# C H A P T E R 10

#Chapter 10
(Tidak) legowo

Gundukan baru dari tanahnya menguarkan bau harum yang khas usai hujan semalaman. Genangan air di mana-mana ikut meramaikan kedatangan orang-orang yang turut mengucapkan kalimat belasungkawa yang kompak sama isinya.

Orang-orang berpakaian serba hitam tampak jelas mengelilingi makam yang bernisankan 'Riyadi Arsalan', paman Abi yang sewaktu dahulu mengingatkannya pada sosok sahabat karib.

Insiden di Papua selalu menjadi ancaman internal bagi para tentara yang ditugaskan di provinsi penghujung Indonesia tersebut. Bukan tanpa alasan terjadinya konflik antara para tentara dengan kelompok di Papua yang menginginkan kemerdekaan pulau mereka sendiri. Seperti halnya upaya Timor Leste yang kini menjadi negara tersendiri.

Serda Riyadi, Paman Abi yang bertugas di Papua sejak setengah tahun lalu, dinyatakan meninggal dunia usai tertembak bagian pahanya dan kehilangan banyak darah akibat perbuatan Kelompok Teroris Bersenjata (KTB) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang lebih dikenal sebagai kelompok pro-kemerdekaan Papua.

Serangan dadakan tersebut, merupakan serangan kedua usai dilantiknya Jenderal terbaru setelah mendeklarasikan bahwa ia akan memprakai konflik di Papua. Setidaknya sejak demikian, para OPM dan tentara jadi terlihat insiden baku hantam. Salah satu korbannya adalah Serda Riyadi. Ia mencoba menghalau peluru yang hendak mengenai Kapten Infentasinya. Hingga mengakibatkan Serda Riyadi harus berputih tulang dan Kapten Infentasinya harus dilarikan ke rumah sakit akibat luka-luka yang dideritanya.

Kini Abi jadi memahami kalau ambisi seseorang itu dapat mencelakai orang lain. Begitu pun dengan rasa tanggung jawab yang terlalu kuat menancap dalam relung hati, hanya akan berakhir dengan perjuangan tanpa arti. Pamannya itu berhasil menambah keengganan Abi untuk berkorban demi orang lain, tetapi sanggup meninggalkan orang-orang yang dikasihi. Dia belum sekuat itu untuk mengikuti sepak terjang sang paman.

Raehan yang sedari tadi berdiri menjulang dengan bahu tegap yang gagah, berada di samping Abi. Sisi-sisi dekat mata coklat terang yang terbiasa berkilat tegas, saat ini terlihat kemerahan—kemungkinan menahan tangisan, pikir Abi—dengan duka yang dapat Abi bayangkan betapa besarnya.

Meski Riyadi hanyalah adik ipar Raehan, dia tetap menganggap sosok Riyadi bagai adiknya. Dia pun sekilas mengerti kegundahan Abi tentang tanggung jawab seorang tentara yang harus siap berkorban. “Hidup manusia itu sangat singkat, bukan?”

Pertanyaan Raehan, sontak membuat Abi berpaling. Ia mengamati sang ayah dengan glabela yang terlipat. “Yah, kali ini aku setuju,” ungkapnya kemudian.

Raehan menarik salah satu ujung mulutnya agak naik. Tidak membayangkan jika putranya yang sering berseteru dengannya tiba-tiba sepemikiran. “Makanya, karena akhir kehidupan kita tidak ada yang tahu,” Pandangan Raehan menjurus pada prosesi pemakaman Riyadi yang telah selesai. “setidaknya semasa hidup, kita punya tugas paling mulia, yakni memberikan kebermanfaatan bagi orang banyak.”

Dirasa peka dengan makna tersirat sang ayah, Abi menolak dengan pendiriannya yang belum tergoyahkan. “Aku tahu, tapi sekali lagi aku bilang ke Papa,” Abi memberanikan diri menatap langsung pada netra yang merupakan salah satu penyumbang sumber sel genetiknya. “Aku nggak mau kayak Papa atau jadi orang kayak Paman,” ungkap Abi dengan suara mantap.

Karena penasaran dengan pemikiran putranya, Raehan kembali bertanya. “Kenapa? Toh, buktinya tugas kami mulia. Mengabdikan diri bagi ibu pertiwi dan menjaga orang-orang yang kami sayangi.” Terdapat jeda sejenak dalam kalimatnya. Kemudian Raehan kembali berkata, “Bahkan, setidaknya dapat membuat segelintir orang tidak memiliki kecemasan atas ketentraman hidup, jika bergaul dengan lingkungan yang baik pula.”

Abi menjawab dengan heboh. “Justru karena tanggung jawab segede gitu yang bikin aku nggak akan pernah siap.” Muka Abi menampilkan air muka ragam perasaan yang berkecamuk, sedih, kecewa, hingga setitik rasa bangga terhadap pamannya.

“Kalau kita rela mati demi orang yang nggak kita kenal, berarti kita jahat kepada orang yang kenal.” Abi memandang getir pada gundukan tanah yang kini telah dipercantik dengan banyaknya taburan bunga. Bahkan harumnya sampai bisa tercium dalam radius 5 meter. “Lebih menyakitkan penderitaan orang ditinggalkan hidup, daripada orang yang meninggalkan kehidupan,” jelas Abi.

Ternyata Abi sudah dewasa. Terlintas pemikiran demikian dalam benak Raehan yang akhirnya melengkungkan senyuman penuh bangga. Sebelumnya, dia sempat bertanya-tanya kenapa kondisi wajah Abi tampak sedikit lebam. Namun, dia sekarang yakin, kalau sudah saatnya melonggarkan keinginannya pada Abi.

Laki-laki yang akan menginjak usia 17 tahun itu, tetap menjadi anak kecil yang selalu saja memberikan kejutan pada usia Raehan yang sudah tidak lagi muda. Dia pun lantas mengusap kepala Abi dengan sayang. “Lain kali jangan sampai terluka, Bi,” ungkapnya dengan tulus.

Bukan hanya Abi yang tertegun dengan sikap sang ayah, melainkan Ilana yang berada di belakang kedua laki-laki itu, ikut membeku sekejap memandangi interaksi kedua laki-laki beda generasi yang tampak akrab. Tak ayal, kejadian tersebut melegakan hatinya yang sesak akibat kepergian sang adik. Dia juga punya pengharapan besar di penghujung hari tersebut.

“Semoga saja Tuhan memberikanku kesempatan untuk hidup lebih lama lagi untuk menemani perjalanan hidup mereka.” Pengharapan Ilana tertuju pada kehidupan Raehan dan Abi. Karena baginya pun, meninggalkan dua orang yang amat disayanginya itu, bagaikan bilah pedang yang memiliki kedua sisi.

•oOo•

Wilayah Yogyakarta jarang sekali terkena macet seperti ibu kota. Polusi yang dihasilkan pun tidak terlalu banyak, hingga tidak menjadi penyumbang karbondioksida yang memengaruhi lapisan ozon. Mega kemerahan di angkasa tampak mempercantik lukisan sang Pencipta. Keramaian orang-orang di bahu jalan yang harmonis, mampu menyihir siapa pun untuk mencinta kota bertitel Kota Pelajar ini.

Toko-toko yang mulanya tutup di pagi hari, kini beramai-ramai membuka kedai mereka. Ramah-tamah yang menjadi budaya di kota ini membuat orang-orang dapat berinteraksi dengan nyaman. Terutama bagi para pelancong dan musafir yang baru pertama kali menempati kota ini, cenderung menemukan cinta pertama mereka terhadap Kota Yogyakarta.

Kedai kopi menghipnotis pengunjung dengan aroma cita rasanya yang beragam. Warung makan dan restoran yang berderet sepanjang jalan, mulai disesaki oleh pengunjung. Halaman di supermarket dan minimarket yang buka 24 jam pun, tak kalah ramai oleh para pembeli yang memarkirkan kendaraan mereka. Namun, tetap saja bising dari kendaraan yang berlalu-lalang di jalan raya, mampu memekakkan telinga. Belum lagi jika ada bunyi klakson yang berdengung nyaring.

Salah satu makhluk yang menikmati petang itu adalah Rajendra. Ia baru selesai dari pekerjaan dari kantornya, pulang lebih awal. Rajendra teringat akan putrinya yang kemungkinan besar masih berada di sekolah, karena waktu masih berdetak pada pukul 3 sore. Jam pulang sekolah Bella adalah pukul 4 petang, itu pun jika tidak mengikuti kegiatan tambahan.

Rajendra hendak menelepon putrinya, tetapi suara ribut-ribut yang disebabkan oleh kawanan anak remaja—memakai atribut lengkap sekolahnya—melintasi jalanan bak konvoi pemilu. Mereka membawa bendera kebanggaan sambil dikibar-kibarkan. Hal itu membuat Rajendra merasa miris dengan sikap anak muda sekarang ini.

Kemudian dengan tidak sengaja, ekor matanya menangkap sosok yang dikenalinya, berada dalam konvoi tersebut. Rajendra memeriksa penglihatannya, takut-takut dia salah lihat. Namun, objek yang diamatinya tetap sama.

“Kenapa dia ada di sana? Bukannya jam sekolah masih berlangsung?”

Tidak ingin menerka lebih jauh yang berujung pada kesalahpahaman, Rajendra diam-diam mengikuti arak-arakan kendaraan anak muda berseragam SMA Teladan. Mereka juga mengibar-ngibarkan kain bertuliskan 'Jagabela' bak memamerkan bendera kemenangan. Aksi mereka menyedot perhatian orang-orang, kemudian konvoi itu berakhir di depan bangunan kuno yang memiliki tanah lapang terbengkalai.

Situasinya makin memanas ketika segerombolan konvoi lain, berdatangan dari arah seberang. Rajendra tidak dapat memastikan percakapan apa yang mereka lakukan, sebab Rajendra mesti bersembunyi. Namun, satu hal yang pasti. Percakapan mereka berakhir dengan perkelahian. Bahkan di antara mereka ada yang menggunakan senjata yang diam-diam mereka bawa.

Rajendra tidak dapat sembarangan ikut campur, tetapi saat mengingat orang yang dikenalinya terlibat dalam perkelahian yang bisa saja mengancam nyawanya, ia pun berinisiatif untuk memasang alarm sirine. Seketika suara itu terdengar, segerombolan anak muda yang tengah kelahi itu, langsung ketar-ketir. Mereka membubarkan diri dari tempat tersebut. Takut-takut terjerat dengan urusan kepolisian.

Wajah Abi bersama teman satu kelompoknya melintasi mobil Rajendra tak lama kemudian. Rajendra menghela napas. Dia akhirnya menelepon putrinya. Tanpa tandang aling-aling, Rajendra memberikan ultimatum lagi pada Bella.

“Jangan sampai Papa lihat berteman lagi dengan Abi. Kalau tidak, siap-siap saja kamu buat dikurung di rumah!”

Bahasa kekhawatiran yang Rajendra ungkapkan memang dapat disalahpahami. Akan tetapi, sudah menjadi sifatnya seperti itu. Dia bukanlah orang yang mampu merangkai kata-kata lembut dan manis di telinga. Dia hanyalah manusia biasa yang memiliki kekurangan dalam mengungkapkan kasih sayangnya.

Sementara di tempat lain, Bella memandangi ponselnya yang sudah berkedip mati akibat panggilan yang diputuskan secara sepihak oleh papanya. Awalnya, Bella merasa aneh karena Rajendra hendak menjemputnya. Belum genap sehari dia dikagetkan oleh sikap sang papa, kini Bella harus dihadapkan dengan ultimatum baru.

“Apa-apaan, sih, Papa! Salah makan apa dia hari ini?” Pikiran Bella seketika tertuju pada ibunya. “Mama nggak mungkin, ‘kan, ngasih Papa makanan yang aneh?” Buru-buru Bella menggelengkan kepala. Tidak baik berprasangka buruk terhadap orang tuanya.

Namun, tetap saja aneh kalau mengingat sikap Rajendra hari ini yang lain dari biasanya. “Sebaiknya aku jangan terlalu banyak mikir. Kasian otak kecilku yang udah nggak kuat dipake mikir,” gumam Bella kemudian. Ia akhirnya menunggu jemputan papanya dengan berhati lapang dan mengindikasikan praduga-praduganya. Hari ini dia tidak ingin membebankan otaknya untuk menerjemahkan kelakuan sang papa. Biarlah hari esok, dia mereka ulang kejadiannya di hari ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top