# C H A P T E R 19
Pembicaraan mengenai penugasan esai sebagai bukti untuk para murid unjuk gigi dan merasa bangga ketika menaiki tingkatan kelas berikutnya, menjadi huru-hara di sekolah. Banyak pihak yang mengeluhkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh SMA Teladan. Namun, tak sedikit dari mereka pun yang lebih menyicil pembuatan esai dibandingkan harus ikut berdemo untuk berkeluh kesah.
Lagi pula, toh tidak ada bedanya jika mereka banyak menuntut hak, tetapi melalaikan kewajiban sebagai pelajar. Jelas, tidak sebanding.
Seperti halnya yang terjadi pada Abi. Laki-laki itu mendadak mengurung diri di kamar selama dua hari belakangan ini. Selain karena harus menuntaskan pekerjaan rumah yang dibebankan padanya tiga hari lalu, ia pun sedang melampiaskan emosinya yang gundah gulana. Bagaimana tidak kepala tidak mumet jika ia sendiri pun merasa tertekan oleh ancaman seseorang yang dilemparkan padanya.
Itu pun tepat mengenai muka! Abi frustrasi kala mengingat kejadian itu. Dia mengacak-acak rambutnya. “Seharusnya dari dulu aja, tidak perlu dekat-dekat dengan perempuan itu!” rutuknya. Karena turut kesal, tanpa sadar dia pun mencoret sembarangan buku yang hendak dia tuliskan esai yang sudah dia kerjakan sepertiganya.
Saat kesadarannya mulai pulih, Abi kembali menyesali tindakannya itu. Dia pun terpaksa harus mengulang penulisan esai yang tidak dia yakini akan selesai malam itu juga.
•oOo•
Saat melewati kantin, SMA Teladan di waktu pagi menjelang siang, tidak jauh beda dengan kerumunan di pasar. Kondisi itu memang sering terjadi berkala ketika masa-masa ujian sudah di depan mata dan kepala masing-masing murid sudah merasa kebul dengan berbagai pelajaran yang terus membanjari mereka di akhir masa pembelajaran itu.
Abi sendiri, di temani dengan ketua kelasnya yang membawa setumpukkan tugas untuk dikumpulkan di ruang guru, akhirnya menyeret paksa Abi supaya laki-laki itu sendiri yang memberikan tugasnya sekaligus meminta maaf secara langsat pada guru yang bersangkutan--yang memberikan tugas tersebut ada Abi.
“Han, kamu aja yang ngasih.” Upaya Abi dalam membujuk Raihan, sang ketua murid di kelasnya, tidak berhenti begitu saja. “Di sana suasananya bikin aku nggak bisa ngomong.”
Raihan memandang Abi dengan curiga. Laki-laki yang suka membuat biang onar itu, kini tampak seperti cacing kepanasan yang tidak bisa diam. Apalagi matanya itu melihat ke sekeliling dengan tak tenang. Ingin tertawa pun, dia rasa bukan waktu yang tepat. Dia pun memberikan semangat pada Abi lewat remasan pada bahu. “Kamu tenang aja. Anggap kayak kamu ngumpulin tugas waktu di kelas.”
“Ya nggak bisa gitu!” bantah Abi. “Jelas banget situasinya beda.”
“Memang sedikit beda.” Raihan menganggukkan kepala mafhum. Kemudian senyuman jenaka pun tak lama menghiasi wajahnya yang kental dengan skin tone seperti cappucino. “Bukannya kemarin-kemarin, aku lihat kamu berani dekatin anak baru itu, ya?”
Guyonan itu berhasil membuat Abi jadi salah tingkah. Dia memandang sinis pada Raihan. “Ternyata mulutmu tidak jauh berbeda para wanita itu.” Dia mengibaskan tangan, lalu berjalan mendahului Raihan tanpa membalikan badan. Dia kembali berucap, “Itu udah lalu. Lagian, kalau kamu ketinggalan info, dia sudah ada pegangan yang baru.”
“Ah, masa?” Godaan Raihan makin berlanjut. “Jadinya kamu cemburu dan milih nyerah gitu? Cemen!”
Abi mengangkat bahunya tak acuh. “Yah, begitulah. Sudah, sekarang katakan di meja Bu Sri itu? Aku betulan harus menyimpan tumpukkan beban ini.”
“Tumben rajin,” ejek Raihan makin menjadi.
Sementara Abi hanya mengerlingkan mata dengan jengah. Ia melangkah duluan dan ketika sampai di depan pintu, kepalanya celingukan. Setidaknya ada lima guru yang berada di ruangan yang seukuran dengan gabungan tiga kelas sekaligus. Abi meneguk salivanya dengan gugup. Jujur saja, ini pertama kalinya ia harus berhadapan dengan sosok pengajar di ruangan seluas ini, dengan setumpuk tanggung jawab yang harus ia berikan secara langsung.
“Udah masuk sana!” desak Raihan yang mendorong pelan punggungnya. Hampir saja Abi jatuh dengan tidak estetika.
Dasar anak badung!
Malas menanggapi ucapan Raihan, Abi membiarkan laki-laki itu mengunyah permen berbentuk kaki sambil menyandarkan tubuhnya di tembok dekat pintu. Ia juga sepertinya harus merasa bersyukur, karena guru yang telah memberikan tugas setinggi gunung itu, berada di salah satu dalam ruangan guru. Tepatnya, berada di tengah-tengah ruangan!
Setelah memantapkan niatnya, Abi pun melangkah pasti. Ia menyapa guru-guru yang berpapasan matanya dengan anggukan dan seulas senyum tipis. Baru lah ketika menapakkan kakinya di meja bertulisan tanda pengenal Bu Sri, jantungnya makin berdentum keras. Padahal ia hanya harus menyerahkan tumpukkan tugas itu, lalu kembali balik ke kelas.
Selesai!
Bu Sri menurunkan kacamatanya sebelum menatap Abi. “Kamu...?”
“Haidar, Bu. Dari 11 IPS 1.” Abi memperkenalkan diri dengan canggung. Ia pun merasa kalau sudut bibirnya dirasa bisa saja sobek sakin banyaknya ia tersenyum.
Kepala Bu Sri mengangguk paham. Ia mengambil alih lima buku yang diserahkan oleh Abi. Tak berselang hingga sepuluh menit berlalu, Bu Sri sudah menutup habis buku-buku tugas Abi. Ia menatap Abi dengan selidik. “Kamu betulan mengerjakan ini tanpa dibantu, kan?”
Abi mengangguk pasti. Walaupun ia merasa keringat dingin lebih dominan di bagian tengkuknya, meski ia berada di ruangan berpendingin udara. “Memangnya ... ada yang salah, ya, Bu?”
Bu Sri menggeleng. “Ah, tidak-tidak!” Ia membuka salah satu buku yang dikumpulkan oleh Abi, lalu setelah ia menemukan yang dimaksudkan, ia pun menunjukkan catatan Abi. “Kesimpulan yang kamu dapatkan ini adalah sesuatu yang baru, Haidar,” jelasnya kemudian. “Biasanya, anak-anak seusia kalian, selain memang punya keterampilan yang memumpungi, kreativitas kalian pun seperti tiada batas. ”
“Kewirausahaan tentang penjualan permen berbahan dasar wortel tanpa gula, jika nantinya terlaksana, dapat memberikan dampak positif.” Bu Sri berdecak kagum dengan rancangan Abi dalam merampungkan tugasnya di bisnis plan.
Abi sendiri jadi salah tingkah karena dipuji demikian. Ia mengusap tengkuknya sekali. Kemudian menggaruk kepalanya walau tak gatal sama sekali. “Terima kasih, Bu,” ungkapnya. “Saya akan melakukan yang terbaik jika nantinya memungkinkan, Bu,” sambung Abi kemudian. Ia menjawabnya dengan agak ragu.
Respon tersebut mengundang tanda tanya bagi Bu Sri. “Kenapa, Haidar? Bukannya kalau kita berhasil meyakinkan pihak produsen yang mau kita ajak bekerja sama dengan bisnis plan kamu ini, kemungkinan besar kesuksesan kamu dapat diraih.”
“Tapi ... Bu. Saya rasa itu tawaran yang berlebihan,” tolak Abi. “Saya yakin ada orang yang nantinya akan lebih serius dari saya dalam menunjukkan tugas seperti ini.”
Bu Sri mencoba memahami alasan Abi. Kemudian, tak lama berselang, ada suara yang menginterupsi mereka.
“Permisi, Bu.”
Sosok itu berada di hadapan Abi. Ia membolakan matanya sekilas. Ternyata seseorang yang awalnya ia bicarakan dengan Raihan barusan, kini berdiri di hadapannya setelah kontak mereka yang terputus seketika.
Semesta itu dapat sekonyol itu, ya? Mempertemukan mereka yang tidak ingin bertemu, dan menjauhkan mereka pada orang yang paling dinanti-nantikan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top