# C H A P T E R 12
#Chapter 12
Kita sahabat, kan?
Manusia tercipta dengan segala risiko atas putusan yang diambilnya. Banyak juga yang memberanikan diri untuk melangkahi batasan yang telah ditentukan. Tentu saja hal tersebut berdampak pada hukum sebab-akibat yang mesti ditanggung oleh tiap insan. Baik buruk perkara yang dikerjakan, itu akan berbuah kembali pada diri sendiri, hanya saja dalam bentuk yang tidak pernah disangka-sangka.
Bagaikan saja, Papa yang makin protektif pada putri bungsunya. Bukan berarti Bella membenci perhatian sang Papa yang dibalut apik dengan caranya, melainkan ia hanya keheranan. Sebab sudah setengah tahun berlalu sejak pasca kejadian tempo lalu—ketika ‘titah’ menjauhi Abi, tanpa aba-aba dan penjelasan duduk permasalahannya, diberitahukan pada Bella yang sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Abi.
Namun, sekuat apa pun putusan yang diambil secara sepihak, tidak akan bersambung lama. Belum lagi ada kalimat lama yang tersohor, kalau ‘Peraturan itu ada untuk dilanggar.’ Padahal, hal demikian hanyalah kamuflase untuk membenarkan sesuatu yang salah, tidak sesuai dengan aturan keluar keadilan.
“Pa, Papa bakalan kayak gini terus? Seriusan? Kemarin-kamarin aja Papa cuekin aku,” tanya Bella sekian kalinya.
Bahu jalan di seberang sekolah masih senggang. Belum banyak orang yang berlalu lalang, hingga mereka pun masih nyaman berada di mobil, membahas perkara yang belum terselesaikan sama sekali.
Rajendra beberapa kali menghirup oksigen, lalu membuangnya di detik berikutnya. Dia berpaling pada Bella. “Keputusan Papa tetap sama, Bell. Jam pulang dan berangkat, Papa yang antar.”
“Lalu Mama? Papa nggak akan mengurung Mama di rumah dengan dalih biar aku jadi nurut, ‘kan?” selidik Bella yang kian mencemaskan Yunita.
“Memangnya terlihat sekejam itu?”
Bella mengangguk mantap. Hubungannya dengan sang Papa bertambah baik. Mungkin itu yang patut dia syukuri. “Papa aja nggak sadar. Masa tiap kali aku keluar rumah, sama temen perempuan pun, aku mesti kabarin Papa tiap waktu,” Bella mengeluh dengan tidak memerhatikan waktu. “Nggak kebayang kalau aku punya pacar kayak Papa.”
“Memangnya Papa kurang apa? Buktinya Mama kamu masih setia sampai sekarang.”
Pernyataan Rajendra hanya bisa dibalas dengan senyuman paksa. Papa tidak bisa mengalah, itu kelemahannya. Rajendra memiliki tabiat tidak mau terkalahkan, terlalu berambisi dan itu sering kali melukai orang yang dicintainya tanpa disadari.
Saat tiba waktunya, Bella pun akhirnya berpamitan. Sedangkan Rajendra kembali memperingatkan Bella untuk tidak 'keluar jalur' atas peringatannya agar tidak berdekatan dengan Abi. Bella menanggapinya dengan persetujuan yang terpaksa ia lakukan.
Hasilnya? Tentu saja Bella melanggar aturan sang Papa. Ia hanya perlu bersahabat dengan Abi tanpa ketahuan Papa, ‘kan? Sesuai yang Papa minta. Jangan sampai Papa melihat kalian bersahabat lagi. Perkataan Rajendra kembali terngiang. Itu berarti sikapnya pun tidak sepenuhnya salah. Bella hanya harus menjauhkan, sejauh-jauhnya pertemuan antara Abi dengan Rajendra. Sesimple itu.
•oOo•
Periode bulan yang dialami para perempuan sering kali mengganggu aktivitasnya. Bahkan tak jarang juga, berkat rasa sakit yang terjadi saat hari istimewa itu tiba, segala mood yang awalnya membaik, jadi berantakan. Ragam cara diupayakan untuk mengatasi mood swing dan keram perut yang mampu menghancurkan hari-hari yang dilewati.
Bella sudah siap mengibarkan bendera putih sebagai aksi tumbangnya segala kekuatan yang ia miliki dalam topeng 'baik-baik saja'. Maka, setelah pembelajaran Pak Ligar, guru Seni Budaya, meninggalkan kelas dengan 'menghadiahkan' seluruh murid berupa sebuah 'makanan' siap kerjakan di rumah dan harus di presentasikan esok hari.
Bella hanya menyimak sekilas. Tangannya sudah bertengger di lingkar pinggang yang bagian dalamnya terasa diaduk-aduk. Penjelasan guru pun tidak dia pahami dengan betul. Apalagi ketika keram perutnya sudah berada dipuncak. Bella menempelkan kepala, di atas buku yang halamannya sudah terbuka. Matanya menutup-terbuka, merasakan gejolak nyeri yang menyiksa sekujur tubuh.
Perpaduan sikap pendiam dan sosok Mabella Atmaja bukanlah hal paling cocok. Abi yang mulanya tertarik dengan pembelajaran karena gaya ajar yang diterapkan guru tersebut adalah bertemakan diskusi, tentu saja Abi merasa tidak kesulitan. Itu lebih menguntungkan baginya yang tidak ingin direpotkan, asalkan dirinya ikut berkontribusi dalam pencarian bahan diskusi.
Namun, tidak sengaja ketika mata Abi berpapasan dengan Bella yang sudah bermuka sayu, Abi jadi landa kepanikan. Hal itu membuat kelas 10-Pangeran Diponegoro jadi ribut. Guru yang mengajar pun sampai turun tangan, memintakan surat izin pulang pada guru piket untuk dua orang nama yang ia tanda tangani: Haidar Arsalan, Mabella Atmaja, Kelas 10-P. Diponegoro.
Setelah mengantongi perizinan dari guru piket tersebut, Bella dan Abi pun meninggalkan pelataran sekolah menuju perumahan di Jalan Amerta yang lenggang di waktu-waktu produktivitas berada dalam ruangan.
•oOo•
Ketika kendaraan bermotor milik Abi memasuki halaman perumahan yang tersusun rapi dengan sederet letak tanam di tiap halaman rumah yang membentang dari blok A yang berada di timur gapura, hingga blok Q yang berada di ujung jalan bertembok, berbatasan langsung dengan lingkungan persawahan dan rumah-rumah warga sekitar yang mampu menunjukkan kesenjangan sosial yang terjadi pada wilayah tersebut.
Jika di sekolah Bella hanya mengkhawatirkan akan nasib kram perut, maka saat mendekati detik-detik perumahannya, ia diserbu dengan kegundahan hati yang lain. Perkara larangan itu memberatkan Bella dari ikatan yang sudah membentuk hubungannya dengan Abi.
Bella menepuk-nepuk bahu Abi di tengah jalan menuju rumahnya. “Bi! Udah turunin aku di sini aja,” kata Bella.
Abi yang menggunakan helm full face, hanya melirik sebentar pada Bella. “Buat apa, Bell? Nanggung banget,” tolaknya.
Akhirnya Bella hanya bisa mengalah. Ia berharap kalau kemungkinan terburuk, adanya sang Papa di rumah, membuat segalanya jadi tambah runyam. Pikiran Bella masih belum bisa menampung tambahan 'beban' yang lain. Ia hanya ingin mengistirahatkan jiwa raga sebelum kembali ke pertempuran esok hari.
Bersyukurlah Bella telah mengkonsumsi obat yang diberikan pihak UKS sebelum betulan meninggalkan sekolah. Kini rasa sakit yang menjeratnya, berangsur-angsur membaik.
“Makan yang teratur. Jangan dulu banyak pikiran dan kalau kamu butuh bantuan atau ... ada yang mau aku beliin?” tawar Abi yang masih mengkhawatirkan Bella.
Jika pada situasi normal, hati Bella pasti merasa penuh dengan perhatian yang Abi berikan—bahkan sejak dulu, ia terima tanpa sadar. Kalau Abi memang sosok yang pengertian, baik pada semua orang, hingga sulit membedakan perlakuan istimewa mana yang hanya Abi tunjukkan pada satu-satunya perempuan yang Abi sayangi. Tentu selain Ilana yang merupakan ibunya.
Bella menggeleng lemah. Kekuatan untuk berbicara pun seakan terenggut darinya kala itu. “Thank's, Bi. Tapi sekarang nggak dulu.”
Abi pun mengangguk mafhum. “Oke. Kalau ada apa-apa, telepon, ya! Aku mau balik ke sekolah dulu.”
Usai kepergian Abi dari halaman rumah Bella dan setelah ia memastikan bahwa tidak ada keberadaan sang Papa yang bekerja dari rumah, Bella akhirnya dapat mengeluarkan oksigen kotor itu dengan lebih leluasa.
Namun, hanya karena manusia tidak dapat menjangkau hal-hal yang berada di luar kendalinya, maka Tuhan adalah penguasa dan perancang skenario terbaik untuk setiap makhluk bernyawa. Bahkan yang tersembunyi sekali pun dapat Tuhan amati dengan kekuasaan-Nya. tidak seperti manusia yang penglihatannya terbatas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top