# C H A P T E R 1

Note : demi kenyamanan bersama--karena ada beberapa revisi dan tidak memungkinkan untuk re-publish mohon kerja samanya--jika sudah ditambahkan ke library, mohon hapus dulu. Selanjutnya tambahkan kembali ke library. Terima kasih, kawan~

#Chapter 1
Gegara Bocil Kesasar

(2009)

Daerah mantan ibu kota Indonesia pada tahun 1949 ini akhirnya bisa bernapas lega ketika tragedi gempa yang sering terjadi sebanyak 41 kali dengan skala kecil dari jangka waktu Juni dan Agustus telah berhasil terlampaui dengan baik. Aktivitas masyarakat pun kembali berjalan layaknya kehidupan sebelum kejadian gempa berlangsung.  Seperti halnya keramaian di salah satu sekolah dasar di Yogyakarta.

Sekolah Negeri 1 Kadipiro menjadi salah satu sekolahan yang hanya berjarak 4 menit dari perumahan Griya Kuanta Amarta. Terlihat bahwa di depan gerbang bangunan yang didominasi oleh warna mint, anak-anak setinggi pinggang orang dewasa baru saja selesai menuntaskan kegiatan pelajaran mereka—yang kebanyakan membosankan untuk disimak—berbondong-bondong memenuhi pintu gerbang yang baru dibuka oleh satpam.

Datang paling telat, pulang-pulang mesti duluan lewat!

Percakapan ngalor-ngidul khas anak yang heterogen, tidak akan jauh-jauh dari seputar kegiatan bermain, acara liburan sekolah dan paling-paling sekelompok anak perempuan akan membicarakan tentang tema permainan mereka petang nanti, apakah harus bermain masak-masakan atau berlakon jadi keluarga mirip sinetron.

Sementara segerombolan bocah imut yang bergender jantan pasti lebih suka membahas permainan olahraga apa yang akan mereka lakukan, sepak bola, kah? Sepeda, kah? Atau bermain kejar-kejaran yang pasti saja?

Asalkan jangan mengejar dia yang mustahil terkejar karena sudah dari awal saja tidak pasti. Eh!

Hanya saja, lain dari mereka yang sibuk dengan kawanan sebaya, satu makhluk mungil itu meneguk saliva dalam diam. Matanya diam-diam sibuk menengok kanan-kiri secara bergantian. Dia mulai dilanda kepanikan karena tidak ada satu pun orang yang dikenalinya lewat. Apalagi dia tidak tahu arah rumahnya!

Semua jalan rasanya tampak mirip dengan arah yang dilaluinya bersama ibunya pagi tadi. Namun, sampai waktu yang telah ditentukan, kehadiran sang ibu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Dia pun pasti akan kebosanan dalam menunggu.

Entah memutar kakinya untuk mengambil arah kanan yang berbelok ke masjid, atau mengambil sisi kiri yang mengarah pada tanah lapang luas, seakan menjadi pembatas bagi wilayah di seberang lapangan berumput hijau itu. “Aku  ... mau pulang.” Suara kecilnya mulai bergetar. Tangannya yang memegangi tali ransel kian erat, dia jadi teringat perkataan pamannya kala itu.

Saat matahari tergelincir di sebelah barat dan burung-burung mulai beramai-ramai melintasi angkasa yang berlangit merah malu. Sosok bertubuh kekar karena tuntutan pekerjaannya itu tengah berdiri sambil menghadapkan kepala ke arah langit. Pandangannya menyiratkan kesenduan yang mendalam.

Kemudian, tanpa mengalihkan perhatiannya, dia pun berujar lirih, “Jika pelatihan ekstrem dapat dilalui tanpa adanya kesedihan, mengapa saat kehilanganmu begitu memberatkan? Apa benar, lelaki yang menangis itu bermental lemah, sedangkan aku dilatih keras sampai tak sempat mendekap keluh kesah?”

Keberadaan anak kecil yang masih tak mengerti apa pun tentang kejamnya dunia ini bermain, tanpa disadari oleh orang lain, perkataan laki-laki itu terekam jelas pada memori anak kecil yang saat itu tidak bisa menerjemahkan maksud keluhan sang paman.

Hingga saat ini, meski Haidar Arsalan—Abi—tidak sepenuhnya memahami makna dari ucapan pamannya, sedikit-tidaknya dia jadi tahu kalau seorang laki-laki itu tidak boleh menangis. Makanya, Abi berusaha menahan mata dan hidungnya yang sudah memerah agar tidak mengeluarkan cairan apa pun. Dilangkahkannya kaki mungil itu ke depan gerbang dengan perasaan cemas.

Anak sebaya yang berlarian pun tidak tanggung-tanggung kerap menyenggol bahu Abi, sampai-sampai dia mesti menahan diri untuk tidak mengeluh. Setelah mencapai gerbang, Abi kian termenung. Pegangannya pada tali ransel pun kian menguat, dia melirik Pak Satpam yang terkantuk-kantuk menjagai anak-anak. Tidak ada harapan untuk bertanya.

Namun, saat langkahnya mengambil jalur kiri, serempet motor melaju cepat ke arah Abi. Belum sigap untuk mengelak, karena raga Abi masih terlampau kaget dengan kejadian tiba-tiba, tetapi sebelum motor itu menabrak tubuhnya dengan serangan penuh, tubuh Abi sudah lebih dulu terjungkal ke belakang akibat tarikan seseorang pada ranselnya dan Abi berakhir dengan duduk di atas tanah.

Pak Satpam yang mulanya termalas-malas, bangkit dari kursi kekuasaannya dan berderap guna mendekati Abi yang masih bisa terselamatkan walaupun dengan napas yang tersengal.

“Kamu itu gimana, sih, kalau jalan! Lihat-lihat makanya! Jadi repot, kan!” Pak Satpam itu terus mengoceh hingga telinga Abi berdengung. Padahal seperti yang sudah-sudah, dia pun tampak malas dengan pekerjaan yang dilakoninya saat ini.

Pandangan Abi bertubrukan dengan sosok yang tak jauh sama tingginya dengan Abi. Seragam mereka sama, tetapi sosok tersebut berlawanan gender dengannya. Rambut sebahu itu tertiup angin, di sekitarnya juga samar-samar dapat tercium wangi menyegarkan dari harum buah beri. Rambutnya tampak bersinar terkena silau matahari. Namun, begitu mukanya berpaling pada Abi, anak laki-laki yang sudah berdiri dari jatuhnya itu, memundurkan badan. Merasa terancam.

Bukan, bukan karena wajah anak gadis itu yang menyeramkan layaknya cerita fiktif yang sering dibacakan oleh ibunya sebelum tidur, melainkan netra bulat itu tengah menatap seperti tajamnya pedang. Dia terdengar seperti berdesis, kemudian menekuk siku dan memegangi pinggulnya, khas orang yang sedang marah.

Abi pun gelagapan ditatap demikian rupa. “A-apa?”

Satu telunjuk anak gadis itu mengarah di depan wajah Abi. Dia seolah mengabaikan sosok tinggi yang berada di sebelah Abi, Pak Satpam. “Kamu, ya! Kalau nggak bisa nyebrang ngomong, dong! Jangan bikin Pak Satpam di sini makan gaji buta, tahu!” Tangan gadis itu bergantian menunjuk pada seberang jalan dan pada Pak Satpam, ... serta dirinya.

Merasa diomeli oleh anak yang masih ingusan, emosi Pak Satpam pun jadi terpancing layaknya ikan yang memakan cacing yang menggantung pada kail. “Eh, Bocah! Jangan sok tahu kamu!” Pak Satpam itu lantas menarik ransel si anak gadis agar disejajarkannya mereka dalam satu baris yang sama.

Sebelum Abi kembali berbicara, rupanya nyali anak gadis itu tidak surut. Dia menepis tangan Pak Satpam dan tahu-tahunya sudah mencekal lengan Abi tanpa ada aba-aba. Mata gadis itu masih menatap tanpa takut pada pria bertubuh tambun seraya berkata, “Aku nggak sok tahu, tapi emang tahu. Wong, kalau ngomong itu harus pake akal.”

Gadis itu melirik Abi, seakan mereka sudah kenal sejak lama. “Nah, ayo! Kita pulang aja. Nggak perlu lama-lama di sini nunggu jemputan.”

Abi merasa tubuhnya sudah dikontrol oleh anak gadis yang baru ditemuinya itu. Bahkan tanpa pemberitahuan apa pun, tubuhnya sudah terseret untuk mengikuti langkah terburu-buru dari anak yang namanya saja belum Abi ketahui!

Dia beberapa kali menengok ke belakang, sepertinya memastikan bahwa Pak Satpam hanya mengomel di tempat saja, tidak sampai menyeretnya, atau paling parah hingga memukul mereka berdua.

Baru ketika Abi dan gadis itu sudah jauh dari gerbang sekolah, gadis bernama Mabella Atmaja baru bisa mengembuskan napas dengan suara keras. Abi lagi-lagi terkejut oleh tingkahnya.

Bella mengelap keningnya setelah mengatur napas layaknya dikejar setan tujuh turunan. Sesekali dia membungkuk dan kembali tegak tiap kali meraup oksigen sebanyak-banyaknya. “Aduuuh, tadi itu nyeremin banget tahuuu,” mulut sewarna buah plum yang masih muda itu kian mengerucut saat mengomel, “Pak Satpam itu emang kerjanya nggak becus. Nakut-nakutin aja bisanya, mentang-mentang punya badan gede, huh!”

“Anu  ....” Abi hendak menanyakan ke mana gadis itu hendak membawanya. Dia sudah cukup kaget dengan rangkaian kegilaan yang belum genap sehari ini dia rasakan. Benar-benar hari yang melelahkan! Namun, belum sempat Abi menuntaskan kalimatnya, bibir lawan bicara itu kembali menyela perkataannya.

“Kamu juga!” tuduh Bella. “Kalau nggak tahu jalan pulang, ya nanya, dong! Wong itu mulut, kok, ndak dipake-pake, sih! Situ bukan orang gagu, kan?”

Tudingan itu lekas ditepis oleh gelengan kepala Abi. “Nggak, kok!” Tangannya sibuk mengibas-ibas, penegasan bahwa dia anak laki tulen yang tidak punya masalah dengan suaranya.

“Terus, kenapa tadi pas mau pulang, tapi nggak tahu jalan, kamu malah asal pilih arah, sih! Mau kesasar di sini, ya?”

“Hm, anu  ... cuma bingung aja mau nanya siapa.” Meski mata Abi sempat berkeliaran, tetapi dia paksakan untuk menatap balik mata Bella. “Soalnya nggak ada yang kenal,” sahutnya dengan keki.

Bella menepuk dahi. Terdengar rentetan monolog omelan yang tidak jelas terdengar oleh Abi. Sampai akhirnya gadis itu kembali mengapit lengan Abi, lagi. “Kalau gitu, ayo ikut aku pulang!”

“Tapi rumahku  ....”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top