# C H A P T E R 9

#Chapter 9
Truth Issue

Dalam minimnya pencahayaan dari ruang seluas lima meter dengan berbagai pernak-pernik khas anak perempuan, didominasi oleh warna salem yang berkesan tenang sekaligus feminin dan anggun di saat bersamaan. Berbekal dengan persenjataan dari amunisi guna mewujudkan impiannya. Bella mesti terjaga semalam suntuk demi menamatkan target tulisan.

Tangan yang lentik mungil kian bergerak lincah di atas papan keyboard yang menimbulkan bunyi 'tik' di tiap huruf yang ditekan. Untungnya, kegaduhan dalam mengetik, tidak sampai pada telinga orang tua Bella yang menganggap hobi sekaligus cita-cita Bella sebagai masa depan yang tidak dapat menjamin apa pun. Suram. Dan, tidak ada pengharapan kesejahteraan ekonomi di dalamnya.

Ketika bayangan percakapan orang tua Bella yang menghina mimpinya, ritme ketikan Bella jadi meningkat. Dalam tulisan yang dipikirkan tanpa edit itu, kian banyak rangkaian kata yang berhasil di ketik. Mereka seakan ikut meramaikan rasa sesak yang dialami Bella.

Meski waktu sudah menunjukkan pukul tengah dini hari, rasa kantuk sama sekali belum menyerang indranya. “Aghh, sial! Kalau gini terus, aku jadi gadang lagi!” makinya. Kemudian Bella menempelkan kepalanya di atas meja. Matanya berkedip tak lama, berusaha memejamkan diri. Namun, lagi-lagi gagal.

Bella jadi misuh-misuh sendiri. Bukan keinginannya jika dia tidur di atas waktu 11 malam, tetapi tubuh serta pikirannya yang enggan untuk diajak kerja sama. Kemudian, terdengar beberapa kali bunyi beep yang mengedip-ngedipkan ponsel Bella yang di simpan di samping laptop. Buru-buru dia membaca pesan yang baru masuk.

Pintu balkon kamar jangan di kunci oke.

Urgent!

Siapin aja kotak P3K.

Nggak boleh kaget juga ntar. Hehe.

Pesan beruntun dari Abi yang tiba-tiba menghubungi Bella di waktu tidak manusiawi membuat glabelanya berkerut. Abi memang kerap menghubunginya dengan pesan tidak bermutu, tetapi itu hanya dilakukan ketika Abi mengetahui kalau Bella tidak akan mengecek ponselnya di atas jam 10 malam.

Apalagi isi pesan Abi terdengar ambigu. Jika itu hanya masalah Abi menerobos ke balkon kamarnya, itu menjadi hal lumrah. Laki-laki semodelan Abi memang suka cari masalah lompat sana-lompat sini sejak SMP dulu. Tapi, kotak P3K? Pikiran Bella menerawang. Memikirkan kalau Abi membawa pulang korban kecelakaan yang malah dibawanya ke rumah Bella dan bukannya ke rumah sakit, seketika menambah kepeningan pada kepalanya.

“Ah, bodo amat! Ambil aja dulu.” Bella berjalan mengendap-endap dalam rumahnya yang sudah sepi. Orang tua serta kedua kakaknya tampak sudah terlelap. Wajar saja, jam-jam seperti ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang kurang normal sepertinya. Errr.

Setelah mendapatkan apa yang dicari. Bella mendatangi kamarnya. Begitu sampai di daun pintu, tubuhnya refleks hampir oleng! Tanpa tahu malu, laki-laki sepermainannya itu malah duduk selonjoran dekat jendela balkon. Meski pencahayaan di kamar Bella redup, pantulan wajah lebam Abi membuat kesimpulan dalam benak Bella kalau laki-laki itu kena perundungan lagi.

“Kamu!” pekik Bella. Dia menarik dagu Abi supaya berhadapan dengannya.

Sudut bibir Abi luka beberapa senti. Kemudian pipi di bawah matanya kena goresan sesuatu yang saat ini sudah mengering sebagian. Lalu ada beberapa lebam keunguan dekat pelipis dan kedua rahangnya. Amarah Bella sontak jadi murka. “Sudah aku bilang berapa kali, sih, Bi. Kalau ada yang nindas kamu itu, lawan! Jangan diem dan ngebiarin mereka ngelunjak tahu!”

Abi sedari tadi diam. Dia menatap lekat wajah kekhawatiran Bella. Tampak jelas kalau air muka itu yang Abi rindukan berbulan-bulan setelah perpisahan mereka. “Yah, kamu benar,  Bell, jangan biarin mereka nindas seenaknya,” ujar Abi yang terdengar seperti gumaman daripada perkataan orang yang sudah introspeksi diri.

Gemas dengan kelakuan Abi yang seperti menganggap remeh kecemasannya, Bella pun mengobati Abi dengan menekan kuat-kuat pada salah satu bagian lebam hingga membuat Abi meringis karenanya.

“Nanti lagi buat lukanya tambah banyak aja. Nanggung amat cuma segini.” Bella menyindir Abi yang malah tersenyum-senyum diomeli olehnya. Kesal karena dari jarak sedekat ini, aroma maskulin Abi dapat terendus dengan baik, Bella tidak paham kenapa bagian denyut jantungnya mendadak jadi berisik.

Bella berusaha menutupi kegugupan yang tiba-tiba menderanya. “Orang-orang kalau luka, tuh, datengnya ke klinik, rumah sakit atau apalah nama faskesnya,” omel Bella lagi.

“Daripada jauh-jauh minta tolong ke orang yang nggak dikenal, mendingan juga ke kamu,” sahut Abi yang tampak tidak tertarik dengan macam pengobatan mana pun. “Selagi ada kamu, kenapa mesti orang lain?”

Guyonan Abi yang disertai seulas senyum menawan, meninggalkan jejak pada nalar Bella supaya merekam memori tersebut baik-baik. Lagi pula, tidak biasanya Abi memandang lembut pada Bella dengan intonasi suara yang rendah pula. Wow!

“Beres!” Bella membuang napas kelegaan. Mengobati luka ringan pasca perkelahian seperti ini bukanlah hal yang sulit. Namun, dia mencemaskan luka lain yang tidak terlihat oleh matanya. Dia pun ragu-ragu untuk menyuarakan kekhawatirannya lagi.

“Mau mastiin ada luka lain, Bell?” tebak Abi. Dia sering sekali menggoda Bella sekarang ini. “Perlu aku buka pakaian biar kamu bisa meriksanya?”

Senyuman menyeringai milik Abi bagai sengatan juta volt yang mengenai pusat pompa darahnya. Bella mendelik galak pada Abi untuk menutupi teriakan pada nuraninya yang bergemuruh begitu hebat.

“Nggak usah! Aku nggak peduli.” Bella bersedekap sambil memalingkan muka. “Udahlah pulang sono, udah malem juga,” usirnya.

Abi terkekeh pelan karena reaksi Bella. Dia juga sempat melirik meja belajar gadis setinggi dagunya. Tampak sebuah laptop menyala dengan riwayat tulisan yang sedang diketik Bella. Dia pun ikut berbangga dalam hati kalau Bella masih memperjuangkan impiannya.

Tidak seperti Abi yang akan kelimpungan ketika ditanyai tentang cita-citanya. Abi yakin penuh, kalau Bella yang ditanyai hal serupa, gadis itu pasti dengan percaya dirinya mampu menjabarkan impian masa depannya kelak.

Abi beranjak dari duduknya. Dia menepuk-nepuk pantatnya, membersihkan sisa debu yang bisa saja mengotori celananya. Kemudian tanpa sungkan, dia berjalan ke arah cermin. Pemandangan mukanya yang jauh lebih baik setelah diobati pun meninggalkan senyum lega. Abi berbalik dan mengucapkan rasa terima kasihnya pada Bella.

Sebelum meninggalkan balkon tetangganya, Abi berpamitan dengan Bella seraya mengacak-acak rambut Bella lebih dulu. “Aku pulang dulu. Kamu buruan tidur. Nggak baik gadang mulu.”

Lalu setelah mengatakan perkataan yang sukses mempropagandakan hati Bella, laki-laki itu menuruni balkon dengan pelantara pohon sebagai medianya. Kemudian Abi lekas melompat dari pohon dan sampai dengan selamat di seberang rumah Bella.

Laki-laki itu membalikkan tubuhnya saat telah sampai di halaman rumahnya. Abi menengadahkan kepalanya dan melambaikan tangan kepada Bella.

Tangan yang dulunya memiliki ukuran yang sama besar dengan Bella, tetapi kini sudah bisa menutupi sepenuhnya kepalan tangan Bella, terlihat mendominasi ketika melambaikan salam perpisahan. Tentu saja Bella membalas lambaian tangan tersebut layaknya seorang kawan.

Ah, Bella ingat betul sekarang ini hubungan mereka. Sebelumnya, Bella hampir saja melupakan kalau mereka hanyalah sepasang sahabat. Tidak bisa dan tidak akan ada hubungan romansa di antara ikatan yang mereka bangun sejak kecil. Bella membuang napas cukup panjang. Kepalanya mendongak guna mengamati langit yang tengah ramai dengan taburan bintang.

“Setidaknya kita diizinkan untuk bermimpi, walau pun tentu diizinkan untuk terjadi sesuai kehendak sendiri,” gumamnya pelan. Bella merasa miris. Rupanya selain perasaan ini, ada lagi segurat duka yang membelenggu hasrat hidupnya di masa depan kelak. Bella hanya berharap, kalau langkah yang dia ambil—meski dengan langkah terseok sekalipun—dia berharap kalau Tuhan tidak akan merenggut semua impiannya kelak. Setidaknya mau berbaik hati untuk mengabulkan satu saja, dari ribuan impian Bella. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top