14. Another Mess
Nothing's Changed
###
Part 14
Another Mess
###
Di sinilah ketiganya berada, menenggelamkan jemari mereka di rambut sambil menunduk dan berjongkok di tempat parkir sebuah cafe yang belum dibuka. Tempat yang bisa ditemukan Ryffa secepat kilat begitu para pengendara lain membunyikan klakson karena mobil mereka yang tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Beruntung jalanan di daerah itu sepi, membuat mobil lain tidak mencium pantat juke hitam milik Vynno.
Wajah mereka berubah kusut seperti ibu-ibu tua yang terkena sindrom baby blues. Rambut berantakan karena beberapa kali diacak, tidak habis pikir dengan kelakuan sahabat satu ini.
"Kapan terakhir kali kau memeriksakan otakmu, Zaf?" maki Vynno frustasi, "otakmu masih ada di kepala, kan?"
Zaffya hanya diam, pikirannya menerawang entah kemana. "Aku memang selalu gila kalau berhubungan dengan dia," jawab Zaffya dengan enggan.
"Kau memang gila, tapi aku tidak pernah menyangka kau akan segila ini." Ryffa yikut memaki Zaffya. "Di mana akal sehatmu?"
"Akal sehatku sedang memaki-makiku sekarang," jawab Zaffya datar dengan gumaman pelan, "lagi pula, bukankah kalian berdua yang menyarankan untuk menanyakan masalah pertunangan itu pada Richard?"
"Tapi tidak seekstrim itu untuk melamarnya," bentak Vynno sengit. "Dimana harga dirimu sebagai wanita kalau kau yang melamarnya lebih dulu?"
Zaffya menarik napas panjang, lalu membentur-benturkan ke kepalanya di dinding dengan erangan pelan keluar dari bibirnya.
"Harus ditaruh di mana mukaku sekarang?" tambah Vynno lagi.
"Sudahlah. Sebaiknya kita segera ke sekolah," ujar Ryffa sambil mengangkat badan dan berdiri menjulang di antara kedua sahabatnya.
Vynno mendongak dan menatap penuh tanya pada Ryffa, "Kita tidak bolos?"
"Jadilah murid yang teladan, Vyn." Ryffa melangkah menuju pintu mobil.
"Kita kembali dapat redpoint. Bolos dapat redpoint. Apa bedanya?" tanya Vynno sambil beranjak berdiri mengikuti Ryffa.
"Bedanya kita kembali dapat 10 redpoint dan masih bisa ikut pelajaran. Kita bolos dapat 70 redpoint." Ryffa membuka pintu mobil.
"Sekali membolos juga tidak akan membuatmu bodoh? Lagi pula, sia-sia aku mengikuti pelajaran jika tidak ada yang bisa masuk ke otakku."
"Memangnya pelajaran apa yang bisa masuk ke otakmu?" Suara mesin mobil dihidupkan mengisyaratkan pada Vynno dan Zaffya untuk segera masuk.
Ttiiinnnn ... ttiiiiinnnnnnnn ....
Vynno mendesah frustasi, lalu membungkuk menarik tangan Zaffya yang masih berjongkok di sebelahnya.
###
Andi Ryffa Sebastian : 10 redpoint
Rehardi Vynno Kaheza : 10 redpoint
Luisana Zaffya : 10 redpoint
"Rehardi, Luisana, belum ada seminggu kalian masuk sekolah ini. Redpoint kalian sudah hampir 70. Bla bla bla ...." Vynno mengayun-ayunkan tangan ke kanan dan ke kiri sambil menirukan suara Pak Arif begitu mereka bertiga keluar dari pintu Ruang BP.
"Sekali Pak Arif mendengarmu, redpointmu bisa lengkap tujuh puluh. Dan sebelum kau sempat menginjakkan kaki di halaman rumah, surat panggilan untuk mamamu sudah sampai lebih dulu," timpal Ryffa.
"Sekolah ini benar-benar gila. Apa kakek buyutmu mantan tentara, Zaf?" ucap Vynno pada Zaffya yang berjalan di sebelahnya. Namun, gadis itu masih sibuk dengan pikirannya sendiri dan tak mengacuhkan kalimat Vynno. Memilih menoleh ke arah Ryffa dan berkata, "Aku heran kau bisa betah di sini, Fa?"
"Kau bilang ini sekolah cantik."
Vynno hanya mendengkus. Bingung antara menyesal atau tidak dengan keputusan memberi julukan sekolah ini dengan sebutan 'cantik'.
Ryffa melirik ke arah Zaffya, merangkul bahu Zaffya. "Sudahlah, Zaf. Istirahat nanti kau bisa pergi ke kelas Richard. Tanyakan baik-baik. Mungkin saja firasatmu yang salah."
Zaffya menghembuskan napas berat, berbagai kemungkinan menyesaki otaknya. Setelah menimbang-nimbang saran Ryffa dan merasa usulan Ryffa ada benarnya. Ia pun menggangguk.
***
Zaffya menghempaskan badan dengan kasar ke atas kasur. Melemparkan sepatu dan tas ke lantai sedangkan kepalanya masih sibuk memikirkan keadaan dan keberadaan Richard.
Tadi siang waktu istirahat, ia tidak bisa menemukan Richard di kelas karena ternyata laki-laki itu tidak masuk sekolah. Sepulang sekolah Ryffa dan Vynno langsung menyeretnya ke DCC hanya untuk di rampok. Benar saja, ternyata Vynno sudah menyiapkan list apa saja yang harus dibayar Zaffya di pusat perbelanjaan itu. Sepupunya begitu licik dari jauh-jauh hari sudah menyiapkan rencana untuk menguras habis tabungannya. Benar-benar sepupu parasit.
Di apartemen Richard juga tidak ada siapa pun ketika ia sengaja ke sana hanya untuk mengecek apakah laki-laki itu sakit atau kenapa-napa. Zaffya menunggu selama 1 jam, laki laki itu tetap tidak menunjukkan batang hidungnya.
Kemana perginya laki-laki itu?
Suara decitan pintu kamarnya ketika di buka, membuyarkan lamunan Zaffya. Nadia Farick munucl dari balik pintu itu, Zaffya bangkit terduduk.
"Dari mana saja kau? Hampir petang baru datang?" tanya Nadia Farick dengan nada khawatir.
"Zaffya sudah besar, Ma. Bukan anak kecil yang kemana-mana harus bilang sama Mama," jawab Zaffya datar dan penuh keengganan.
"Paling tidak Mama tahu kau pergi ke mana."
Zaffya hanya mendengkus.
"Ini." Nadia meletakkan dengan hati-hati sebuah gaun pink yang masih terbungkus plastik butik di samping tempat Zaffya duduk.
"Apalagi ini? Zaffya sudah bilang tidak ada acara apa-apa untuk hari ini." Zaffya sama sekali tidak memedulikan gaun mewah itu.
"Hanya makan malam dengan teman Mama."
"Jangan bilang makan malam dengan keluarganya Dewa." Zaffya langsung menatap Nadia Farick dengan kening berkerut tak percaya. Saat Nadia Farick hanya diam yang mengisyaratkan bahwa tebakannya benar, segera Zaffya beranjak berdiri dan mengerang frustasi. Melangkah menjauh dari mamanya.
"Kau tidak punya alasan menolaknya." Nadia mengembuskan napas berat, pandangannya mengikuti langkah Zaffya yang kini berada di dekat jendela.
"Mama tahu Zaffya punya alasannya." Zaffya menekan nada dan suaranya, menatap tajam dan dingin Nadia Farick.
"Ini bukan hanya tentangmu, Zaffya. Mama tidak menyukai laki-laki itu, dan Mama tidak merestui hubungan kalian."
"Mama tidak pernah memberi kesempatan buat Richard," sengit Zaffya.
"Dan Mama tidak akan pernah memberi kesempatan padanya. Kau tahu itu. Jadi sekarang cepat masuk ke kamar mandi dan persiapkan dirimu. Satu jam lagi kita berangkat."
"Zaffya tidak akan pergi!"
"Ya. Kau harus pergi atau Mama yang akan menyeretmu. Berhentilah bermain-main dan bersikaplah seperti wanita baik-baik seperti seharusnya."
"Kenapa Zaffya selalu tidak punya pilihan atas diri Zaffya sendiri?"
"Karena kau adalah anak Mama," jawab Nadia sedetik setelah Zaffya menutup mulut. Wajahnya mengeras, menunjukkan bahwa tidak ada lagi tawar menawar.
Kedua tangan Zaffya mengepal di kedua sisi tubuh hingga buku-buku jarinya memutih. Batinnya berteriak sekencang-kencangnya, tapi ia hanya bisa menahan saja. Membuatnya semakin muak.
"Kau tidak bisa menyangkal Mama sebagai ibu yang telah melahirkanmu." Suara Nadia datar, kemudian berbalik dan menghilang di balik pintu.
Zaffya hanya mematung, menatap pintu kamar yang tertutup.
Marah.
Muak.
Tak bisa berkutik.
Kehilangan.
Semua bercampur aduk menjadi satu.
***
Suasana makan malam itu begitu tenang, di sebelah Zaffya duduk Daniel dan Nadia Farick. Di hadapannya duduk Dewa dan pasangan Sagara. Ia hanya menatap dingin ketika matanya tanpa sengaja berpapasan dengan mata Dewa. Makan malam belum dimulai, tapi para orang tua sedang berbincang-bincang ringan.
"Maaf, Tante." Zaffya memotong kalimat Mama Dewa ketika para orang tua mulai membicarakan masalah pertunangannya dengan Dewa kapan akan dilaksanakan. "Zaffya belum siap dengan pertunangan ini."
"Zaffya!" Suara Nadia yang duduk di sebelah memperingatkan, matanya menatap gelisah bercampur tatapan penuh amcaman.
Zaffya mengabaikan Nadia, lalu menatap kedua orang tua Dewa bergantian. Memberikan tatapan bahwa ucapannya benar-benar serius, sebelum mendorong kursinya ke belakang dan membungkuk hormat. "Zaffya permisi."
***
Zaffya dipaksa berhenti ketika sebuah tangan kekar memegang pergelangan tangannya dan membuatnya berbalik ke belakang mencari sosok pemilik tangan itu.
"Apa kau harus bersikap kekanak-kanakkan seperti ini?" Suara Dewa terdengar sinis.
"Apa?" Zaffya menyeringai, "kekanak-kanakkan kau bilang?"
"Apa kau tidak bisa sedikit saja berpura-pura baik di depan kedua orangtuaku? Kau sudah menghancurkan hati mereka dengan penolakan halusmu itu."
Zaffya mendengkus, "Berpura-pura? Menghancurkan hati mereka? Lalu apa aku tidak akan menghancurkan hati mereka kalau mereka tahu aku hanya berpura-pura baik-baik saja dengan semua ini?"
"Tapi kau tidak perlu menolakku di depan orangtuaku," sambar Dewa dingin, "kau boleh saja menghancurkanku semaumu, tapi jangan pernah menyakiti orang tuaku."
"Apa ini juga salahku?"
Dewa terdiam. Zaffya tidak sepenuhnya salah dengan semua ini. Kedua orang tua merekalah yang memaksakan perjodohan ini.
Zaffya menghempaskan tangan Dewa dengan kasar.
"Baiklah. Aku tahu semua ini bukan salah kita, tapi kita bisa mencari solusinya bersama-sama nanti."
"Solusinya sudah ada. Pertunangan ini tidak akan pernah terjadi."
"Zaff!!"
Zaffya tidak menggubris panggilan Dewa, ia melangkah menuju pintu lift dan menekan tombol menuju lantai satu.
***
"Kenapa anak Mama? Apakah sekarang melamun menjadi lebih menarik daripada semua buku-buku tebalmu?" Raya menyadarkan Richard dari lamunan anak laki-lakinya itu. Setelah seharian ia hanya membiarkan Richard menghabiskan waktu di kamar tamu dan keluar setelah Dania menyeret laki-laki itu untuk mengajak berenang di kolam renang belakang rumah.
Walaupun Richard mengikuti semua keinginan Dania, tersenyum dan tertawa ketika sesekali Dania melontarkan kalimat yang lucu dan bergerak-gerak lincah sebagaimana anak perempuan berusia 12 tahun. Raya tahu, pikiran anak laki-lakinya sedang tidak berada di sini.
Richard mengerjap cepat dan mengalihkan matanya dari pemandangan luar di jendela kamar yang sama sekali tidak ada yang benar-benar ia perhatikan sedari tadi. Ia bahkan tidak mendengar suara decit pintu ketika mamanya membuka dan masuk ke dalam. Richard segera menurunkan lengan dari dekapan di dada dan menegakkan punggung dari sandaran di dinding dekat jendela. Tersenyum tipis pada Raya.
Raya tersenyum sambil melangkah mendekati kursi hitam yang ada di tengah ruangan dan duduk di sana. Tangannya terangkat mengisyaratkan pada Richard untuk ikut duduk. "Apa sekarang kau sudah bisa menceritakan masalahmu pada Mama?"
Richard hanya melengkungkan bibir, tersenyum masam. Mamanya memang selalu tahu apa yang mengganggu pikirannya. Sama seperti dirinya yang selalu bisa membaca pikiran Zaffya.
Hahh .... Richard menghembuskan napas pelan ketika mengingat Zaffya lagi.
Gadis itu lagi.
Kenapa dirinya merasa sangat merindukan Zaffya? Padahal baru dua hari ia tidak bertemu dengan gadis itu.
"Apa Mama seorang paranormal?" cibir Richard.
Raya mengangguk mantap dan membenarkan. "Mama memang seorang paranormal untuk anak-anak Mama."
Richard tersenyum dengan nada humor yang diucapkan Raya. Kemudian melangkah mendekat dan duduk di kursi yang ada di seberang mamanya.
"Kau sampai tidak masuk sekolah, pasti ada masalah serius."
"Aku hanya merindukan Mama dan Dania."
"Dan setelah di sini kau mengurung diri di kamar dan mengacuhkan kami berdua?" dengkus Raya. "Belajarlah lebih baik untuk berbohong."
Richard terdiam. Ia tahu alasan itu tidak bisa diterima oleh seorang Raya, jadi dia hanya melemparkan cengiran kecil.
Selama beberapa detik keduanya hanya saling diam, Richard sibuk dengan pikirannya sedangkan Raya menunggu Richard untuk menceritakan sesuatu.
"Apa Papamu tidak marah kau bolos sekolah begini?" tanya Raya memecah keheningan.
Richard tersenyum datar sambil menggeleng.
"Sekolahmu bukan sekolah sembarangan. Kau bisa ketinggalan pelajaran jika seenaknya bolos begini." Suara Raya lembut dan penuh kasih sayang. "Bukankah kau sudah mulai ujian dua minggu ini? Tidak lama lagi juga ada ujian kelulusan."
"Tenang saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan masalah itu. Kekasihku pewaris tunggal Casavega high school. Jadi aku tidak akan terkena masalah apa pun." Suara Richard terdengar hambar. Begitu juga dengan senyum yang melengkung di wajahnya.
Raya tercenung dengan jawaban putranya, "Itu bukan Richard yang Mama kenal."
Ya, itu memang bukan dirinya. Satu-satunya kesalahannya adalah mencintai seorang Luisana Zaffya C Farick. "Tidak bisakah kita memilih untuk mencintai seseorang yang kita inginkan? Aku hanya ingin mencintai seseorang yang biasa-biasa saja."
Raya tersenyum lembut. "Apa kau keberatan dengan latar belakang yang menopangnya?"
"Entahlah. Aku hanya merasa dia terlalu tinggi, terlalu indah dan sulit untuk kugapai."
"Bagaimana dengannya?"
"Dia?" Richard menggumam pelan, kemudian tersenyum sambil mengangkat kedua tangannya. "Lihatlah , ketampanan anak Mama sangat memukau. Dia bahkan lebih gigih mempertahankan anak kesayangan Mama daripada diriku sendiri."
"Jangan merendahkan dirimu sendiri. Dia sangat beruntung sampai bisa menguasai hatimu, dan dia tidak akan menyesal memperjuangkanmu."
"Aku ... " Richard menelan kalimatnya, memejamkan matanya sejenak sebelum melanjutkan, "aku hanya ... takut. Aku merasa ... takut kehilangannya karena aku tidak pantas buat dia. Aku mencintainya, tapi ... tapi aku tidak bisa menerima latar belakangnya. Aku telah mengecewakannya."
Raya menarik napas pelan, kemudian menghembuskan dengan pelan. Berusaha mencari kata yang tepat untuk menenangkan satu satunya anak laki-lakinya itu. Ia memijit keningnya sebentar.
Ya, memang mencintai seseorang yang memiliki status di atas kita, memiliki banyak rintangan. Jika saja kita bisa memilih pada siapa kita harus jatuh cinta.
"Kau laki-laki yang kuat. Dan Mama tahu kau tidak akan mengecewakannya. Tunjukkan padanya kau tidak akan mengecewakannya."
Richard tersenyum tipis mendengar semangat yang diberikan mamanya. Walaupun saran itu sama sekali tidak mengurangi kekacauan di dalam pikirannya. Paling tidak, mamanya tidak perlu mengkhawatirkannya seserius ini.
"Bagaimana tentang Mama?" Richard tiba-tiba teringat sesuatu yang ingin ia tanyakan pada Raya.
Raya mengerutkan kening, tidak mengerti maksud pertanyaan Richard.
"Bagaimana kisah Mama?"
Raya melengkungkan bibirnya datar, mengedikkan bahunya kecil. "Tidak ada yang special dengan kisah Mama. Papamu dan Mama menikah, memiliki kamu di antara kami, dan kami berpisah karena sudah merasa tidak cocok."
"Bagaimana dengan laki-laki yang Mama cintai? Apakah itu Papa? Ataukah ada orang lain? seperti Papa?"
Raya menegang, menatap manik mata anaknya. "Darimana kau tahu?"
"Apakah itu penting? Tidak sulit mengetahui bahwa pernikahan kalian bukanlah karena saling mencintai. Aku hanya ingin tahu dari sisi Mama."
Raya terhenyak cukup lama. Lalu mengangguk ringan mencerna kalimat Richard dan mulai bercerita, "Kami menikah karena perjodohan orang tua kami. Mama tahu bahwa papamu memiliki wanita yang sangat dicintainya. Begitu juga Mama. Kami sama-sama dewasa jadi kamu mencoba yang terbaik untuk saling melupakan orang di hati kami dan mencoba saling membuka hati. Sampai kamu lahir dan kami merasa tidak bisa bersama lagi. Kadang kami memang bertengkar, kemudian berbaikan dan berdebat karena sesuatu sebagaimana hubungan normal sebuah rumah tangga. Hanya saja, entahlah ... kami tidak bisa bersama lagi dan memutuskan untuk berpisah."
"Apa Mama tahu siapa wanita yang Papa cintai?"
Raya menggeleng. "Papamu hanya menceritakan kisah mereka. Keduanya sempat hampir menikah dan wanita itu melepaskannya karena papamu dijebak wanita lain kemudian harus bertanggung jawab atas anak itu dan menikahi wanita lain."
Richard mendongak, menegakkan badannya, merasa terkejut dengan cerita mamanya. "Apa Papa memiliki anak lain?"
"Pernah, tapi sebelum sempat dilahirkan wanita itu meninggal."
"Kecelakaan?"
Raya mengangguk.
Ya, Sebelum menikah dengan mamanya, Richard memang sudah tahu bahwa papanya pernah menikah dan mereka mengalami kecelakaan yang mengakibatkan istri papanya meninggal di tempat dan papanya koma selama seminggu lebih. Hanya saja ia tidak tahu bahwa wanita itu meninggal dalam keadaan hamil kakak tirinya.
Jadi, Nadia Farick melepaskan Dennis karena Dennis menghamili wanita lain. Pantas saja mamanya Zaffya begitu membenci dirinya. Wanita mana yang bisa menerima anak dari laki-laki yang sudah menghancurkan hatinya? Anak dari laki-laki yang sudah mengkhianati dirinya.
Richard tertunduk, menenggelamkan jemari di rambutnya yang lebat. Perutnya terasa mual mendengar penjelasan Raya. Merasa terkhianati oleh Dennis Anthony.
"Rich?" Ada nada cemas dalam suara Raya, "apa kau baik-baik saja?"
Richard segera mengangkat kepalanya, mengembuskan napas berat dan kembali memandang mamanya dengan tatapan yang berusaha terlihat baik-baik saja.
"Maafkan Mama."
"Tidak." Richard menggeleng. "Aku hanya tidak tahu harus berkata apa."
Raya sejenak mengamati ekspresi Richard. "Maafkan kami tidak bisa memberikan keluarga bahagia seperti yang kauinginkan. Kami tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kami berjanji untuk memprioritaskan dirimu di masa depan. Kau tahu kami menyayangimu, bukan?"
Richard tersenyum lembut, mengangguk ringan sambil bergumam, "Ya, aku tahu. Aku juga menyayangi Mama."
Raya beranjak dari kursi, berpindah di sebelah Richard dan memeluknya. "Mama sudah bersama dengan orang yang Mama cintai. Dan ada Dania di antara kami. Jaga baik-baik papamu, karena hanya kamu yang dimiliki papamu saat ini," gumam Raya di balik bahu Richard.
Richard mengangguk ragu dengan permintaan mamanya. Tidakkah papanya pantas mengalami penderitaan ini? Setelah mengkhianati mamanya Zaffya apakah papanya harus hidup berbahagia? Papanya tidak pantas bahagia. Papanya sama sekali tidak pantas mengatakan mencintai seseorang sementara kenyataannya papanya menghamili wanita lain. Apakah seperti itu yang di namakan cinta?
Richard menelan bulat-bulat segumpal duri dalam tenggorokannya. Walaupun sakit, ia tetap harus menelannya karena sudah terlanjur berada dalam tenggorokan. Masih adakah cara untuk menariknya keluar?
Masih adakah kesempatan untuk dirinya?
Haruskah ia kehilangan gadis yang ia cintai untuk kedua kalinya karena papanya?
***
Tuesday, 23 May 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top