# C H A P T E R 5

#Chapter 5
Bocah yang Bertransformasi

Kedapatan sosok laki-laki yang sok akrab dengan Bella, ternyata tidak berarti semuanya memburuk. Figur beserta postur tubuh yang tampak tak asing dalam sekali lihat dapat membuat Bella menyimpulkan bahwa ada benang merah yang tidak kasat mata, mengikat keduanya dalam pertalian yang karib.

Usai upacara penyambutan, mulut Bella masih bisu. Seorang laki-laki jangkung yang setia berada di samping Bella itu, sering kali menjungkirbalikkan perasaannya. Hanya karena hadir-absennya Abi sesuka hati, tidak mampu mereduksi batin Bella yang sempat terguncang akibat kepergian Abi beserta keluarga laki-laki itu yang mendadak.

•oOo•

Ketika masa pengelompokan MOS berlangsung, mereka yang berada dalam kelompok yang sama, belum tentu setelah lulus MOS, akan mendapatkan kelas yang sama pula. Pada periode ini pun nama pengelompokan MOS berasal dari nama-nama tokoh pahlawan nasional.

Sesampai Bella di kelas, masih dibuntuti oleh Abi yang jadi rekan satu kelas semasa MOS, duduk di samping Bella setelah mengusir—lagi—orang asing yang hendak berkenalan dengan Bella.

“Kamu ngapain pake usir dia segala, sih, Bi!” Akhirnya suara Bella terdengar juga.

Bibir Abi melengkung terlampau lebar, dengan mimik tak berdosanya, dia malah menjawab, “Biar bisa duduk sebangku sama kamu. Apa harus ada alasan lain?”

Bella meraup oksigen dengan serakah. Bukan hanya postur tubuh Abi saja yang bertambah tinggi. Cara Abi dalam membalas ucapan lawan bicara pun kian berubah banyak. Akhirnya Bella hanya mampu mengembuskan napas panjang tanpa bisa banyak berkeluh.

Waktu yang disediakan oleh panitia MOS usai upacara penyambutan adalah tersisa 1 jam lagi untuk murid baru dapat beristirahat. Kesempatan waktu luang itu Bella pergunakan untuk mengajak Abi ke kantin. Lagipula saat ini, Bella belum punya kenalan satu pun, daripada ketahuan ke kantin sendirian, setidaknya dia mesti ada gandengan walaupun hanya dijadikan sebagai pajangan.

Tentu saja ajakan Bella diaminkan oleh Abi. “Biar aku yang traktir!” kelakar Abi yang terdengar jemawa.

Bella menganggut-anggut. “No comment.”

•oOo•

Kantin SMA Teladan letaknya di bagian utara dekat masjid, merupakan 'Kantin Sehat', kantin satu-satunya yang sudah buka untuk menyambut rasa lapar dan dahaga murid baru. Padahal pembubaran setelah upacara penyambutan hanya berselang sepuluh menit yang lalu, tetapi Kantin Sehat sudah terisi hampir penuh, hanya menyisakan satu bangku lagi yang saling berhadapan di dekat ujung tangga menuju kantin lantai dua yang tutup.

Melihat tempat makan di Kantin Sehat hanya menyisakan satu tempat saja, Abi terburu-buru menarik tangan Bella untuk secepatnya menempati tempat makan siang mereka. Karena kecepatan langkah Abi yang melangkah lebar, serta Bella--walaupun sempat terkejut karena Abi tiba-tiba mengajaknya berlari--tetap dapat menyeimbangkan langkah Abi.

Bella dan Abi akhirnya mendapatkan tempat duduk mereka. Meski jarak pintu kantin dengan tempat mereka sekarang ini tidak begitu jauh, tetapi berburu tempat dengan orang lain yang kemungkinan besar dapat mengambilnya sebelum mereka, memacu adrenalin hingga napas mereka jadi terengah. Bella bahkan mengipasi wajahnya dengan tangan yang tidak berarti banyak, akibat rasa kepanasan.

“Aku yang pesan aja, ya?” tawar Abi. Caranya dalam bernapas, lebih normal jika dibandingkan dengan Bella yang memang jarang berolahraga.

Bella mengangguk. “Milkshake dingin sama makanannya ...,” Bella melirik pada deretan menu yang menyajikan pilihan untuk mengisi perut. “Apa ajalah, samain.” Akhirnya Bella menyerah. Terserah Abi hendak memesankan apa untuk memanjakan cacing perutnya. Bella malas berpikir.

Saat Abi pergi untuk memesankan makanan, Bella menempelkan pipinya pada meja makan. Kemudian dia memejamkan matanya barang sebentar. Namun, rasa kantuk itu kembali datang dan membuatnya menguap. Bella berdecak, “Astaga! Jam segini aja masih ngantuk,” rutuknya ketika melihat jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 10 siang.

Sebelum Bella benar-benar tertidur karena menunggu jatah makan siangnya, Abi sudah datang dengan nampan berisi dua milkshake dingin dan dua porsi nasi goreng. Mata Bella seketika jadi berbinar cerah, kantuknya mendadak jadi lenyap. Apalagi penyebabnya adalah empat buah bolu putri ayu!

Kemarahan yang awalnya datang sewaktu pertama kali menjumpai Abi, setelah satu setengah tahun perpisahan mereka, seolah tergantikan dengan rasa haru karena Abi mampu mengingat camilan kesukaannya.

Berasa disogok pake makanan. Murahan banget, nggak, sih?

Menyingkirkan pemikiran konyolnya, Bella menyantap makan siangnya dengan hikmat. Sedangkan Abi, diam-diam menikmati cara Bella dalam makan yang tidak tanggung-tanggung.

Sikapnya masih sama rupanya. Seulas senyum pun terbit di bibir Abi. Dia tidak dapat menyembunyikan ekspresi bahagia dari wajahnya.

Kelakuan Abi tertangkap basah oleh Bella. “Ngapain lihatin orang makan? Risih tahu!” ketus Bella.

“Aku ngerasa udah kenyang meski cuma liatin kamu makan,” balas Abi.

“Jadi maksud kamu, porsi makan aku banyak, gitu? Sampe-sampe bikin kamu kenyang segala. Iya?” Bella mendengkus kesal. Perkataan Abi hampir saja mengurangi selera makannya.

“Nggak gitu, Bell,” dalih Abi, “buktinya kamu sekarang ini makin sehat. Makin besar, 'kan?”

Aggh! Abi benar-benar, ya!  Bella segera menyilangkan peralatan makannya. Untung saja makan siangnya sudah semua masuk perut. Dia pun menyeruput milkshake dengan ganas. Matanya berkilat tajam, memandangi Abi. Setelah itu, dia menyimpan minumannya dengan sedikit entakan, hingga sisa es batu dalam minuman itu berloncat-locatan.

“Bi, kamu tahu, nggak?” tanya Bella dengan muka sinis.

Abi yang dipandangi demikian, hanya bersikap tenang. Seolah wajar melihat Bella yang gampang marah. Dia membalasnya dengan kalem, “Apa?”

“Kamu itu ngeselin, tahu! Udah gitu, datang dan pergi mirip kayak Jangkung! Datang tak berjemput, pulang tak berhantar.” Bella mengucapkannya dengan satu tarikan napas, kemudian kembali melanjutkan. “Belum lagi penampilan dan sikapmu yang berubah kayak film Transformers aja. Jangan-jangan kamu lagi syuting di sana, ya? Terus  ...!”

“Bell, minum dulu.” Abi memberikan milkshake-nya yang belum diminum kepada Bella.

Tentu saja Bella menerima minuman itu dengan suka hati. “Makasih, tapi inget, lho! Aku belum selesai bicara.”

Abi mengangguk. Dia membiarkan Bella kembali mengoceh, sekaligus mengeluh tentangnya. Selagi tidak dipukuli, menurutnya lebih baik mendengarkan ocehan Bella saja.

Tapi nggak semua masalah bisa diselesaikan dengan adu fisik, dan kesalahpahaman pun bisa berawal dari pembicaraan yang klasik, 'kan?

“Kamu selama ini kemana aja, sih? Kenapa nggak kabarin aku? Udah berapa lama di Yogya? Terus kamu sekarang tinggalnya di mana? Nggak kangen, ya, sama aku? Atau, gimana cara kamu bisa tahu itu aku, dan kenapa bisa kita satu sekolah?” cerocos Bella yang akhirnya berhenti dengan napas pengap-pengap.

Abi terperangah, dia mengedip sebentar. “Aku bingung harus jawab yang mana dulu.”

“Abiii!” Bella berteriak gemas. “Udahlah lupain aja!” Bella menandaskan minumannya dengan sekali seruput. Dia melipatkan tangan di atas meja dan menempelkan wajah di atasnya. Sekarang ini dia malas berbicara dengan Abi.

Abi tertawa pelan, dia mengusap kepala Bella hingga mengacaukan kerapian rambut gadis itu. Sebelum sang empu kembali mengamuk, Abi berujar dengan nada lembut, “Ternyata mulut kamu masih berfungsi dengan baik, ya!” Abi menertawakan tingkah Bella yang menggemaskan di matanya.
“Kangen ke aku itu emang berat dan repot, tapi aku nggak nyangka bakalan bikin pikiranmu jadi lemot.”

Bella yang Abi kenal dulu, lebih galak dan penampilannya pun cenderung mirip laki-laki. Namun, lihatlah sekarang ini. Selain dirinya, ternyata Bella juga sudah berubah banyak. Memang betul, bukan, kalau waktu itu dapat mengubah seseorang? Harus Abi akui jika tampilan feminin Bella sekarang ini sempat membuatnya syok. Terlebih pula, Abi bahkan tidak menyangka jika mereka akan berada dalam satu lingkup sekolahan seperti dulu. Kali ini bahkan tanpa perencanaan sama sekali, seakan semesta membantu mereka yang telah berpisah, untuk kembali bertemu di waktu yang tepat.

Sewaktu kejadian di aula, Abi mencoba peruntungannya dengan mengerjai gadis bernama Cala. Dia menaruh cicak mainan ke tengkuk gadis muda itu, karena sedari tadi terus saja berisik dengan temannya, tetapi tidak ditegur oleh panitia yang berbaris di belakang mereka. Namun, siapa sangka jika Cala punya phobia berat terhadap cicak dan reaksinya pun di luar perkiraan Abi.

Meski begitu, Abi tetap menantikan respon dari Bella. Melalui ekor matanya, dia melirik Bella yang hanya diam menonton. Dalam hati pun, Abi meyakini kalau Bella memang tidak tahu betul kepindahannya ke Yogyakarta.

Apa gadis itu nggak sadar kalau rumah tetangganya terisi kembali?

Setelah mengamati Bella cukup lama, Abi berinisiatif mengganggunya, dan itu  ... menyebalkan! Ekspresi Bella memang mudah terbaca layaknya halaman pada buku yang terbuka dan apa yang dipikirkannya, seakan tertulis jelas pada kening.

“Makanya, lain kali jangan suka main di dalam kamar mulu. Sampai-sampai rumah tetangga aja nggak diperhatiin.”

Bella mengangkat kepalanya guna menatap Abi. “Ya nggak segitunya kali!”

Selama ini Bella sudah bertekad, tidak membuang waktunya untuk menunggu sesuatu yang belum tentu pasti datang kembali. Sebisa mungkin, Bella gunakan waktunya untuk menyibukkan diri dan menjauhkan dirinya dari tempat-tempat yang memicu ingatan tentang Abi.

“Udahlah, jangan bahas masa lalu. Udah jadi masa yang berlalu,” putus Bella agar topik pembicaraan mereka segera dihentikan.

Tidak baik juga memaksakan seseorang sesuai dengan kehendak kita. Lagi pula, Bella percaya kalau Abi pasti akan bercerita padanya tentang alasan keluarga Abi mendadak pindah ke ibu kota dan kini kembali lagi ke Yogja. Bagi Bella, sejauh ini rasa khawatirnya dapat dia atasi sendiri.

Yah, selama Abi tidak mengecewakannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top