10. Loving MAL - Haunted
Tak ada yang lebih indah dari wajahmu memucat di tanganku.
Aku ingin menculikmu, menjadikanmu milikku.
Tapi kamu memang milikku, kan?
Aku ingin mengotorimu, menodaimu dengan nafsu.
Menjilatimu dari ujung ke ujung, menciumi penuh gairah.
Menggigitmu, mengisap, pelan, dan menyakitkan.
Dan membunuhmu, sehingga kamu menjadi milikku selamanya.
****
"Malisha!"
Dia tak menggubrisnya.
Seperti biasa.
Langkah wanita itu tidak melambat, dan sang pria tetap berusaha mengejarnya.
"Malisha!"panggil pria setinggi 180 sentimeter dengan rambut panjang cokelat tuanya. Pria itu Gill. Seorang yang memiliki hubungan aneh dengan Mal. Wajahnya tidak terlalu tampan. Standar. Agak kaku jika dibandingkan dengan Mal yang memiliki sikap serampangan.
Drew, kekasih Mal saat ini, sedikit terganggu dengan kedatangan Gill yang membawa aura suram di kencan siang di pinggir pantainya bersama Malisha. Bahkan gulungan awan puith dikejauhan berubah kelabu ketika Gill datang. Seperti mengundang hujan yang membawa badai. Aneh memang.Tapi Drew bisa merasakan perbedaan yang besar pada diri Mal ketika melihat Gill datang.
Wanitanya berubah.
Dengan cara yang aneh.
Sesuatu yang menggelitik rasa penasarannya.
Si rambut cokelat kastanye pendek itu berhenti mendadak untuk memandang Drew, diikuti kopi di gelas sterofoam di tangannya. Gelas itu diguncangnya kecil, lalu ditatapnya bosan dasar gelas yang tampak, karena isinya hampir habis. Mal memutar tubuh ke arah teman prianya. Berjinjit di sepatu datar merahnya sedikit dan berbisik, membuat Drew berjalan meninggalkan dua orang itu di antara kerumunan pejalan kaki.
"Mal?" tanya pria itu. Sang wanita tak menjawab dan justru mengalungkan rantai tas tangannya ke leher sang pria. Dalam tarikan cepat membuat pria itu tercekik dan terbatuk-batuk setelah nafasnya direnggut paksa. "Berisik," tukas wanita itu.
Mal duduk di sebuah kursi panjangdi dekat mereka, kemudian mengambil sebatang rokok dari kotak di tas tangannya. Pria itu tidak berbicara lagi dan segera menyalakan pemantik, mengangsurkan apinya ke ujung rokok Mal yang lalu menyodorkan gelasnya. Dalam sekejap gelas itu berada di sebuah tempat sampah. Tanpa perlu dikatakan, Mal jelas menginginkan segelas kopi lain, jadi, Gill berlari ke sebuah gerai kopi tak jauh dari tempat mereka berada.
Para pria yang melintasi Mal selalu memastikan untuk memutar kepala dan mengagumi kecantikan wanita itu. Tak sedikit yang bersiul menggoda atau berpikir untuk mengajak wanita itu untuk minum kopi atau makan siang—meski saat itu sudah lewat dari jam makan siang. Tapi raut wajah jijik mengisi saat melihat bekas luka yang panjang di kaki Mal. Beberapa bertanya-tanya mengapa wanita cantik itu tak menutupinya saja agar kecantikannya tak berkurang. Mal menghisap rokoknya acuh.
Pria itu membawakan satu gelas besar kopi yang ia hapal betul rasanya karena sering mencicipinya saat hendak dibuang ke tempat sampah. Mal tak pernah menghabiskan kopinya. Pria itu mengulurkan kopi yang dengan malas diterima oleh Mal.
"Gill,"panggil Mal. Gill mendekat, mengira ia akan diberi tugas lainnya. Mal menghisap rokoknya untuk terakhir kali, rokok itu berada di selipan antara kedua bibir serta jari telunjuk dan tengah. Dihisapnya lama dan dalam, lalu, saat Gill telah mendekat, ia bangkit berdiri sembari membuang puntung rokoknya ke trotoar,menginjaknya menggunakan ujung sepatu.
Mal menahan asapnya di dalam mulut, lalu menelannya sehingga asap itu kini berada di tenggorokannya. "Kau menggangu kencanku, Gill," ujar Mal sementara tangannya bergerak ke atas kepala Jett, menumpahkan kopi panas yang baru Jett beli.
"Pengganggu." Dihembuskannya asap yang ia tahan tadi ke wajah Gill. Mal tidak terkejut bahwa ekspresi pria itu tak berubah sedikitpun.
" Jangan temui aku lagi, aku akan bertunangan."
Kali ini, Gill mengeraskan roman wajah, nampak bagai tertampar. Pandangan matanya mengeras, jelas tak terima dengan keputusan itu, dan semua itu sesuai ekspektasi Mal.
"Mal, aku—"
"Omong-omong, kopi tadi tumpah di kaki yang kau rusak. Ingin membersihkannya?" senyum manis Mal sanggup meluluhlantakkan kesedihan Gill. Keceriaan di wajah yang selalu serius itu menyengangkan Mal.
"Dengan lidahmu, anak manis."
Bagi orang lain, itu adalah penghinaan.
Bagi Gill, itu adalah anugerah dari langit.
Lagipula, ia telah terbiasa dengan kegilaan yang tercipta sejak berurusan dengan Malisha Cerny-Cervenka.
Ia membawa lututnya menyentuh batako abu-abu yang kotor, mengambil kaki telanjang Mal dengan tangannya. Meletakkan kaki dengan bekas luka memanjang dari betis hingga telapak itu ke atas pahanya tanpa melepas sepatunya. Tak dipedulikannya tatapan pejalan kaki dan orang-orang hilir mudik melewati mereka.
Gill dengan khidmat menjilat tetesan kopi di kaki Mal. Pelan dan hati-hati.
Seolah tetes kopi itu adalah perasan Ambrosia, yang hanya boleh dinikmati dewa.
Seakan itu adalah satu-satunya tetesan air yang tersisa di seluruh dunia dan kehidupannya bergantung pada hal itu.
Ekspresi di mata Mal berubah-rubah dari puas, menjadi kecewa, lalu dingin.
"Selamat tinggal, Gill,"bisiknya.
****
Ada.
Mal menatap tajam hasil fotonya. Pria itu selalu ada di seluruh foto yang ia ambil. Tak hanya foto komersil, tapi juga foto pribadi. Jika bukan sosoknya, akan selalu ada hal yang terkait. Entah baju yang dipakai modelnya adalah milik salah satu perusahaan Gill, atau barang yang ia hapal betul dimiliki pria itu. Kadang terserak di sana-sini. Kadang pria itu ada di sudut foto, kadang ada tepat di belakang model yang ia ambil di sebuah kerumunan.
Tapi, hal yang Mal sadari, Gill semakin lama semakin mendekat dengan jarak pengambilan foto.
Semakin lama mulai menjadi titik fokus.
Seperti hiasan.
Semakin mendekat ke arah kameranya.
Di mana, itu artinya, Gill semakin mendekat ke arahnya.
Mal mengertakkan giginya dalam keheningan dan melempar foto-foto dalam proposal yang ia persiapkan sejak beberapa bulan lalu. Dia mulai berpikir keras mengenai tindakan yang akan ia ambil setelah ini. Memperhitungkan apa yang Gill lakukan, ia harus mempercepat pernikahannya jika ia ingin rencananya berhasl.
Gill yang hangat selalu membawakannya kopi dan sarapannya.Diletakkan di atas nakas di samping tempat tidur apartemen lamanya. Di kamar yang sering ia gunakan untuk menampar, mencambuk, melukainya sedemikian rupa tanpa menggunakan kontak langsung antar kulit. Ia telah melukai dan
Secara mental, fisik, dan seksual.
Mal tak pernah tidur dengan Gill. Dan pria itu tak berani menyentuhnya.
Karena Mal sendiri yang membangun dinding itu.
Bekas luka di kaki Mal menjadi semacam cambuk yang melukai Gill, dan mengetahui hal itu, membuat Mal tak pernah lupa untuk menunjukkan bekas luka itu terang-terangan. Ia dengan sengaja menggunakan bekas luka itu sebagai senjata. Membuat timbunan rasa bersalah Gill semakin tinggi setiap kali dua mata cokelat karamel itu tertumbuk pada kakinya.
Hal itu begitu memudahkan Mal untuk melancarkan kehidupannya. Sembari melepas stres, dinikmatinya kenyamanan yang ditawarkan oleh Gill. Pria itu memenuhi segala macam kebutuhan sehari-harinya.Tak sekalipun mengangkat suara.
Sejak saat itu, Mal tak pernah menggunakan celana panjang atau rok panjang.
Bekas luka itu menjadi tali kekang yang mengikat leher Gill Teel.
Ia memulai kehidupan menyimpangnya dengan menyuruh Gill yang berkepribadian kaku untuk berpakaian sebagai wanita, menemaninya berbelanja, menyuruh pria itu berdandan dan memakai sepatu hak tinggi. Lalu membuat Gill yang berpenampilan memalukan itu membeli satu kereta belanja penuh pelumas cinta, kondom, dan tampon.
Mal juga pernah menyuruh Gill untuk memesankannya dua gigolo untuk mereka berdua. Tentu saja Gill menjadi yang 'bawah' di kegiatan yang berlangsung dari malam hingga pagi tersebut. Mempermainkan Gill terasa amat menyenangkan. Melukai perasaan pria itu, merusak mental, dan membuat Gill menangis telah menjadi hobi pribadinya.
Dan Mal tak akan selesai sampai di situ.
****
Bertahun lalu, Mal mengingat, ia terkapar di rumah sakit setelah seorang pria menabraknya yang tengah menyebrang jalan seusai gladi bersih di studio milik kawannya. Mobil itu melaju kencang, tergelincir pasir; Mal terhantam keras dan terpelanting dua meter ke udara sebelum tergeletak tak sadarkan diridi aspal. Kejadian itu hanya dua hari sebelum pementasan perdananya sebagai balerina.
Mimpi Malisha menjadi pemeran utama Swan Lake kandas, dan bahkan sebelum ia bisa mengecap apa itu kesuksesan. Semua angan dan latihan tahunan yang ia jalanin menghilang bagai kabut ditiup angin.
Tapi sekarang ia sudah sukses. Menjadi seorang fotografer yang dikontrak banyak perusahaan dengan ratusan kontrak serta klien bertebaran di penjuru dunia. Semua itu berkat penabraknya.
Mal akui, Gill telah memberinya pelajaran fotografi dan kemudian koneksi yang awalnya ia lakukan sebagai pengisi bosan.
Tapi ia bisa di posisinya sekarang karena usahanya sendiri. Ia tak mau menerima ia bisa berhasil semata karena memanfaatkan Gill.
Gill bukanlah apa-apa.
****
"Kau sudah menemukannya?" tanya seorang pria di sambungan telepon pada Mal.
Mata itu dingin saat menatap setumpuk data dalam map di atas meja. Ia mengenakan sepotong jins usang robek-robek, duduk di sofa di ruang tamu dengan ponsel dijepit di antara bahu dan telinga.
"Ya Drew. Kau meletakkannya di meja kantorku, lupa memasukkannya ke dalam tas kerjamu pagi ini. Terlalu lelah dengan semalam?" Mal bergurau, melontarkan lelucon dingin yang disambut Drew dengan dengusan.
"Jika seseorang mendengarnya, ia akan berpikir macam-macam padahal kita hanya bermain permainan di depan televisi sampai pagi."
Tawa kecil lepas dari bibir Mal, ia tahu sindiran itu ditujukan padanya yang meminta Drew menemaninya bermain semalam suntuk karena ia sudah bosan bermain kartu, darts,atau hal lainnya. Mereka sudah berpacaran setahun, menjalani pertunangan, dan sampai saat ini, Mal masih belum mengijinkan Drew untuk melangkah lebih jauh. Tidak, tahap tiga masih jauh, setidaknya, sampai mereka menikah, dan kecuali pernikahan itu dilangsungkan besok, Drew masih harus menunggu lama.
"Aw, jangan marah sayang,"balas Mal, mencoba membuat prianya tidak merajuk lebih jauh. Tapi nadanya memerintah.
"Tidak. Aku tidak marah sayangku. Aku mengerti kau belum siap." Drew membalas, tak sadar pada nada dingin yang ditunjukkan tunangannya.
Sejenak, keheningan mengisi ruangan.
"Sampai ketemu nanti malam. Aku mencintaimu,"kata Mal mulai merasa mual dengan pembahasan yang mereka lakukan.
"Semoga malam ini aku tidak ada lembur. Aku juga mencintaimu. Dah."
"Dah." Ponselnya dilempar sembarangan ke atas meja, dihembuskannya napas lelahsampai sebuah amplop menarik perhatiannya.
Saat di buka, ia melihat bahwa isinya adalah album pesta pertunangannya beberapa minggu lalu. Ia nyaris muntah mengingat kepalsuan di sana hingga sebuah foto mengejutkannya. Ia dan Drew difoto bersama di depan gedung tempat mereka membuat pesta. Seorang pria membelakangi mereka, berambut cokelat panjang, namun wajahnya menghadap ke arah mereka dan tersenyum dari balik bahunya.
Gill.
Bel apartemennya berdering nyaring, membuat dia terperanjat dan menegang di tempat. Detak jantungnya berpacu cepat, euforia dan adrenalin menelannya bulat-bulat. Dengan tenang mengambil sebilah pisau tiga puluh senti dan mengintip dari lubang intai siapa yang datang. Tapi tak seorang pun berada di koridor.
Di bawah kaki, terselip di celah pintu, sebuah kertas dengan tulisan berwarna merah mirip darah.
Kaburlah selagi bisa, Mal sayang.
Kaburlah hingga ke ujung bumi atau lubang neraka terdalam.
Aku akan tetap dapat menemukanmu.
Dan ketika kita berjumpa, aku tak akan pernah melepaskanmu.
Aku akan mencintaimu dengan caraku.
Akan kubuat kau hanya meneriakkan dua kata.
Gill.
Dan, tolong.
Mal berjalan ke meja kerjanya dan meletakkan kertas itu di meja. Tangan terangkat membawa pisau, lalu dengan cepat menghujam kertas itu dan menusuk hingga menembus meja. Hal itu dilakukan hingga beberapa kali. Terus menerus dan konstan. Membuat siapapun yang tak sengaja melihat, akan berpikir ia tengah membalaskan dendam pada seonggok kertas.
Tapi jika ada satu orang yang melihat ekspresi di wajah Mal. Niscaya mereka akan segera mengambil kesimpulan lain.
Gadis itu tersenyum penuh sukacita.
***
Mal mulai bangun dengan bekas luka dan ruam-ruam merah nyaris di sekujur tubuh. Saat ia melihatnya di kamar mandi, ruam-ruam itu ada di sekitar leher, bahu, dada, punggung, dan pinggul. Itu tidak mencakup yang berada di bagian dalam pahanya. Pemahaman itu datang secepat kilat.
Bukti yang memverivikasi hipotesanya datang di keesokan pagi. Tumpukan foto di atas nakas, di samping sebuah nampan berisi segelas kopi dan roti isi yang telurnya setengah matang—persis dengan yang selalu disiapkan seseorang untuknya setiap pagi.
Di dalam foto-foto itu nampak ia berada di berbagai tempat dan pose serta diambil dari belasan sudut berbeda.
Di studio foto.
Di ruang tamu.
Di dapur.
Di kamar tidur.
Di kamar mandi.
Hal yang lebih memuakkan adalah ketika ia dipotret dalam berbagai posisi tidur. Tanpa busana.
Telanjang seperti bayi baru lahir.
Foto-foto terbaru menampakkan hal yang membuat orang lain mual dan ingin muntah, berbeda dengan Mal.
Mal diikat. Dengan tali tambang berselubung pita berwarna merah. Posenya beragam. Mulutnya disumpal dengan kain satin berwarna sama.
Di belakang foto tampak tulisan yang Mal kenali.
Foto ia di pesta pertunangannya:
Aku ingin mencekikmu dan mematahkan tangan yang memeluk pinggangmu itu. Bolehkah?
Foto di studionya:
Kenapa matamu tertuju pada orang lain dan bukannya aku? Ijinkan aku jadi satu-satunya, sayangku Mal.
Foto di kamar tidurnya:
Aku merindukan belaian cintamu. Lempar aku dengan sepatu tutu-mu.
Pukul aku dengan kameramu sampai lensanya pecah.
Buat aku berdarah, Mal.
Sebelum aku yang membuatmu basah kuyup dalam warna merah.
Di foto lainnya, ketika ia terlelap:
Siapa yang ada dalam mimpimu? Dia? Aku? Atau kita berdua? Dalam mimpiku, aku sedang memotong-motong jari kekasihmu. Dia terus menjeritkan namamu, membuatku kesal. Jadi, aku mencabut lidahnya.
Di foto terakhir yang Mal lihat, ketika ia terikat di kepala tempat tidur, terentang, pasrah dan tak berdaya:
Aku kehilangan kesabaranku, Mal.
Jadilah milikku selamanya.
Hanya milikku.
****
"Bukankah aku sudah bilang aku mulai kehabisan kesabaranku?" tanya pria itu dengan raut wajah serius. Ia nampak serius bertanya, ekspresinya heran.
Ini seharusnya pagi yang tenang setelah Drew berangkat menuju bandara untuk penerbangan paling pagi demi menuntaskan perjalanan bisnisnnya.
Tapi Drew tak pernah sampai bandara.
Drew ada di kamar mandi apartemen Mal.Terpotong-potong.
Air memenuhi bak mandi bercampur dengan darah Drew.
"Apa itu artinya kurang jelas? Aku tak masalah kau bermain-main dengan banyak pria, asal itu tak serius."
Mal menatap kosong ke arah kamar mandinya yang kini berantakan. Keadaannya sudah seperti itu sejak ia bangun tidur. Darah terciprat ke mana-mana. Drew berakhir menggenaskan di tempat eksekusi tersebut. Seolah hewan tenak yang mengalami penjagalan. Gill ikut menonton hasil kerjanya dari balik tubuh Mal.
Tak tampak emosi marah di wajahnya, yang ada hanya kehampaan.
"Kau marah, Malisha?"
Mal membalikkan badan ke arah meja rias diikuti Gill yang tampak tenang. Dia mengambil sebuah pisau lipat dari laci. "Seharusnya kau tidak kembali setelah kusuruh, anjing bodoh." Mal tersenyum sendu dan muram.
Tangannya mengambil sebuah pipa rokok panjang dan memberi api ke dalam lubang di ujungnya. Dia menghisap, lama dan dalam. "Kini aku terpaksa menguncimu di ruangan ini, tak pernah membiarkanmu pergi." Dihembuskannya asap panjang sambil bicara.
Mal mengambil langkah ke arah Gill dengan pisau di tangan kanan dan pipa di tangan kiri. "Buka mulutmu, Gill."
Gill membuka mulut, tidak mengantisipasi tindakan yang akan dilakukan Mal.
Senyum Mal seperti milik dewi di mata Gill. Bahkan setelah Mal mengetukkan ujung pipanya di bibir Gill dan menjatuhkan abu serta bara panas ke dalamnya. Gill kesakitan tapi tidak mengambil langkah apapun.
"Dengan begini, kau tak akan bisa berteriak."
Lalu Mal menjatuhkan pipanya dan menyayat kemeja putih yang dipakai Gill, darah merembes keuar dan Gill tetap berdiam diri. Tangan kiri Mal melepas kemeja itu hingga akhirnya Gill separuh telanjang di depannya. Didorongnya pria itu hingga jatuh ke kasur dan tidur terlentang di bawahnya. Mal mengambil sebuah pemantik api zippo dari atas nakas dan memanaskan pisau lipatnya hingga merah membara.
"Seharusnya waktu kusuruh pergi, kau pergi. Tapi aku lebih ingin kau membentakku, menyuruhku mengenyahkan pria manja itu dan mengancam akan membunuhku alih-alih bersikap seperti anjing penurut." Mal merangkak di tempat tidur menddekati Gill dan duduk di atas perut pria yang nampak begitu puas."Untung saja kau mengambil tindakan, walau agak terlambat."
Satu tangannya menumpu di ujung dada Gill, sementara yang satu mengarahkan pisaunya; menorehkan ujungnya yang panas ke kulit Gill.
"Eemh-ahf."
Maaf.
Mal mengerti . Lalu ia mencium bibir Gill untuk pertama kalinya seraya menggoreskan pisaunya lebih dalam.
"Kumaafkan kau. Jika kau tak bisa hidup tanpaku, tusuk jantungmu untukku, Gill."
Gill segera merebut pisau itu dari Mal dan ketika ia hendak menusukkan pisau itu ke dirinya sendiri, Mal mengghentikannya.
"Jika aku melihat kau berpikir untuk melepaskanku lagi, aku akan membunuh diriku sendiri. Kau mengerti, Gill?"
"Yha," bisik Gill dengan lidah yang penuh darah.
Lalu Mal menggenggam tangan Gill, turut membantu pria itu menu
usuk jantungnya.
Tulisan di dada Gill:
Gill milik Mal untuk selamanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top