! Udah seminggu disini masih aja jual mahal. Minta di-bully nih."

"Stt... gak usah bahas bully deh!"

"Ra! Sher! Udah deh! Mending ngomongin si cakep Rei aja."

"Bener tuh kata si Kira! Cakep."

Ketawa kecil mereka berempat membuat Eve geli. Lelaki bersurai hitam kelam di sebelahnya beranjak keluar dari kelas. Mata Eve menelusuri tiap sudut-sudut kelas merasa asing dengan tembok putih yang memenjarakannya sekarang. Maniknya terpikat dengan gadis yang duduk paling depan bersurai hitam sebahu yang sibuk dengan bukunya. Gerak-geriknya terlihat gelisah setiap cewek-cewek tajir itu berbicara sedikit dengannya.

Ada pula anak cowok yang selalu memandangi salah seorang dari gerombolan cewek itu. Parasnya tidak terlalu tampan dengan rambut hitam dipotong cepak tapi terlihat baik dan ramah. Cowok itu saat ini sedang duduk dengan gadis bersurai hitam sebahu dengan kepangan kecil di samping sebagai hiasan. Gadis itu terlihat sedang mencari perhatian dengan cara bertanya sesuatu mungkin pelajaran kepada orang di sebelahnya.

Ting tong... ting tong...

Bel singkat yang diikuti sorakan riang murid-murid menandakan selesainya kegiatan belajar di sekolah. Eve mengemasi barang-barangnya dan segera beranjak. Gerakan gadis bernama Inta membuat Eve penasaran. Gadis gelisah itu kini menepuk bahu cewek yang dipanggil Tiara oleh teman-temannya. Inta menyerahkan secarik amplop merah dengan gerakan yang lebih berani kepada Tiara. Teman-teman Tiara hanya menyorakinya bahwa itu surat cinta dari sang penggemar. Eve yang tidak berminat mengetahui isi amplop itu segera keluar dari kelas. Rambut hitam kemilaunya digerai lurus hingga pinggang menampakkan aura dinginnya.

oOo

Rei masuk ke dalam kelas yang sudah kosong dimana dia meninggalkan tasnya di atas kursi. Lelaki bermanik hitam itu melihat secarik kertas yang sedari tadi dia simpan di sakunya. Sudah setengah jam dari dia keluar dari kelas saat jam kosong dan dia kembali dengan senyum masam memandangi kertas itu. Hari sudah senja, kilatan merah mentari menerangi seluruh sudut ruangan seolah di cat merah terang.

"Will you see an event?"

Rei bergidik. Dia menoleh ke belakang. Nihil. Sangat jelas ia mendengar bisikan perempuan. Sangat jelas. Dentingan piano dari ruang musik mengalun merdu di telinga Rei. Ia mengambil tasnya dengan tergesa-gesa menuju ruang musik di lantai dua sekolah.

Langkah Rei menggema di koridor. Rei terengah-engah. Dentingan itu semakin jelas terdengar. Rei membuka pintu ruang musik. Hening. Tak ada siapa pun di sana kecuali Rei dan boneka kelinci yang duduk di atas kursi piano. Bahkan tuts piano terlindungi dengan penutupnya. Mana mungkin boneka putih usang yang baru saja memainkannya?

"Aaahhh...!" Teriakan kencang membuat Rei segera berlari menghampiri sumber suara. Bau anyir memenuhi indra penciuman Rei. Gadis bernama Tiara tergeletak dengan cairan merah menyelimuti tubuhnya. Gadis-gadis dengan pakaian olahraga dari klub lari memandangi tubuh setengah kaku itu dengan wajah takut gemetaran. Rei menatap tepat ke atas dari gedung dimana gadis itu mungkin terjatuh. Siluet samar terlihat dari bawah. Gadis. Rei segera berlari menuju atap sekolah.

Pintu menuju atap sekolah terbuka. Kilatan senja membara ketika Rei membuka pintu dengan kasar. Rambut panjang hitam memantulkan semburat merah dari matahari. Boneka kelinci putih tergeletak tepat di bawah kaki gadis itu. Ia menoleh ke arah Rei dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Eve melangkah menuju pintu loteng melewati Rei.

"Kau terlambat." Dua kata singkat keluar dari mulut Eve. Rei hanya bisa menggeram kesal dan mengepalkan tangan.

oOo

Esok pagi setelah kejadian tragis itu, seluruh murid menjadi ketakutan. Suasana kelas 11-C menjadi penuh dengan tangisan dan ketakutan, kecuali Eve dan Rei. Wajah datar dan cuek itu tak mempedulikan apa yang terjadi. Bahkan untuk hari ini sekolah memulangkan murid-murid lebih cepat.

"Sherry, kamu mau kemana?" tanya Kira.

"Itu lho, tugas kimia. Cuma aku belum pratikum karena gak masuk."

"Astaga Sher, keadaan lagi kacau gini kamu masih mau di sekolah?" timpal Tifa kurang setuju dengan tindakan Sherry.

"Kan bentar lagi udah deadline, gak apa kan?"

"Oke deh, hati-hati ya."

Begitu Sherry tiba di laboratorium kimia, segera jas putih ia kenakan dengan semua peralatan disiapkannya di meja. Dibacanya dengan cermat petunjuk yang tertulis. Segera ia mencampurkan bahan demi bahan ke dalam tabung reaksi.

"Loh," matanya menelusuri setiap bahan di atas meja, "Apa tertinggal?" Buru-buru ia menuju ke dalam kelas dengan meninggalkan pekerjaannya.

oOo

Angin dingin berembus kasar di antara helaian-helaian surai Eve. Mentari senja begitu indah dan menakutkan di mata hazelnya. Ia mendongak melihat gumpalan kapas-kapas yang siap menurunkan air dengan kasar.

"Do you like a bomb?"

Bisikan kecil menggema di telinga Eve. Alunan piano pelan begitu merdu hingga ke indra pendengarannya. Rambut panjangnya tersibak angin ketika ia berlari dengan kencang. Didapatinya cowok berambut tebal berada luar pintu ruang musik ketika alunan piano telah berhenti. Manik mereka berdua bertemu dengan nafas Eve yang masih terengah-engah.

Bum!

Suara ledakan membuat hentakan sesaat pada ubin-ubin sekolah. Eve dan Rei segera berlari menuju sumber suara. Dari kejauhan terlihat boneka kelinci seperti saat itu tergeletak di depan pintu laboratorium kimia. Pintu laboratorium kimia masih tertutup dengan rapat meskipun Rei sudah mencoba mendobraknya. Pintu kayu yang sudah berumur memudahkan Rei mendobrak setelah mencoba beberapa kali.

Begitu berantakan dan penuh dengan cairan warna merah encer di dekat meja yang paling berantakan. Rei menghampiri meja tersebut, ditemukannya Sherry dengan kondisi pupil yang hampir tak terlihat. Wajahnya sudah membiru dengan mulut kering yang menganga. Eve yang melihat kondisi itu segera mengambil ponselnya untuk memanggil ambulan dan polisi.

oOo

Sama dengan keadaan sebelumnya, guru-guru sedang rapat membahas kejadian tragis yang menimpa kedua siswinya sedangkan keadaan kelas semakin memburuk. Kira dan Tifa hanya berwajah lesu dengan mata sembab. Eve hanya memandang ke luar jendela tidak peduli dan sibuk dengan pikirannya sendiri.

Jika aku bertemu Eve setelah aku keluar dari ruang musik, lalu siapa yang melakukannya? Pikir Rei dengan mimik yang lebih serius.

"Teman-teman!" Teriakan lelaki yang memasuki kelas membuat Eve sedikit terkejut, "Tahu gak? Kabarnya tiap malam ada suara piano di sekolah kita."

"Ah masa? Gak usah bikin merinding deh!"

"Enggak kok, rumor dari penjaga sekolah sih gitu, terus setiap kali di deketin gak ada orang di dalam."

Eve yang sedikit tertarik hanya menoleh sesaat ke arah gerombolan murid yang sedang membicarakan rumor itu. Ia menghela nafas sesaat berharap dapat pulang dengan lebih cepat. Belum sampai satu menit ia berharap, pengumuman agar pulang cepat bahkan libur selama satu minggu sudah diumumkan melalui pengeras suara. Semua murid segera berhamburan keluar.

"Are you curious?"

Eve dan Rei bertatapan, bertanya satu sama lain tanpa suara. Eve hanya mengangkat bahu lalu segera beranjak dan keluar dari kelas. Rei hanya menatap punggung gadis itu dengan aura dingin. Ia kemudian beranjak menuju keluar sekolah melalui pintu belakang sekolah.

"Eh Rei!" panggil seseorang dengan langkah kaki cepat ke arahnya. "Ini dari seseorang." Mata hitam Inta begitu serasi dengan senyum manisnya ketika memberikan sebuah amplop kepada Rei.

"Thanks ya." Ia kembali melangkah menyusuri koridor menjuju pintu belakang. Belum sempat ia terpapar cahaya matahari, ia segera menghentikan langkahnya.

"Ra, gimana kalau kita nyelidikin pianonya? Pasti yang main itu yang bunuh Tiara dan Sherry."

"Fa, aku gak mau ambil resiko."

"Ayolah, kita harus ungkap pembunuhan ini."

"Tapi belum tentu ini pembunuhan kan?"

"Kita tahu persis gimana kondisi mereka, masa mereka bunuh diri sih?"

"Baiklah, kamu mau nyelidikin kapan?"

"Besok aja gimana? Hari ini pasti penjagaan ketat kan?"

"Oke."

oOo

Esoknya saat malam hari di sekolah yang cukup menyeramkan dengan penuh misteri, kedua gadis yang berencana menyelidiki kasus itu menyelinap ke dalam sekolah. Hanya berbekalan telepon genggam serta senter sebagai penerangqan mereka melangkah menuju ruang musik.

"Fa... ini makin mencekam deh." Angin dingin semakin terasa ketika langkah menuju ke ruang musik. Lama tidak ada jawaban dari Tifa, Kira menoleh ke belakang dan mendapati betapa kosongnya koridor yang telah ia lalui. "Fa..." tangan lentik menepuk pundaknya. Nafasnya berpacu. Angin dingin menusuk tulangnya. Dengan berat ia menoleh ke arah tangan itu muncul.

"Aahh!!" dengan reflek Kira berteriak, "Gak lucu ah Fa!"

Ketawa geli terdengar dari gadis yang berhasil mengagetkan Kira. Kira hanya menggerutu kepada Tifa yang sudah mengerjainya di malam yang cukup mencekam menurutnya. Dentingan piano mulai mengalun mengisi kekosongan di koridor. Kira hanya menelan ludah. Ia menggandeng tangan Tifa dan melangkah kea rah sumber suara. Tangannya memegangi senter sebagi tambahan penerangan. Tiba-tiba saja ponselnya bergetar, dilepasnya tangan Tifa lalu segera mengambil ponselnya.

"Alarm? Mengganggu saja." Dimasukkannya kembali ponselnya ke dalam sakunya. "Ayo Fa, jalan lagi." Tepat ketika Kira menoleh ke belakang tidak ada gadis yang ia maksudkan. Sepi. Kosong. Hanya ada boneka kelinci yang tergeletak sebagai pengganti keberadaan Tifa.

"Fa... gak lucu!" Kira menoleh dengan gelisah mencari sahabatnya itu. Tempo alunan piano semakin pelan. "Fa... dalam hitungan tiga kalau kamu gak muncul ada pulang nih." Ancam Kira.

"Satu... Dua..." Kira mulai menghitung. "Fa... Tiga! Aku pulang nih!" Kira segera berlari menuju keluar sekolah dengan bulu kuduk yang sudah berdiri. Angin dingin menyelimuti sekolah bermisterius dengan nyanyian piano yang masih mengalun.

oOo

Rei membaca pesan di ponselnya pagi-pagi buta, hingga niatnya untuk tidur lagi menjadi musnah. Dia segera beranjak dari tempat tidurnya untuk melahap sarapan sebelum ia menuju ke sekolah. Pikirannya sudah cukup kacau saat pagi hari ditambah perut laparnya yang terus mengaung. Ia juga, di kolam renang dalam keadaan seolah kecelakaan. Lalu berikutnya siapa?

oOo

Mentari senja membuat Rei menguap lebar, ia membuang plastik yang membungkus nasi kepalnya. Ia melangkah ke depan gerbang sekolah mencoba mencari suasana untuk makan. Sebelum ia melahapnya, gadis bermata hazel itu berjalan pelan di antara pagar sekolah. Manik mereka bertemu.

"Ada waktu?" Tanya Rei. Eve hanya mengangguk kecil sebagi jawaban. Rei melangkah menuju taman terdekat sambil memakan nasik kepalnya, sedangkan Eve hanya membuntutinya.

Eve duduk di bangku taman yang cukup sepi hanya ada beberapa anak kecil yang sedang bermain bola sepak. Rei menyodorkan minuman kaleng kepada Eve tanpa bersuara. Diterimanya minuman tak bersoda itu dengan anggukan sebagai ucapan terima kasih.

"Aku ingin kau jujur, apa kau yang membunuh mereka?" Tanya Rei.

"Apa?" suara soprannya penuh dengan kecurigaan.

"Apa. Kau. Yang. Membunuh. Mereka?" ulangnya kembali dengan penekanan di setiap katanya.

"Huh?"

"Pada kasus pertama, aku melihat siluet gadis setelah Tiara terjatuh. Lalu ketika aku ke atas aku mendapatimu."

"Rei. Kau tahu kasus meninggalnya Elvia?"

"Ya... gadis yang diduga bunuh diri saat kompetisi piano berlangsungkan? Saat final berlangsung dia pergi entah kemana dan di temukan bunuh diri di gudang sekolah."

"Ya, dia saudaraku. Aku sengaja pindah kemari untuk menyelidiki kasus itu, aku tahu dia tak akan bunuh diri begitu saja." Eve menyerahkan secarik kertas yang sudah sobek di pinggirannya dan tanpak rapuh. "Itu partitur. Elv membuatnya sendiri hanya demi kompetisi bodoh itu, dan melodi itulah yang terdengar sebelum kejadian berlangsung."

"Aku mulai paham."

"Tunggu dulu. Untuk apa aku membicarakan ini denganmu? Apa urusanmu?" Tanya Eve dengan nada tinggi.

"Aku detektif, aku lebih tua satu tingkat daripada kau, aku hanya menyamar untuk memecahkan kasus yang sama denganmu."

Mereka berdua berjalan menyusuri jalan setapak dekat sungai sambil berbincang-bincang mengenai kasus tersebut. Manik Rei menangkap sosok yang tak asing, gadis berkacamata bersurai hitam sebahu, sedang berjalan berlawanan arah dengannya. Inta hanya tersenyum, manik hazelnya memantulkan cahaya senja.

oOo

"Come and find me."

Suara pelan membuat Kira tersentak kaget. Bisikan itu membuat Kira melangkah menuju ke sekolah tanpa alasan. Menuntunnya melewati polisi yang berjaga dengan ketat dengan perlahan. Maniknya terus menatap ke arah depan seolah jalan yang ia lalui sudah benar-benar aman.

"Just little closer."

Kira tersadarkan di tengah lapangan sekolah yang tidak dijaga polisi. Dia bertanya-tanya kenapa dia bisa berjalan menuju ke lapangan yang mengerikan. Malam hari dengan bulan yang di selimuti awan membuat lebih gelap keadaan. Angin dingin datang dari belakang Kira. Alunan piano mulai terdengar walaupun samar-samar.

"Do you miss me?"

Nafas Kira semakin berat. Suara itu begitu dekat dengannya. Suara kaki yang diseret semakin mendekat. Bulu kuduknya berdiri. Badannya tidak mau menerima perintah otaknya untuk lari.

"Will you accompany me?"

Tubuh Kira membeku. Suara itu begitu cepat diproses oleh syaraf pendengarannya. Nafas hangat berembus tepat di telinganya. Kira menunduk. Ia semakin tersentak melihat boneka kelinci sedang memeluk kakinya.

"Good Night."

Rasa sakit menyerang perutnya. Seluruh tubuhnya lemas. Begitu susah menghirup oksigen di ruangan yang luas. Matanya mulai terpejam pelan. Dapat ia rasakan rasa sakit di bagain tubuhnya yang lain. Goresan dalam di bagian pipinya terbentuk sebelum Kira tumbang. Begitu kasar dan tidak berpesaraan. Hanya siluet samar yang dapat Kira ingat sebelun rasa sakit yang amat menjalari tubuhnya. Cairan panas yang membakar tubuhnya seolah mengeluarkan semua darah merah miliknya.

Gadis itu tersenyum penuh kemenangan. Dijatuhkannya pisau yang ia gunakan ke tumpukan kaleng kosong. Ia nyalan pematik dengan senyum puas. Tiba-tiba tangan kekar memegangi kedua tangannya dengan erat dan memaksa gadis itu menyilangkan tangannya di belakang tubuhnya.

"Inta, cukup. Menyerahlah." Suara Rei menghancurkan segala kepuasan dalam diri gadis itu.

"Inta, tak perlu balas dendam. Kenapa tidak kau laporkan saja bahwa Elvia dibunuh oleh Kira?" Eve menghela nafas kecewa melihat tindakan yang sudah Inta lakukan.

"Kau tahu apa soal aku?" Tanya Inta dengan nada menantang. Polisi yang menanganinya segera membawanya ke mobil patrol. Sedangkan Kira sedara diangkut oleh para petuga medis.

"Akhirnya kasus ini selesai." Ucap Rei lega. Ia terlihat begitu santai. Eve hanya tersimpul melihat Rei. Mereka berdua segera menuju ke mobil patrol untuk melakukan interogasi lebih lanjut.

Siapa yang dapat menyangka bahwa kasus tersebut selesai? Piano hitam masih bernyanyi dengan nada-nada yang indah, atau bahkan menyeramkan. Seberkas sinar bulan muncul di antara awan-awan, menyinari boneka kelinci putih.

oOo


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top