# C H A P T E R 11

#Chapter 11
Papa!

Pelajaran ekonomi yang membahas tentang menejemen bisnis, memperparah korupsi waktu yang dilakukan Pak Budi. Selain datang terlambat, beliau malah melimpahkan setumpuk tugas minggu kemarin—karena kealpaan beliau dengan dalih ada webinar yang mesti diikutinya—akhirnya bertambahlah hitung-hitungan di waktu jam paling suntuk di muka bumi.

Bahkan banyak penelitian yang berargumen kalau waktu paling efektif dalam belajar selama seharian adalah 4 jam. Sementara sisanya, hanyalah jadi 'beban' bagi otak yang mestinya mendapatkan istirahat. Belum lagi pemikiran kolot yang menyatakan kalau makin banyak ilmu yang kita pelajari, makin cerdas pula diri kita ini.

Huft, rasanya mau tak sumpel itu mulut!

Bella mengeluh dalam hati. Kepalanya sepertinya akan meledak. Tanda bahaya berupa asap tak kasat mata, menjadi bukti kalau isi otaknya sudah semrawut. Meski dia sanggup mengerjakan soal dengan mudah, tetap saja butuh waktu yang lebih lama dari sekadar tiga jam untuk menyelesaikan 15 soal uraian!

Lengan Bella dicolek oleh teman sebangkunya. Siapa lagi pelakunya jika bukan Haidar Arsalan?

Abi memandang Bella dengan isyarat minta pertolongan. Contekan. Menggunakan eye smile yang biasa Abi gunakan untuk tebar pesona, rupanya berpengaruh juga kepada Bella. Seketika dia merasa bangga dengan kemampuan yang tidak seberapanya itu.

Bella akhirnya menggeserkan lembar jawabannya yang sudah terisi sebagian. “Lain kali belajar juga, dong, Bi. Main terus kerjaannya,” sindirnya. Bella kemudian mencoret-coret halaman lain, guna mencari jawaban lain atas pertanyaan yang belum dia jawab sebelumnya.

Sementara orang yang dikasih lihat jawaban Bella itu hanya menggumamkan sesuatu yang tidak dimengerti oleh Bella. Abi menyalin jawaban Bella secepat kilat.

Abi menjawab sambil sesekali memindahkan deretan angka dan kalimat yang ada pada lembar jawaban Bella pada lembar jawaban miliknya yang masih bersih bak porselin antik yang belum tersentuh oleh noda. “Belajar nggak bikin kita terkenal, Bell, ” katanya.

“Aku udah pernah coba cara itu buat bertahan selama di SMP. Hasilnya? Jangan dibayangin, deh. Kamu pun tahu jawabannya.” Abi menggeleng pelan, seakan menolak gagasan untuk bekerja keras demi memperoleh nilai yang belum tentu dihargai oleh orang-orang.

Nilai, tak selamanya membuat orang-orang bertindak segan pada kita. Itu hanya nilai kumulatif yang tercantum dalam rapot semata. Namun, tidak akan berpengaruh banyak pada mereka yang sering kali meremehkan keadaan orang-orang.

Mulut Bella seakan terkunci rapat dengan muka yang lembab. Bedanya, dia ikut terluka—merasakan kemalangan—atas hal yang terjadi pada Abi. Akibat masa lalu itu, ternyata mampu mengubah jiwa seseorang sebanyak ini. “Aku turut simpatik, Bi,” ujar Bella dengan tulus.

Abi tidak menampik rasa simpatik yang ditunjukkan Bella. Dia menganggapnya sebagai bentuk kecemasan Bella. Namun, ada hal yang ingin dia pastikan lebih dulu sebelum dia mengatakan kejujurannya.

“Gini, lho, Bell,” Abi berbicara selagi menyalin jawaban. “Memperluas networking itu juga merupakan cara untuk bertahan hidup. Sekarang ini, percuma aja diklaim punya banyak ilmu, tapi nggak bisa ngasih kebermanfaatan atas ilmunya.” Kemudian setelah jawabannya telah selesai dia salin, Abi menggeserkan kertas jawaban milik Bella pada empunya.

Abi lalu menjentikkan jemarinya. “Orang yang aku bilangin itu, mereka yang bisa sosialisasi. So, kalau mereka cuma bisa diem doang dan nggak ada itikad buat ngubah dirinya sendiri, rugi dong ilmu yang dia punya. Sia-sia!” jelas Abi menggebu-gebu.

Bella mengatupkan kedua tangan di depan Abi dengan suara yang diimut-imutkan. “Baik, Tuan Bijak.” Lalu suaranya kembali berubah tegas ketika berkata, “Lebih baik cepetan kamu salin. Waktu buat balik udah lewat setengah jam lalu, Bii!”

Pasalnya, Bella yang sudah mengerjakan 14 soal, menyisakan satu nomor lagi yang berisi. Namun, karena permintaan dedemit yang sukar ditolak olehnya, Bella jadi harus bersabar untuk tidak cepat-cepat pulang ke rumah.

Kan, jadinya aku nggak enak hati!

•oOo•

Kelas 10-Pangeran Diponegoro yang merupakan 'tempat hunian' bagi Abi dan Bella, akhirnya bisa menghirup udara kebebasan. Insiden ulangan dadakan Pak Budi, alhasil  terselesaikan dengan baik, kecuali Abi yang meminjam otak Bella. Kepulangan mereka pun terpaksa molor jadi sejam lebih. Tidak apa. Tidak ada yang lebih membanggakan sekaligus melegakan ketika mampu melepaskan diri dari jeratan tugas.

Di koridor SMA Teladan yang sudah sepi, hanya segelintir manusia pengabdi organisasi yang terjebak di sekolah hingga petang. Setidaknya dengan keberadaan mereka yang hilir-mudik di sekolah, tidak menjadikan SMA ini terasa sepi. Deretan koridor IPS yang ditumbuhi tanaman, menjadikan suasana sekolah pada jam 3 sore, tampak memanjakan mata. Belum lagi lukisan alam buatan sang Pencipta di angkasa yang sayang sekali untuk dilewatkan.

Membayangkan tentang alam, membuat keinginan Bella akan kebebasan makin mengakar. Jika saja tali belenggu yang dipasangkan padanya, telah hilang ... akankah semua hal terjadi seperti yang dikehendakinya? Atau malah akan jauh lebih kacau?

Rasa cemas dan perasaan berat hati, makin membuat Bella merasakan sesak dalam menghirup udara ketenangan. Jiwanya memberontak, tetapi pikirannya sama sekali tidak dapat diajak kerja sama. Hanya keluh kesah yang tertuang dalam untaian kalimat di buku harian yang dia punya. Segalanya tercantum berdasarkan keadaan sukmanya.

Kian berlarut dalam lamunannya, Bella tersadarkan bahwa perjalanan menuju rumahnya telah selesai. Barusan, Abi menawarkan boncengan padanya. Padahal sudah Bella tolak ajak itu, tetapi rupanya Abi yang sekarang adalah orang yang keras kepala. Dia tidak menyerah meskipun telah Bella tolak. Sebetulnya, Bella hanya tidak ingin jika papanya mengetahui kedekatan Bella dengan Abi. Karena Raehan pun telah melarangnya dari kemarin-kemarin.

“Seharian ini aku perhatiin, kamu makin pendiem, Bell. Ada hal yang ganggu pikiranmu?” tanya Abi di depan rumah Bella.

Kini kedua remaja itu baru saja sampai di Perum GKA, Abi masih setia di atas jok motornya. Sedangkan Bella, sudah berdiri di samping motor Abi.

Bella berniat untuk membungkam curhatannya kali ini. “Yah, seperti yang aku cerita ke kamu pas kemarin-kemarin. Biasalah, soal Papa.” Dia berusaha menghindari tatapan Abi yang menuntut kebenaran akan ucapannya. Setidaknya, ucapan Bella kali ini tidak sepenuhnya bohong, ‘kan?

“Yakin cuma masalah itu?” selidik Abi yang belum percaya. Dia hanya pura-pura tidak paham saja. Ketika Bella menjawab pertanyaannya, tetapi menghindari menatap matanya, Abi makin curiga.

Bella mengangguk, mencoba meyakinkan. Namun, tangannya bergerak gelisah. “Kalau gitu, aku masuk duluan, ya!” pamitnya dengan tergesa-gesa.

Namun, sebelum Bella betul-betul menginjakkan kakinya di pelataran rumah Atmaja, sosok Raehan yang berada di ambang pintu, sontak membuatnya berdiri kaku. Melalui ekor matanya, Bella dapat melihat kalau Abi bukannya pulang ke seberang rumah—yang hanya berjarak beberapa langkah saja—melainkan laki-laki cecunguk itu melangkah ke arahnya!

Cari mati aja itu anak!

Rutukan Bella hanya terjadi dalam hati. Dia berdesis dengan mata terpejam sebentar. Berusaha untuk mengendalikan situasi, dia mengatur pernapasannya. Pertemuan sang papa dan Abi tidak bisa di biarkan di saat seperti ini. Bisa-bisa kejadian hal sama sekali tidak ingin Bella bayangkan.

“Bella, kenapa kamu berdiri di situ?” Suara tegas Raehan sudah terdengar hingga ke kuping. Bella yakin kalau papanya sudah dapat menebak rencananya. “Cepat masuk!” titahnya kemudian.

Bella hanya bisa menghela napas penuh keberatan. Dia melirik Abi yang hanya menatapnya dengan wajah penuh tanya. Bella sendiri tidak dapat membantu banyak, sebab sudah mendapatkan 'mandat' tak terbantahkan dari sang papa.

Huh! Benar saja praduga Bella. Belum genap langkah Bella masuk ke ruangan, terdengar suara derap langkah lebar. Kemudian suara terburu-buru itu disusul dengan sebuah pukulan yang mengenai rahang Abi. Sontak Bella memutar badan. Dia berlari mendekati papanya agar bisa menghentikan aksi tiba-tibanya barusan.

“Pa, udah! Abi nggak salah!” mohon Bella.

Namun, Raehan tampaknya belum dapat memaafkan kejadian yang telah lalu diamati. Dia menghempaskan tangan Bella dan memberikan peringatan pada anaknya itu supaya tidak ikut campur dalam urusannya.

Abi yang mendapatkan serangan dadakan pun mengeluh pelan. Dia memandangi Raehan dengan gurat penasaran. Bukan tanpa alasan, pasti lelaki yang hampir setengah abad umurnya ini, memiliki alasan khusus mengapa dirinya dapat memukuli Abi secara terang-terangan.

“Sebaiknya kamu jauhi putriku kalau tidak ingin menanggung akibatnya!” ancam Raehan dengan tegas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top