# C H A P T E R 14

#Chapter 14
Awalan yang Baru

Awal tahun ajaran baru, 2018

Kelas 11 merupakan masa-masa paling menyenangkan. Orang-orang yang menempati posisi ini adalah mereka yang seharusnya menikmati sekaligus memanfaatkan waktunya sebaik mungkin. Karena tidak ada yang dapat memutarbalikan waktu dan tidak ada yang namanya kekecewaan di tahap awal-awal, yang ada hanyalah tahap perkenalan.

Pada masa yang kompleks ini, predikat 'anggota termuda' dalam hierarki sekolah dapat terpatahkan. Titel 'calon alumni' pun belum bisa dikantongi karena mereka tidak—belum, berkutat pada dunia yang tidak luput dari ujian, apalagi ujian-ujian masa depan.

Kepergian Abi beberapa menit silam, masih membekas dalam ingatannya. Sikap Abi yang terlalu baik kepada semua orang, membuat Bella jadi waswas untuk menerjemahkan sikapnya itu. Akhirnya yang dilakukan Bella usai perpisahan kelas mereka, karena Abi berada di kelas dekat tangga lantai 2, Kelas 10-Pangeran Diponegoro, yang menjadi jembatan penghubung antara lantai satu, dua dan tiga.

Bella memandangi objek pohon sambil bertopang dagu. Sebagian dahan pohon yang ia amati sudah habis ditebang, sehingga dari lantai dua kelasnya ini, gedung IPA yang berada di seberangnya dapat terlihat jelas. Bella mengamati gedung berwarna kuning pupus dengan muka yang serius. Ia mulai membayangkan jika kehidupan yang ia jalani berada dalam jurusan tersebut.

Lantas, bagaimana bisa seorang Mabella Atmaja mendapatkan penjurusan rumpun Ilmu Sosial? Jelas, 'mandat' Papa. Saat Tama, kakak sulungnya yang berkonsentrasi pada bidang arsitektur, Alice yang menempuh jurusan impiannya, yakni kedokteran. Maka dimulailah mengorbanan yang mesti Bella lakukan demi menjalani keharmonisan keluarga, dalih Papa ketika Bella menanyakan mengapa justru Bella yang harus berkecimpung dalam bidang bisnis dan urusan manejemen yang sama sekali tidak diminatinya.

“Nanti juga kamu bakalan paham maksud Papa. Itu demi kebaikan kamu.” Hanya sepenggal kalimat tersebut yang dapat Bella ingat. Meski harus dia syukuri pula jika otaknya ternyata mampu bersahabat baik dengan pelajaran sosial.

Kelas 11-R.A. Kartini, seperti layaknya penamaan julukan kelas. Di ruangan yang lebih luas dari kelas 10, berisikan jumlah anggota siswa dan siswinya berjumlah sama banyak. Akan tetapi, ketika Bella menghitung dengan jemarinya—yang tidak mungkin salah, ternyata mereka kekurangan seorang. Hingga teman perempuannya bertotal ganjil.

Pantas saja, sejak sedari Bella duduk, belum ada yang menempati bangku di sampingnya. Bangku paling depan sebelah kanan, dekat dengan jendela-jendela dan pintu yang sengaja di buka.

Tidak membutuhkan waktu lama hingga suasana kelas menjadi hening. Apalagi jika yang mengkawal sosok misterius di belakang itu, amat menarik minat mata. Bahkan Bella yang tidak acuh pada seseorang, dapat mengenali sosoknya dalam sekali lihat.

Laki-laki berhidung bangir dengan kulit bersemu kecoklatan, tetapi tidak eksotis, kini mengajak bicara seseorang yang sedari tadi berdiri di balik punggung guru piket. Banyak huru-hara dari biang gosip, hingga kelas jadi tidak kondusif.

Usai ditenangkan oleh seorang guru piket, kelas pun menjadi lebih tenang, meski tidak menghilangkan seluruh bunyi bisik-bisik.

Bella yang berada pada jajaran pertama, mencoba mengintip sosok yang sedari tadi bersembunyi dengan ditemani oleh Aqsa! Seorang Ketos SMA Teladan yang dikabarkan berhubungan buruk dengan wanita, bahkan ada desas-desus yang menyatakan kalau Aqsa lebih menyukai terong makan terong!

Dalam sejarah keorganisasian OSIS pun, hanya sosok Aqsa yang menunjuk hampir seluruh staf intinya adalah bergender laki-laki. Sekertaris, Bendahara, hingga Wakil Ketua pun diisi oleh para lelaki. Entah mengapa, posisi perempuan hanya ditempatkan pada posisi wakil saja, bukan staf utama.

Namun, ketika wajah asing di samping Aqsa muncul di depan kelas Bella, seketika seisi ruangan mendadak hening. Bella pun secara tidak langsung menahan napasnya. Sosok yang jika digambarkan mirip seperti seorang Putri Salju dengan deskripsi yang lebih nyata, kini terpampang di depan mata. Bahkan, ia yakin pula kalau temannya, terutama yang perempuan, banyak yang mengeluh iri hati.

Rambut panjang yang dibiarkan tergerai rapi, menjuntai hingga siku tangan. Kulitnya mewakili sosok yang selama ini selalu dibayangkan seputih salju dalam film Disney kenamaan. Belum lagi bibirnya yang tipis dengan warna pinky lembut, berpadu dengan bentuk wajah love. Badannya yang hanya setinggi dagu Aqsa, membuatnya makin serasi dengan julukan 'Prince' yang Aqsa sandang.

Namun, bisik-bisik itu kembali hadir tatkala perempuan itu mengulurkan tangannya pada Aqsa—yang ternyata menyembunyikan white board mini lengkap dengan spidol hitamnya—pada perempuan tersebut.

Dari air muka yang ditampilkan Aqsa pada perempuan tersebut, jelas sekali ada sekelumit perasaan yang mudah diterka dengan hanya melihat mata Aqsa yang menatap sang perempuan seperti dunianya, hanya satu-satunya orang yang ada di depannya. Setidaknya, begitulah yang mendeskripsikan sosok Aqsa yang jarang-jarang berekspresi sedemikian.

Lalu seakan terbiasa dengan keadaan, perempuan itu cepat-cepat menuliskan sesuatu dibalik white board yang diberikan Aqsa. Baru setelah guru piket mempersilakannya untuk memperkenalkan diri. Tulisan besar-besar yang tertuang dalam white board, dibaca dalam hati.

Halo, semua! Salam kenal, ya!
Aku Keysa Rainey. Panggil aja, Key. Oke?
Mohon bantuannya, ya. Aku punya kekurangan dalam berkomunikasi, tapi aku cukup mahir untuk menyimak, kok.
Semoga kita bisa berteman.

Tulisan itu seakan berkata kalau kondisi perempuan itu—Keysa, memang memiliki kekurangan yang menegaskan kepada kita semua kalau makhluk ciptaan Tuhan, sesempurna apa pun hidup atau bahkan fisiknya, pasti terdapat cela yang membuatnya manusiawi.

Terperangah. Bingung. Dan, ragam ekspresi lain, mulai ditunjukkan secara terang-terangan pada Keysa yang masih berdiri dengan percaya diri di depan kelas. Dia diapit dengan guru piket perempuan, berhijab cappucino, yang berkata, “Baik anak-anaknya! Mohon bantuannya untuk Keysa biar bisa betah bersekolah di sini, ya!”

Koor murid berupa persetujuan pun membuat sang guru piket tersenyum bangga. Ia berbesar hati karena merasa kalau kini dirinya sudah bernilai, berjasa bagi sekolah. Lantas dia berpamitan pada Aqsa dan Keysa. Sementara sejak kepergian guru piket tersebut, Aqsa langsung mengambil alih. Mukanya kembali jadi tanpa ekspresi.

Kemanakan rupa ekspresi barusan!

Mungkin seperti itu pula reaksi yang diserukan oleh para gadis yang menatap 'lapar' pada Aqsa.

“Selama Kekey di sini, saya harap kalian membantunya, baik dalam bidang akademik, maupun non-akademik seperti sosialisasi.” Aqsa menoleh ke bekalang, guna memastikan keadaan Keysa agar baik-baik saja. Baru setelah anggukan dari empunya, Aqsa menuntun Keysa ke samping bangku Bella yang kosong.

Rupanya Bella sadar kalau teman sebangkunya ... adalah kekosongan. Ia pun berhadapan Aqsa yang menatapnya dengan wajah datar, tetapi Bella dapat menerjemahkan kalau pandangan Aqsa menyiratkan permohonan. Bella meneguk saliva dengan susah payah. “Ah, Halo, Key! Aku Bella,” sapanya dengan kikuk karena interaksi Bella dengan perempuan bernama Keysa itu.

“Ada yang  ... dapat aku bantu?” tanya Bella agak sungkan.

Seakan sudah menantikan pertanyaan yang dapat menentukan tanggung jawab baru, Aqsa menggantikan Keysa untuk berjabat tangan dengan Bella.

“Saya Aqsa. Saya nitip Kekey, oke?” Nadanya begitu lembut, menggelitik kuping Bella yang jadi mendadak bersemu malu. Belum lagi suara serak-serak basah yang terdengar dari Aqsa, makin menghipnotisnya.

Namun, kehaluan yang Bella miliki, terpaksa harus dia enyahkan. Sebab ucapan Aqsa selanjutnya membuat Bella tertampar oleh derita. Dan, patah hatinya para perempuan yang menunggu available seorang Aqsa.

“Dia perempuan yang kujaga. Jangan pernah berniatan mencelakai atau menghinanya,” ancam Aqsa sambil berbisik pada Bella. “Jika kamu tidak bisa menangani kasus Keysa nantinya, kamu dapat langsung memberitahukanku.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top