12. Clara and Richard
Nothing's Changed
###
Part 12
Clara and Richard
###
Zaffya menekan penuh keran air sampai air dingin itu mengalir memenuhi kedua tangannya yang menangkup. Kemudian membungkuk dan membilas wajahnya. Berkali-kali mengusap hingga wajahnya yang sudah memerah karena amarah, semakin merah padam.
Ia berharap air dingin itu sedikit memadamkan amarah yang membara, kepada Dewa, kepada mamanya, kepada kakeknya, kepada nama belakangnya. Lalu ....
Zaffya mengangkat punggungnya, menatap bayangan sosok yang berdiri di hadapannya dengan napas yang berusaha ia kembalikan dengan normal.
Bagaimana lagi dia harus menghadapi ini semua? Menghadapi Richard, menghadapi Dewa, menghadapi mamanya.
Ia benar-benar sudah gila dan semakin hari semakin gila menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya.
Zaffya berhenti, terkesiap kaget, dan kembali membeku saat melihat sosok lain yang bersandar di tembok depan toilet. Napasnya tercekat di tenggorokan dan tak berniat meneruskan kerja paru-parunya.
Apa yang dilakukan Richard di depan toilet perempuan?
Apakah Richard tahu? tanya Zaffya penuh kekhawatiran pada dirinya sendiri.
Richard tersenyum, senyuman yang selalu mampu membuat Zaffya tertawan. Namun, kali ini disertai perasaan bersalah yang semakin menjadi.
"Apa ..." Zaffya mengamati baik-baik wajah Richard. Jika laki-laki itu tahu apa yang dilakukannya dengan Dewa di atas atap, tidak mungkin laki-laki itu terlihat baik-baik saja dan penuh ketenangan seperti ini.
Jangankan berani mendekati Zaffya, laki-laki itu selalu cemburu melihat laki-laki lain yang jelas-jelas melemparkan pandangan kagum padanya yang sama sekali tidak pernah ia perhatikan.
Dengan canggung, Zaffya mendekati Richard yang juga melangkah menghampirinya. Sedikit bernafas lega walaupun masih banyak perasaan bersalah yang meliputi hatinya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Nada dan suara Zaffya berusaha terdengar senormal mungkin. Berusaha menelan perasaan bersalah yang mengganggu.
Richard melebarkan senyum. "Aku melihatmu di ujung koridor. Apa kau tidak mendengarku memanggilmu?"
"Tidak." Zaffya menggeleng kecil.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Richard mengamati wajah basah Zaffya.
Zaffya mengangguk. Ya, ia baik-baik saja. Semoga.
"Sepertinya tidak."
"Sebelumnya tidak. Tapi sekarang baik-baik saja," jawab Zaffya. Richard memang selalu mempunyai efek besar untuk Zaffya. Mampu membuatnya baik-baik saja di saat bersama pria itu.
"Kecuali wajahmu yang lupa kau lap, kau memang baik-baik saja," timpal Richard membenarkan. Tangannya bergerak merogoh saku celana. Mengeluarkan sapu tangan berwarna biru muda dan mengangkat kakinya satu langkah mendekati Zaffya dan memegang bahu wanita itu. Kemudian mengusapkan sapu tangan itu di wajah Zaffya dengan lembut dan penuh kehati-hatian.
Setelah selesai, Richard melangkah mundur dan menyilangkan kedua tangan di depan dada. Tersenyum puas dengan hasil kerjanya dan berkata, "Jauh lebih baik."
Zaffya hanya tersenyum tipis. Bertingkah manis bukanlah yang dia sukai, tapi dia selalu suka dengan tingkah manis yang ditunjukkan Richard padanya.
"Kemarilah." Richard membuka kedua lengannya, mengisyaratkan Zaffya untuk datang kepelukannya.
"Kenapa?" Zaffya mengangkat alisnya.
"Aku tahu ada yang mengganggu pikiranmu. Jika kau belum siap untuk menceritakannya padaku, setidaknya aku bisa memelukmu."
Ya, Richard selalu tahu kapan dirinya membutuhkan laki-laki itu, dan saat ini, dirinya memang membutuhkan pelukan Richard. Memadamkan sejenak kekacauan yang sudah memusingkan kepala sejak tadi pagi.
Segera Zaffya melangkah mendatangi pelukan Richard. Dekapan Richard selalu mampu menenangkan dirinya. Suara degup jantung laki-laki itu selalu seirama dengan degup jantungnya. Membuatnya merasa tidak sendirian.
Richard mengecup puncak kepala Zaffya, aroma yang selalu ia sukai. Aroma yang tidak pernah membuatnya bosan. Matanya terpejam, menikmati aroma yang masih menempel keras di tubuh gadis ini. Walaupun ada aroma maskulin lain yang mengikuti.
Mengingatkan Richard pada kejadian beberapa saat yang lalu. Ketika ia baru saja keluar dari aula di lantai tiga gedung utama dan melihat punggung Zaffya yang menaiki anak tangga menuju atap gedung sekolah.
Berniat mengagetkan gadis itu yang selalu suka menyendiri mencari tempat sepi hanya untuk tidur atau melamun. Walaupun, sebenarnya ia sedikit heran pada langkah Zaffya yang menuju tangga atap. Bukankah gadis itu benci dengan angin dingin? Namun, ia mengabaikan perasaan itu dan mengangkat tangannya dengan hati-hati untuk membuka lebih lebar pintu besi. Sebelum kemudian langkahnya terhenti ketika melihat sosok lain yang ada di sana. Menunggu kedatangan Zaffya.
Richard membeku, menarik dirinya selangkah untuk mundur. Pembicaraan Dewa dan Zaffya membuatnya tak bisa menggerakkan kakinya munduratau pun maju. Membiarkan mereka memiliki privasi dan memaksanya mendengarkan semua. Hanya kepercayaannya pada perasaan Zaffya-lah yang membuatnya tidak menerobos masuk dengan tidak sopan pada pembicaraan mereka. Ia hanya memberikan Zaffya sebuah kepercayaan. Bukankah hubungan yang selalu dilandasi kepercayaan tidak akan mudah roboh dan hancur?
Richard menahan bara api yang meluap-luap di hatinya untuk tidak melayangkan tinjunya pada Dewa ketika melihat Dewa mencium Zaffya. Ia tidak mau Zaffya tahu bahwa gadis itu telah menyakiti hatinya. Ia tahu gadis itu akan lebih sakit hati jika tahu dirinya tidak baik-baik saja, dan ia lebih tidak ingin menyakiti hati gadis ini. Membuat Richard semakin menghancurkan wanita itu. Ia tahu apa yang selama ini diperjuangkan Zaffya dan itu adalah dirinya. Dirinya yang hanya seorang Clarichard Anthony.
"Aku mencintaimu," gumam Richard di balik bahu Zaffya.
"Aku juga mencintaimu," gumam Richard pelan di balik bahu Zaffya sambil mempererat pelukannya.
Zaffya tertegun, ada nada gelisah dalan suara Richard, tapi laki laki itu memeluknya sangat erat seakan ia bisa saja lepas dari genggaman Richard jika sedikit saja Richard melonggarkan pelukan pria itu. Sampai kemudian Zaffya mendorong dada Richard ketika merasakan sesak di dadanya.
Richard pun menarik diri dan memegang kedua bahu Zaffya sambil tersenyum penuh sesal. "Aku minta maaf."
"Apa kau berniat membunuhku?" dengkus Zaffya sinis.
Richard hanya tersenyum menjawab pertanyaan Zaffya. Tangan kanannya terangkat menangkup wajah Zaffya sambil ibu jarinya mengelus pelan bibir Zaffya. "Aku belum pernah setertarik ini pada apa pun atau siapa pun sebelumnya," gumam Richard pelan, "dan aku belum pernah mempercayakan kepercayaanku sebesar dan seyakin ini pada siapa pun. Bisakah aku mempercayakan cintaku padamu kali ini?"
Zaffya hanya tersenyum mendengar kalimat melankolis yang diucapkan Richard padanya. "Haruskah aku menjawab pertanyaan itu? Bukankah kau sudah tahu jawabannya."
Senyum dan kelegaan Richard semakin besar, "Ya. Aku tahu jawabannya."
***
Richard mengedarkan pandangan mencari seseorang di antara para pelanggan yang memenuhi kursi di dalam restaurant itu. Saat menemukan sosok paruh baya yang duduk di pinggir dinding kaca dan melambaikan tangan padanya, segera ia menyeberangi ruangan tersebut menghampiri meja tempat wanita paruh baya itu duduk.
Wanita itu cantik, memiliki mata dan warna rambut yang menurun pada Zaffya. Hanya saja wajah wanita itu memiliki wajah dan tatapan mata yang jauh lebih lembut daripada kekasihnya.
"Maaf, tante. Tadi Richard ada urusan sekolah sebentar," sapa Richard dengan senyum cerahnya, kemudian menarik kursi yang ada di hadapannya dan segera mendudukinya.
Nadia terdiam, memperhatikan dengan seksama replika seorang Dennis Anthony yang ada di depannya ini. Caranya memandang, caranya tersenyum, caranya berjalan, dan juga keseluruhan fisik yang dimiliki pemuda ini. Sama sekali tidak memiliki perbedaan dengan Dennis di masa muda.
Itulah yang membuatnya tak bisa menerima hubungan Zaffya dengan pemuda ini. Sekalipun mengucapkan nama pemuda itu.
Nadia mengingat pertemuannya dengan Dennis 20 tahun yang lalu.
"Apa ini yang kau inginkan?" tanya Dennis sengit pada wanita yang ada di hadapannya. Tangannya mengepal sampai buku-buku jarinya memutih. Jika saja bukan karena air mata yang mengalir di wajah Nadia, meja yang memisahkan mereka sudah hancur berkeping-keping sebagai pelampiasan atas kemarahannya.
Nadia menghapus air matanya dengan punggung tangan dan memohon"Kau harus melakukannya."
"Kau tahu dia menjebakku hanya agar aku menikahinya, bukan?"
"Semua sudah terjadi, Dennis. Lagipula, tidak ada lagi yang perlu diperjuangkan dengan hubungan kita. Aku tidak mencintaimu."
"Setelah semua yang kita alami bersama kau berani mengatakan tidak mencintaiku?" cecar Dennis dengan matanya yang membelalak tak percaya.
Nadia menatap lekat-lekat wajah Dennis yang merah padam karena amarah. "Kau berjanji melepaskanku jika aku tidak bisa mencintaimu."
Dennis diam
Nadia diam.
"Empat tahun hubungan ini apa tidak berarti apa-apa buatmu?"
Nadia diam. Hanya membisu melihat laki-laki yang dicintainya hancur berkeping keping. Tak jauh berbeda dengan dirinya yang juga remuk redam.
Dennis mendengkus, tahu bahwa arti diam Nadia sebagai jawaban ya untuk pertanyaannya. "Kau tahu, kalaupun aku menikahinya itu karena aku mencintaimu. Setelah anak itu lahir, aku akan menceraikannya dan mengambil anak itu."
"Kau bukan laki-laki kejam, Dennis."
"Kau yang memaksaku melakukan itu," desis Dennis.
Sekali lagi Nadia terdiam.
"Apa kau benar-benar menginginkanku menikahi wanita licik itu?" tanya Dennis sekali lagi.
Apa harus laki-laki ini menanyakan hal itu lagi? Tidak cukupkah sekali saja Dennis mengajukan pertanyaan menyakitkan itu?
'Jika kau ingin jawaban yang sesungguhnya, aku benar-benar tidak bisa melepaskanmu, tapi aku tidak bisa, wanita itu lebih membutuhkanmu daripada aku,' teriak batin Nadia pada Dennis.
Nadia mengangguk, dengan sisa-sisa kekuatan untuk menambal hatinya yang hancur lebur. Dennis tidak boleh tahu bahwa dirinya juga tidak menginginkan perpisahan ini.
Genggaman tangan Dennis semakin mengencang. Ia tersenyum, jenis senyuman dingin yang mampu membuat siapa pun bergidik ngeri. Namun, wanita di hadapannya ini hanya menampilkan wajah tenang, seakan anggukan kepala Nadia hanya jawaban normal untuk menjawab pertanyaan 'apa kau ingin makan?' yang dia lontarkan setiap kali mereka bertemu.
"Baiklah, aku akan menikahinya sesuai dengan permintaanmu."
Persetujuan Dennis benar-benar mengena di hati Nadia, ia benar-benar tidak bisa menahan air mata yang berteriak-teriak ingin meluap, tapi ia harus kuat, bukankah ini yang harus dilakukannya? ia tidak bisa membiarkan wanita lain menderita di atas kebahagiaannya.
"Dan sekarang, bisakah kau mengabulkan permintaanku?"
Tubuh Nadia menegang, permintaan apa yang diinginkan Dennis darinya? Apa Dennis akan memintanya menikah dengan pria itu jika nanti anak itu sudah lahir dan menceraikan wanita itu? Tubuhnya semakin menegang menunggu Dennis mengucapkan permintaan.
"Aku tidak akan memaksamu menikah denganku setelah anak itu lahir, karena aku tahu kau tidak akan membiarkanku bersikap brengsek pada wanita yang sudah melahirkan anakku. Tapi, bisakah kau memberikan nama untuk anakku nantinya? Nama yang sempat kau pikirkan saat kita berencana menikah dua bulan yang lalu. Saat semuanya masih baik-baik saja."
Nadia mengerjapkan matanya tak percaya dengan permintaan yang diajukan Dennis. Ia memang sempat memikirkan nama-nama untuk anak mereka nantinya setelah mereka menikah dan memiliki anak. Saat itu semuanya berjalan sangat baik-baik saja dan ia merasa tak ingin bangun dari mimpi indah itu.
"Bisakah kau memberikannya untukku? Satu jika anakku nanti laki-laki dan satu lagi untuk perempuan. Kita tidak tahu dia laki-laki atau perempuan, bukan?" Suara Dennis terdengar sangat tenang, genggaman tangannya sudah mengendor. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, mengamati ekspresi wanita yang membuatnya tergila-gila dengan seksama.
Tidak ada lagi sisa-sisa hatinNadia yang bisa dihancurkan lagi oleh Dennis dengan pertanyaan itu. Bagaimana mungkin laki-laki itu menyuruhnya memberikan nama untuk anak dari laki-laki yang sangat dicintainya dengan wanita lain? Tidak cukupkah rasa sakit yang menusuk ini ketika ia harus melepaskan laki-laki itu untuk wanita lain?
"Apa kau keberatan? Bukankah itu hanya sekedar nama?" tanya Dennis lagi, menatap lebih lekat ekspresi wajah Nadia. "Tidak akan sulit bagimu jika kau benar-benar tidak mencintaiku. Jika kau benar-benar menganggap hubungan kita selama ini sama sekali tidak ada artinya buatmu. Benar, kan?"
Nadia terhenyak setelah beberapa saat bungkam. Laki-laki ini sengaja menyakiti hatinya. Memastikannya mendapatkan rasa sakit yang dirasakan pria itu, dan berhasil.
"Aku hanya meminta itu darimu jika kau tidak bisa memberikan dirimu padaku. Apakah aku terlalu berlebihan?"
'Ya, itu sangat berlebihan. Aku sudah memberimu hatiku dan sekarang kau memintaku memberikan nama anak yang pernah kita impikan untuk anakmu dengan wanita lain," raung Nadia dalam hati.
Dennis tahu telah menyakiti hati wanita itu dengan permintaannya, dan itu sudah cukup membuktikan padanya bahwa Nadia juga tidak ingin melepaskan dirinya. Nadia tidak akan sanggup memberikan nama untuk anaknya dari wanita sialan itu. Dia tahu itu.
"Clara," guman Nadia lirih, menatap tepat di manik mata Dennis. Memastikan pria itu tahu bahwa dirinya tidak mencintainya.
Mata Dennis mengerjap, tidak menyangka Nadia sanggup melakukan itu. Sepertinya Nadia benar-benar berniat menyingkirkan dirinya dari kehidupan wanita itu.
"Nama yang cantik untuk anak perempuanmu." Suara Nadia terdengar lembut, disertai senyum tipis yang hambar. "Dan sepertinya Richard nama yang cocok untuk anak laki-lakimu. Dia akan menjadi laki-laki yang kuat dan berani sepertimu."
Dennis diam, kembali mengepalkan genggaman tangannya.
Nadia tahu kemarahan Dennis kembali membara ketika melihat tangan pria itu yang mengepal erat di hadapannya. Ia tidak akan heran jika sebentar lagi Dennis akan mendorong meja yang ada di antara mereka dan menghancurkannya dengan kepalan tangan itu. Namun, ia akan mengabaikannya. Ia harus mengabaikan kemarahan Dennis.
"Tante!" Suara Richard menghalau kenangan Nadia yang masih menorehkan luka di hati wanita itu.
Nadia mengerjapkan, mengembalikan kesadarannya dan kembali menatap sosok yang ada di hadapannya dengan senyum tipis, "Maaf.
Richard hanya membalas dengan senyuman yang lebih lebar, memandang Nadia dengan kening sedikit berkerut. "Bagaimana kabar Tante?"
"Baik," jawab Nadia singkat. Wajahnya kembali datar, ia tidak mau bersikap lembut pada pemuda ini. Atau dia akan kembali terluka lagi.
Satu detik
Dua detik
Lima detik
Keduanya hanya diam dalam keheningan. Sampai Richard memberanikan diri untuk berbicara.
"Apa ... apa yang ingin Tante bicarakan dengan saya?"
Nadia menyiapkan diri untuk memulai pembicaraan serius mereka. "Apa kau mencintai Zaffya?"
Richard belum pernah segugup ini diberikan pertanyaan sesulit apa pun. Sekalipun itu soal logaritma yang sangat rumit. Ia masih mampu menjawab meskipun sangat sulit untuk mencari jawabannya. Akan tetapi pertanyaan itu, ia sudah jelas-jelas tahu jawabannya, tapi kenapa mampu membuatnya segugup ini?
"Iya, Tante," jawab Richard diiringi anggukan kepala.
"Jika kau sangat mencintainya, bisakah kau melepaskan Zaffya untuk kebahagiaannya?"
Richard terpaku dengan pertanyaan yang melenceng jauh dari pertanyaan yang Nadia berikan di awal. Wajahnya berubah pucat ketika berusaha mencerna dengan lebih baik lagi. "Apa ... apa maksud Tante?"
"Tante tidak menyetujui hubungan kalian," jawab Nadia berusaha terlihat setenang mungkin, menguatkan hati. Berusaha mengabaikan goresan kecil di hatinya. Mata itu, ia pernah melihat mata penuh luka itu.
"Tante bahkan belum memberi kesempatan untuk saya," protes Richard tidak terima dengan keputusan sepihak itu.
"Memang tidak, dan tante tidak akan memberikan kesempatan apa pun untukmu."
Richard terhenyak. Berusaha menerima semua informasi yang baru ditangkap indera pendengarannya. Itukah sebabnya Zaffya melamarnya kemarin? Terburu-buru dan terlalu serius dengan hubungan mereka. Karena gadis itu tidak ingin kehilangan dirinya. "Zaffya mencintai saya. Begitu juga sebaliknya."
"Kau sangat mengenalnya dengan baik. Dia tidak akan melepaskanmu jika bukan kau yang melepaskannya. Kau menghalangi masa depannya."
Richard tidak bisa menangkap kalimat 'Kau sangat mengenalnya dengan baik...' yang dimaksud Nadia. Kalimat itu sedikit mengusiknya. Mengenal sangat baik karena Zaffya sangat mencintainya atau mengenal dengan baik bahwa Zaffya tidak bisa melepaskan dirinya sekalipun hal itu menghalangi masa depan wanita itu.
"Kau tahu tidak bisa bersamanya jika kau tahu benar siapa dirinya."
"Saya mencintai Zaffya bukan karena nama belakang yang menopangnya, Tante." Richard tidak terima dengan persepsi yang dipikirkan Nadia lewat nada wanita itu yang menganggap selama ini dirinya mencintai Zaffya karena latar belakang kekasihnya.
"Sebaiknya begitu."
"Dan saya hanya akan melepaskan Zaffya jika dia yang meminta pada saya."
Nadia diam. Ia tahu putrinya itu tidak akan pernah melepaskan pemuda ini. Bahkan jika tahu putrinya menemui pemuda ini dan menyuruh Richard meninggalkan Zaffya, ia tidak heran akan mendapat kemurkaan yang tidak pernah dibayangkan dari putrinya itu.
"Tante tidak memberi kesempatan pada saya. Jadi ... maafkan saya jika saya juga tidak akan memberikan kesempatan pada Tante untuk menyuruh saya melepas Zaffya. Sekali lagi maafkan saya bersikap egois."
Nadia tersenyum hambar, bahkan seorang Dennis Anthony juga menurunkan sikap keras kepala dan kegigihan pria itu untuk mempertahankan wanita yang dicintainya pada pemuda ini. "Kau benar-benar mirip dengan papamu," gumam Nadia pelan dan sinis, tapi masih bisa tertangkap oleh indera pendengaran Richard.
Richard mengerjapkan mata, keningnya berkerut heran dengan gumaman Nadia. "Apa ... apa Tante mengenal papa saya?"
"Kita pernah saling mengenal," jawab Nadia dengan suara menerawang. "Itulah sebabnya Tante tidak akan pernah memberikan kesempatan apa pun padamu untuk melanjutkan hubungan kalian."
"Kenapa?" tanya Richard dengan kening yang berkerut tidak mengerti, "Apa keluarga saya pernah membuat kesalahan pada keluarga Tante?"
"Kesalahan papamu dan Tante hanyalah karena kita pernah saling mencintai."
"Apa?!" Sekali lagi Richard terkesiap kaget dengan informasi yang semakin membuatnya terkejut. Papanya dan mamanya Zaffya pernah memiliki perasaan romantis? Ia benar-benar tidak bisa mempercayai ini semua.
"Setidaknya hanya Tante yang tahu itu."
"Apa maksud Tante?"
"Hanya Tante yang tahu bahwa hati Tante dimiliki oleh seorang Dennis Anthony."
Richard diam, jadi inikah wanita yang selama ini menawan hati papanya?
Inikah sebabnya papanya tidak pernah bisa untuk mencintai wanita lain?
Termasuk mamanya.
"Tante tidak bisa melihatmu ataupun papamu lebih dari ini. Jadi, bisakah kau menghilang dari kehidupan kami?"
Bagaimana semuanya bisa serumit ini? Tidak ada lagi yang bisa dipikirkan Richard saat ini. Ia butuh perg, dan di detik itulah Richard mendorong kursinya ke belakang. Beranjak pergi meninggalkan wanita paruh baya itu di mejanya.
***
Monday, 7 January 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top