# C H A P T E R 2

#Chapter 2
Bocil sok Berani vs Anak Dakjal

(Desember, 2014)

Ruang makan di kediaman Atmaja kentara tegang. Padahal masih awal hari, bahkan mentari pun masih mampu menyibak dibalik celah jendela, menyusupi ruang-ruang dan menyinari tempat dengan penerangan alami dari bintang terbesar di alam semesta. Tak ayal, kicauan burung-burung yang kerap didengar dari sebelah rumah pun, mendadak senyap jika berada di lingkungan tersebut.

Semesta seakan mendukung ketegangan yang menyelimuti kelima nyawa manusia yang sibuk dengan aktivitas masing-masing, tetapi tidak melupakan kegiatan yang rutin dilakukan pada waktu demikian: sarapan bersama. Sosok kepala keluarga dengan tubuh berbahu lebar yang tampak masih kekar di usia menjelang setengah abad, kian sibuk dengan sarapan yang disajikan oleh sang istri. Namun, sesekali matanya melirik sekilas pada tab yang menampilkan deretan tanggung jawabnya.

Sementara pengatur keuangan di rumah itu, memastikan tiap anggota keluarganya dapat menikmati sarapan yang dibuatnya dengan kepayahan pagi-pagi buta tadi. Si sulung Atmaja--Adyatama Atmaja--Tama, paling awal menyelesaikan sarapannya dengan rapi, tak menyisakan jejak makanan pada piringnya. Ia menyampingkan sebelah tali ransel pada bahu, setelah mengelap sudut bibirnya dengan serbet, Tama menyalimi sosok teladan di keluarganya, Rajendra Atmaja.

Aku berangkat, Pa!”

Usai berpamitan dengan sang ayah, Tama pun tak lupa dengan membubuhkan kecupan kilat pada ibunya--Yunita--dan melambaikan tangan kepada kedua adiknya seraya membalikkan badan.

Gerakan Alice Atmaja, yang mendekap paper bag  berisikan berkas penelitiannya, menarik perhatian bungsu Atmaja, Mabella Atmaja. “Aku juga.”

Alice tampak buru-buru ketika hendak berpamitan, hampir saja gadis usia awal 20-an itu terkena sempotan dari sang ayah karena menunjukkan sikap yang berantakan, sembrono.

“Hati-hati, Sayang!” Yunita berkata dengan intonasi tinggi, takut-takut tidak terdengar oleh anak tengahnya itu. Ia memerhatikan langkah Alice yang berusaha mengejar langkah Tama yang sudah berjalan mendahuluinya.

Kemudian, perhatian Yunita teralihkan pada si bungsu. “Kamu nggak buru-buru juga, ‘kan, Bell? Mau nambah lagi sarapannya?” Yunita yang hendak menambahkan lauk-pauk untuk Bella pun, gerakan tangannya mesti membeku di udara akibat ucapan suaminya.

“Kamu mau bikin anak kita kelebihan berat badan?”

Kalimat ironi itu menohok sisi hati keibuan Yunita. Padahal, jika diperhatikan sekilas, sosok Bella memiliki tubuh yang terbilang sehat dan tidak cocok untuk disandingkan dengan perkataan ‘kelebihan berat badan'. Namun, mimik Rajendra yang  tak ramah pun akhirnya mengalahkan niatan Yunita. Ia menatap putrinya dengan prihatin.

“Nggak apa, Ma. Aku udah selesai sarapan, kok.” Bella menyilangkan sendok-garfu seperti piring-piring kakaknya. Ia pun menoleh pada sang ayah. “Kalau hari ini, boleh aku berangkat bareng Papa, ya?” ungkapnya penuh harap.

Yunita berharap cemas. Pasalnya keputusan Rajendra selalu statis, tidak ada ubahnya membuat sosok itu berganti kebijakan. Mimik yang ditunjukkan Rajendra dengan kening berkerut dan pandangan yang menyipit tajam pada putri bungsunya, mewanti-wanti Yunita untuk siaga. Ia segera menyela, sebelum ucapan sinis dari suaminya terlontarkan. “Hari ini sama Mama lagi, ya. Papa lagi ada banyak kerjaan. Nanti lagi, ya, Sayang.”

Yunita memberikan pengertian, meski tersirat ekspresi kecewa dari Bella dan pandangan Rajendra yang menunjukkan ketidaksetujuan.

“Ma!” peringat Renjendra yang diabaikan oleh Yunita. Wanita itu malah membantu Bella berkemas dan bersiap keluar rumah setelah berpamitan dengan suaminya.

Namun, saat langkah mungil Bella sudah mencapai halaman rumah, siku Yunita sudah lebih dulu dicengkeram oleh Rajendra. Pandangan pria itu menyorot tajam. “Camkan berkataanku ini, Yunita.” Suara bariton penuh nada penegasan di tiap katanya, mengintimidasi wanita yang sudah sepuluh tahun ini bersamanya. “Lain kali jangan tunjukkan sikap sok berani itu di hadapanku. Apalagi di depan anak itu!”

Rajendra menunjuk pada pintu rumah mereka yang terbuka, terlihat kalau Bella tengah berjongkok dan membetulkan sepatunya. Gerakan melepaskan diri dari Yunita pun berakhir sia-sia.

“Kalian itu cuma harus nurut dan jangan berani-beraninya ngambil keputusan sebelum persetujuanku. Paham!”

Meski dalam hati Yunita mengumpati sikap suaminya, tetapi kenyataan bahwa perasaan kasih itu membalut jiwanya, akhirnya yang dapat Yunita lakukan hanyalah mengiakan perkataan Rajendra. Lantas, setelah mendapat ancaman sedemikian rupa--yang sudah seperti makanan keseharian ketika tidak mengikuti tabiat Rajendra--Yunita baru dapat bernapas lega saat kakinya menginjak tanah di luar rumah.

Rasanya, tali yang selama ini membelenggu leher Yunita turut terlepas bersamaan dengan menjauhnya dia dari hunian yang sering kali dipandang bak surga oleh sebagian orang. Namun, tak ayal pula. Tempat yang seharusnya menjadi ruang untuk ‘berpulang', justru menjadi sarang neraka yang menyesakkan jika berlama-lama berada di dalamnya.

•oOo•

Jika saja punya hak suara untuk memilih tempatnya menimba ilmu, Bella pasti akan memilih SMP 1 Kasihan yang letaknya hanya sekitar lima menit kalau ditempuh dengan jalan kaki. Namun, bukan haknya untuk memilih. Sebab yang diberikan pada Bella adalah ‘keputusan’ bukannya ‘pilihan’.

Orang tua Bella menempatkan Bella di SMP Negeri 1 Yogyakarta yang dipandang menjadi salah satu sekolah unggulan di Yogyakarta. Jarak tempuh dari rumahnya hingga sekolah tersebut, harus memakan waktu tempuh 22 menit, hampir-hampir setengah jam jika tidak macet atau terkendala di jalan.

Papan nama sekolah Bella selama dua tahun belakangan ini terpampang jelas di bahu Jalan Cik Di Tiro. Setelah menepikan mobil di sisi jalan, baru lah Bella keluar dari mobil. Dia sudah mengucapkan salam pamit pada ibunya saat di dalam mobil.

Bersamaan iringan orang-orang yang sebaya dengan Bella, dia pun melangkahkan kakinya menuju gerbang sekolah yang sudah ramai oleh para siswa yang memakai seragam serupa : kemeja putih yang dipadukan dengan vest biru tua dengan lambang sekolah di sebelah kiri dan rok selutut berwarna senada, menjadi tampilan para siswi di sana.

Rambut sebahu yang diikat sebagian, terlihat cocok dengan perangai Bella pagi itu. Mata yang bulat itu menoleh ke samping, saat sosok yang memiliki tinggi hampir sejajar dengannya, tengah dirundung oleh kawanan laki-laki yang berperawakan lebih kekar darinya.


Pasti mereka kakak kelas, pikir Bella.

Buru-buru kaki mungil itu mengantarkan Bella melangkah kepada orang yang amat dikenalinya. Meski tubuh Bella tidak setangguh orang-orang yang tengah berkerumun itu--dan parahnya lagi orang-orang yang melintas hanya sebatas jadi penonton dan enggan untuk menolong--Bella yang muak pun lantas menarik salah satu pelaku perundungan dengan mendorong tubuh itu ke samping, mengenai kawanannya yang jadi protes, saling menyalahkan.

Dalam memanfaatkan situasi, Bella pun membantu Abi yang pakaiannya sudah kusut. Laki-laki itu bagaikan tidak punya harga diri dan membiarkan orang-orang biadab itu menindasnya sampai terjatuh di tanah dengan buku-buku berceceran dari tas Abi.

“Kebiasaan!” omel Bella.

Abi tak berkata banyak. Akhirnya Bella ikut turun membantu Abi merapikan buku-buku dan alat tulis yang berantakan di atas tanah berumput itu, untuk dimasukkan ke ransel.

Namun, tangan seseorang lebih dulu menarik bahu Bella hingga membuatnya jadi terjungkal.

“Apa-apaan, sih!” Mata Bella menyorot tajam pada orang yang tadi tubuhnya Bella dorong. Kini rupanya laki-laki itu punya niatan balas dendam. Ck, menyebalkan! Jika saja bukan karena kawan!

Bukannya merasa takut karena lawan pertengkarannya adalah kakak kelas, Bella hanya tidak ingin membiarkan Abi ditindas sekenanya. Dia pun mengangkat bahu dan muka tinggi-tinggi hingga beradu pandang dengan salah satu antek biang masalah. “Apa? Mau aku laporin ke BK? Nggak takut kena D.O. apa?” tantangnya dengan berani.

“Bell, udah.” Bisikan Abi sambil menatap ciut keempat laki-laki bertumbuh hampir sama: tinggi-kekar, tengah mengelilingi mereka bak predator yang menemukan mangsa yang empuk guna dinikmati kelezatannya.

Bukan namanya Bella jika segara mengiakan bujukan Abi. Para cecunguk ‘sampah siswa' ini, jika bukan dirinya yang memberantasnya, lantas siapa lagi? Tidak ada gunanya menghalo-halo orang, jika hati mereka saja tidak tergerak melihat sikap tak bermoral yang dilakukan di tempat umum seperti sekarang ini.

“Diem, deh. Bi! Lagian kamu juga salah. Masa, cuma karena titel 'anak penurut' di rumah, bisa bikin kamu jadi selemah ini, sih!” Mata Bella berkilat marah pada Abi. “Ngebiarin mereka memperlakukanmu kayak budak, emang kamu nggak keberatan apa!” omel Bella lagi.

Bella lantas mengacungkan telunjuknya di depan muka-muka para penindas. “Kamu, kamu juga. Bukannya kasih contoh yang bener ke adik kelas, malah bersikap kayak gini? Hah! Dasar kalian ini  ...!”

Plak! Bunyi tamparan itu sekan menulikan telinga Bella. Karena sebuah tamparan pula ucapan Bella jadi tersela begitu saja. Gadis itu menoleh. Rupanya sosok ketua dari kawanan perusuh adalah biang keladinya. Dia berdiri congkak dan memandang Bella dengan pandangan merendahkan, sekaligus jijik.

Senyuman yang tersungging bukanlah jenis senyum ramah, melainkan kibaran genderang peperangan secara tak kasat mata. “Kamu ternyata banyak omong juga, ya. Jangan mentang-mentang punya orang tua dosen, bisa bikin kamu songong.” Laki-laki bersedekap sambil mengunyah permen karetnya. “Bisa aja, tuh, aku ngebuat dosen itu langsung diusir dari pekerjaannya hari ini juga.”

Gawat! Profesi Mama dalam bahaya! Namun, meski sempat mencemaskan sang ibu, akan tetapi karena ajaran dari Yunita pula Bella dapat bersikap seperti sekarang: berani membela, jika itu memang diyakini benar adanya!

“Kamu yang harusnya hati-hati!” ancam Bella, seolah tidak terpengaruh dengan intimidasi dari kakak kelasnya. “Aku laporin kejadian ini ke BK biar kalian pada tahu rasa!”

Seperti Bella yang keras kepala, sosok lawannya pun serupa berkepala batu. “Terserah. Kita buktikan saja siapa yang nantinya bakalan menyesal.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top