# C H A P T E R 13
#Chapter 13
Kontradiksi
Jika hubungan backsecret adalah yang terjalin antara sepasang kekasih, lalu apa jadinya jika hubungan itu berlandaskan persahabatan yang tidak direstui keluarga? Apakah penamaannya tetaplah sama? Namun, yang paling krusial adalah betulkah jika persahabatan yang terjalin antar lawan jenis adalah murni hubungan persahabatan semata? Tidak adakah unsur pencampuran dari kalimat "lebih dari sekadar" sahabat?
Sebagian orang mempercayai kalau persahabatan dengan gender yang berbeda itu adalah yang paling tidak bisa dikatakan murni pertemanan. Sebab seorang laki-laki mana yang ingin direpotkan oleh ocehan perempuan yang tiada habisnya, jika tidak ada perasaan apa pun dengannya? Lalu, mengapa perempuan begitu mempercayai laki-laki yang dianggap sahabat, sebagai tempatnya berkeluh kesah?
Perbedaan antara persahabatan dan hubungan percintaan bagi sebagian orang, dianggap setipis helai rambut yang bisa saja kita luput dalam memahaminya. Perasaan sehalus itu yang sering disalahartikan, tetapi di dalamnya mengandung makna terpendam yang sulit untuk diungkapkan.
Tidak seperti hubungan antara orang asing yang kemudian dipersatukan dalam romansa perasaan mereka, orang-orang yang terikat pada tali pertemanan yang kemudian berbunga menjadi perasaan yang melebihi makna 'sahabat', cenderung memiliki prasangka berlebihan terhadap hubungan yang hendak mereka jalani ke depan.
Kecemasan yang hanya bisa Bella tuliskan dalam buku harian. Semua perasaan yang sukar ia ungkapkan, ia curahkan dalam buku harian yang selalu ia isi menjelang waktu tidur.
“Pasti suatu hari nanti, saat aku kembali membuka halaman diary ini, ada masanya, aku akan berani bilang kalau, 'Ternyata aku dulu gini juga, ya? Geli kalau ingat'. Lalu akhirnya aku pun akan bersyukur pada hari selanjutnya karena telah berani menumpahkan segala perasaan itu di sini.”
Monolog Bella usai menulis diary menjadi penutup harinya. Malam di akhir bulan Februari itu terlihat sepi dengan penghuni langit yang menghilang ditelan awan hitam. Kemudian tak lama berselang, hujan dengan rinai yang berlomba-lomba jatuh ke bumi, menjadi melodi penghantar tidur yang menenangkan.
•oOo
Pria berbobot seperempat lebih berat massa kiloannya masih berdiri teguh di atas matras biru seukuran 10 x 10 meter yang biasa digunakan para karateka untuk sparing, berlatih tanding. Pakaian khas berwarna putih, karategi, yang kini sudah samar-samar terkotori oleh debu-debu, terlihat kontras jika disandingkan dengan pria tegi hitam dengan sabuk senada. Belum lagi tanda bergaris stripe keemasan sebanyak tiga garis, bukan lawan main seimbang bagi pemilik sabuk hitam dengan satu stripe keemasan.
Ruangan yang dipenuhi peralatan olahraga karate, seperti pakaian karate, karategi, yang menggantung dalam lemari tanpa pintu, lalu di sampingnya ada lemari yang berisikan alat perlindungan ketika pertandingan. Barisan hand protector, pelindung tangan, sejajar dengan tumpukkan Obi, atau ikat pinggang, ada yang berwarna merah, aka dan biru, ao.
Sementara groin protector yang digunakan anggota putra untuk pelindung alat fital, berada satu lemari dengan body protector putih bergaris merah, dan biru pada tiap sisinya, menggantung siap pakai dalam lemari. Dan gum shield, yang merupakan pelindung bagian mulut, memiliki tempat penyimpanan khusus dengan tiap kotak gum shield memiliki nama pemiliknya, hingga tidak tertukar ketika dipakai.
Tangan dari pria ber-tegi hitam, terulur pada Abi yang sudah berbaring terlentang di matras dengan napas yang terputus-putus.
“Hanya seperti itu kemampuanmu? Itu tidak sebanding dengan yang saya lihat tempo lalu.”
Perkataan Rajendra menimbulkan glabela Abi berkedut. Ia kemudian bangkit dan merapikan tegi. Tidak lupa juga menguatkan obi. Memorinya menerawang, tetapi nihil. Ingatan tentang Rajendra dan latihan karate-nya sama sekali tidak bersinggungan.
Namun, rupanya Rajendra bukan sejenis manusia yang punya kesabaran. Ia memasang kuda-kuda siap menyerang dengan kaki kiri berada di depan. Tangannya pun sudah siaga terkepal di depan dada sejauh satu hasta.
Abi tidak kalah ketinggalan, ia pun memasang kuda-kuda serupa. Sparing yang mereka lakukan adalah sejenis aliran karate yang lebih mengutamakan full contact kombat, atau hasil pelatihan fisik tanpa menggunakan pelindung, kecuali memakai groin protector.
Rajendra sepertinya punya niat untuk menyiksa Abi dengan dalih berlatih tanding. Tersisa seperempat jam lagi sebelum genap 2 jam permainan sparing mereka lakukan. Orang tua itu, tidak membiarkan Abi mendapatkan celah. Dengan gerakan cekatan—meski Rajendra mengaku sudah tidak lagi bermain karate semenjak 5 tahun silam—tiap gerakannya masih jelas dan tidak kaku ataupun tergesa-gesa.
Abi mencari kelemahan lewat kuda-kuda bertahan, tetapi Rajendra mengikis waktu bagi Abi agar berpikir dengan tendangan dekat telinga. Abi berhasil menghindar. Karena ingin membalas, Abi melakukan pukulan dua kali ke arah muka. Namun, lagi-lagi aksinya ditangkis oleh Rajendra menggunakan pukulan kihon, teknik atau pukulan dasar yang umum.
Kemudian Rajendra membalasnya dengan serangan berupa tendangan lutut ke muka, karena tidak sempat mengelak, Abi jadi kena pukulan lagi. Mukanya berpaling, dengan tangan mengusap dagu yang berdenyut nyeri.
“Lain kali, perhatikan kuda-kudamu. Jangan lengah dan berambisi mengalahkan lawan kalau pertahananmu mudah tergoyahkan,” nasihat Rajendra yang sedari mengamati pergerakan Abi.
Untuk anak seusia Abi, bentuk tubuh yang Abi punya terbilang cukup bugar dengan massa otot yang menonjol sebagian, menjadikan tubuh itu memiliki fisik yang kuat. Seandainya saja Abi dapat memfokuskan diri dalam melatih teknik karate atau ajaran karate, seperti Kyokushin, dia dapat menjamin kalau Abi dapat menjadi atlet karate professional.
“Sudahlah. Kita akhiri sampai di sini saja,” putus Rajendra.
Kedua laki-laki beda generasi, tetapi sama-sama memiliki ikatan dengan Bella, saling membungkuk sebagai tanda hormat. Kemudian mengucapkan kata, “Osh!” secara bersamaan dan lantang, menggema dalam ruangan yang hanya terisi oleh dua insan saja. Wajar, pelatihan karate di tempat ini, umumnya dilakukan saat weekend. Sedangkan sekarang, baru saja melewati dua hari setelah hari keramat, hari Senin.
Usai penghormatan tersebut, keduanya saling berpelukan singkat dan menepuk punggung masing-masing. Rajendra sempat membisikkan sesuatu yang membuat Abi jadi tercenung lama.
“Usahakan untuk tidak merugikan orang lain, tapi ingat betul, kalau diri sendiri pun tidak boleh dirugikan.”
Pesan dari Rajendra, berkonotasi pada banyak hal. Abi membuang napas cukup panjang. Dia segera melepas tegi dan menggantinya dengan kaus dan hoodie hitam. Sepanjang petang, ketika ia berjalan menuju daerah Malioboro, pikirannya tertuju pada banyak hal, terutama ungkapan Rajendra yang terngiang-ngiang bagai putaran kaset rusak.
Abi jadi membayangkan, jika perkataan Rajendra memang benar, hubungan yang selama ini dia jaga—dan kini mulai membaik, akan segera sirna. Mungkin lebih parah dari itu. Hubungan itu akan retak dan tidak dapat kembali dipersatukan lagi. Karena kepercayaan yang telah rusak, tidak akan pernah kembali secara utuh, seperti kesempatan pertama yang diberikan kemudian disia-siakan. Jika pun ada kesempatan kedua, tentu saja kepercayaannya tidak sekuat pada kesempatan pertama. Bagaimana pun kondisinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top