10. Will You Marry Me?
Take Heart
###
Part 10
Will You Marry Me?
###
Zaffya terkesiap, merasakan dada Richard yang berdetak sama kencang dengan miliknya sendiri. Ia tak percaya dengan getaran ringan yang ditangkap oleh jemarinya. Ingin sekali berteriak karena tidak dapat menahan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan. "Apa ... apa kau mencintaiku?"
"Apa kau masih harus menanyakan hal itu?" Richard mencibir dan menggerutu ringan, "Sedangkan kau sudah tahu jawabannya."
"Berapa lama?"
"Apa aku juga harus menjawab pertanyaan itu?"
"Aku ingin tahu," jawab Zaffya penasaran. "Sejak kapan kau mulai merasakan perasaan tidak masuk akal itu padaku? Mengingat hubungan kita berjalan tidak seperti seharusnya."
"Apa?" Richard tertawa geli. "Perasaan tidak masuk akal?"
"Memangnya apa lagi namanya?"
"Perasaan cinta, Zaf."
"Itu hanya nama lainnya."
"Tidak bisakah kau bersikap sedikit romantis?" protes Richard, meletakkan jemari Zaffya di pangkuannya.
"Apa aku harus?"
Richard berdecak. "Kau benar-benar merusak momen romantis kita."
Zaffya mengabaikan decakan Richard, raut wajahnya kembali serius, "Kau belum menjawab pertanyaanku."
"Apa kau benar-benar ingin tahu?"
"Aku tidak akan menanyakannya jika aku benar-benar tidak ingin tahu."
Richard diam sejenak. Mengamati wajah Zaffya sambil mengulurkan tangan untuk menangkup pipi Zaffya. Matanya menatap mata Zaffya dengan sangat intens. Kemudian membawanya untuk mendekat ke arahnya. Menghilangkan jarak di antara mereka dengan perlahan sampai bibirnya mendarat di bibir Zaffya.
Zaffya merasakan ledakan emosi yang meluap-luap saat bibirnya bersentuhan dengan bibir Richard yang keras dan lembut. Perasaan tidak asing yang selalu menyelubunginya ketika berciuman dengan Richard. Terutama detak jantungnya yang berdegup dengan sangat kencang dan dengan irama yang tak beraturan. Semua itu begitu familiar sejak ia mengenal Richard.
Nafasnya tertahan merasakan Richard yang semakin erat memeluknya, ia melihat Richard memejamkan kedua matanya dan menikmati kelembutan bibirnya. Membuat Zaffya terbuai dan ikut masuk ke dalam irama yang dipimpin oleh Richard.
Richard melepaskan ciumannya saat mereka kehabisan nafa. Tanpa melepas pelukannya, ia menempelkan dahinya di dahi Zaffya. Melihat Zaffya yang masih memejamkan mata dengan nafas yang tidak kalah terengah-engah dengan dirinya.
"231109," bisik Richard di depan wajah Zaffya.
Zaffya membuka mata. Mata cokelat Richard begitu dekat, menatap matanya dengan tidak kalah intensnya. Seperti ada magnet yang saling tarik menarik.
Zaffya berusaha keras lepas dari jeratan mata itu, ia begitu penasaran akan sesuatu.
"Itu password apartemenmu." Suara Zaffya serak karena debaran yang masih menyerbu di dada.
"Itu pertama kalinya aku menyadari jatuh cinta padamu," jawab Richard mengingatkan. "Pertama kalinya kita berciuman."
"Kau mengacaukanku lama sebelum itu," gumam Zaffya.
"Aku sudah bertanggung jawab untuk itu."
Zaffya melengkungkan bibirnya tersenyum. "Aku sudah berhenti mencari tahu alasan apa yang membuatmu mengacaukanku."
"Kau memang tidak perlu mencari tahunya." Richard menarik diri setelah mengecup bibir Zaffya. Menangkup pipi Zaffya sambil mengelus lembut pipi itu dengan ibu jarinya. "Aku mencintaimu."
Zaffya merasakan kupu-kupu memenuhi seluruh perut dan dadanya. Beterbangan mengelilingi hati dan jantungnya. Ini adalah kata-kata cinta untuk pertama kalinya yang didengarnya sejak mereka berpacaran. Semua kata-kata itu melumpuhkan perasaan was-was yang memenuhi otaknya akhir-akhir ini. "Kau tahu aku juga merasakan hal yang sama padamu."
"Kau bisa mengungkapkannya?"
"Aku sudah mengatakannya padamu."
"Katakan 'aku juga mencintaimu'."
"Apa aku harus?"
"Tentu saja."
"Kenapa?"
"Dulu kau mengambil startku. Sekarang kau harus mengikutiku."
"Start apa maksudmu?" Zaffya tidak mengerti.
"Kau merusak harga diriku dengan menembakku duluan. Jadi aku ingin mengulanginya dari awal."
"Apa itu penting?"
"Buatku."
Zaffya diam. Mengamati wajah Richard dengan seksama. Memiliki dua sahabat cowok lebih mudah memahami harga diri seorang cowok. Walaupun harga dirinya sendiri sangatlah tinggi.
Richard mengulurkan kedua tangannya untuk menggenggam kedua tangannya Zaffya dengan erat. Ia menghembuskan nafasnya pelan. Mempersiapkan apapun yang akan dikatakannya. "Aku mencintaimu."
Zaffya diam sejenak. Ia melihat Richard yang menunggu jawaban darinya. "Aku juga mencintaimu."
"Jadi... maukah kau menjadi kekasihku?"
"Apa aku juga harus menjawabnya. Bukankah kita sudah berpacaran dari tujuh bulan yang lalu?"
"Apa kau mau jadi kekasihku?" Richard mengulangi pertanyaannya, mengabaikan jawaban yang tidak diharapkannya.
"Baiklah. Aku akan menerimamu menjadi kekasihku. Jadi ... apa kita sekarang ...." Zaffya menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuknya, kemudian menunjuk Zaffya secara bergantian. "... sepasang kekasih?"
Richard mengerutkan keningnya. Sepertinya ia pernah mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Zaffya. Ia mencoba mencari ingatannya dengan seksama. Dan menyadari sesuatu, "Kau mencuri jawabanku?"
"Kau duluan yang mencuri pertanyaanku," jawab Zaffya tenang.
Richard tertawa geli. Kenapa ia begitu menyukai ekspresi apapun yang terpampang di wajah Zaffya.
Drrttt.... drrttt.....
Getaran di nakas mengalihkan perhatian mereka. Zaffya segera melepas genggaman tangan Richard di tangan kirinya dan memungut ponselnya. Membaca nama Ryffa di caller id pemanggilnya.
"Hallo?"
"Aku melihat mobil papamu di basement. Apa kau ke apartemenku?"
"Aku di tempat Richard," jawab Zaffya. Ia melihat Richard yang beranjak dari tepi kasur sebelum mengambil nampan berisi cangkir yang ada di nakas.
"Aku ke dapur membuat makan malam untuk kita," pamit Richard. Dan dijawab anggukan oleh Zaffya.
"Anak gadis tidak baik main ke tempat laki-laki sampai larut begini. Lebih baik kau naik ke apartemenku sekarang."
Zaffya mendengkus, "Apa kau bukan laki-laki?"
"Aku berbeda dengan Richard."
"Memang," jawab Zaffya ringan tanpa basa basi. Richard laki-laki yang dicintainya dan Ryffa adalah akal sehatnya.
"Lagipula, aku bukan gadis yang ada di otakmu. Jadi, buang jauh-jauh pikiran liarmu."
"Tetap saja. Laki-laki dan gadis tinggal dalam satu ruangan. Memangnya apalagi yang mesti dilakukan," Ryffa masih belum terima.
"Ya, itu bedanya Richard denganmu."
"Laki-laki di mana pun sama saja, Zaf. Jangan tertipu dengan wajah polosnya."
"Kau sudah bilang itu seratus kali."
"Aku cuma mengingatkanmu."
"Tenang saja. Aku masih ingat. Sekarang aku sibuk. Kau menggangguku," Zaffya menggerutu.
"Zaf!"
"Bye." Zaffya mematikan panggilannya. Meletakkan ponselnya di nakas, menyingkap selimut yang menutupi kakinya dan turun dari atas kasur. Berjalan keluar kamar Richard mencari laki-laki itu.
###
"Apa kau ingin makan sesuatu untuk makan malammu?" tanya Richard yang berdiri di depan kompor listrik. Mengaduk-aduk apapun itu yang ada di pan sambil memperhatikan Zaffya yang naik ke atas kursi bar.
Zaffya menggeleng. Lalu menumpangkan kedua tangannya di atas meja pantri. Mengamati Richard dari balik meja pantri, mencium harum saus lombok bercampur bawang-bawangan. "Aku selalu menyukai masakanmu, apapun itu."
Richard tersenyum tipis, "kecuali kacang polong."
"...dan wortel," tambah Zaffya lagi.
Zaffya ikut tersenyum tipis. Ya, ia memang paling benci dengan dua makanan itu. Baunya, bentuknya, warnanya. Entah kenapa ia tidak menyukainya.
"Apa ada yang bisa kubantu?" Zaffya menawarkan diri, walaupun ia tidak yakin akan 'bisa membantu' apapun itu yang nantinya dijawab Richard. Karena dia yakin malah akan membuatnya hancur.
Senyum Richard berubah menjadi senyum geli. Bagaimana gadis itu bisa menawarkan diri untuk membantu di dapur, bahkan cara memegang pisau dapur dengan benar saja tidak bisa. Richard takut pisau itu malah yang akan melukai jari Zaffya dan justru dirinya yang akan memberikan bantuan mengurus luka itu. Karena gadis itu tidak pernah bisa merawat dirinya dengan benar.
"Tidak bisakah kau berpura-pura menolak tawaranku dengan baik? Aku sudah mencoba bersikap baik dengan menawarkan bantuan." Zaffya tersinggung dengan senyum geli Richard sebagai jawaban untuk tawarannya. Ia malu, sebagai seorang gadis bahkan bisa dihitung berapa kalia ia menginjakkan kakinya di dapur. Itupun jika dia hanya menginginkan sesuatu dan menunggu pengurus rumah tangga yang akan membuatkan sesuatu untuknya.
Ting... tong....
Suara bel apartemen bergaung di seluruh ruangan, membuat Richard mengalihkan pandangannya ke arah pintu yang ada di ujung ruangan. "Mungkin kau bisa membantuku melangkahkan kakimu ke sana dan membukakan pintu untuk tamu kita."
"Siapa yang bertamu malam-malam begini?" gumam Zaffya sambil menurunkan tubuhnya dari kursi pantri dan melangkah untuk mencari tahu.
Zaffya membelalakkan matanya ketika mendapati sosok tak asing yg berdiri di balik pintu apartemen Richard. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Zaffya ketus.
"Aku mau menginap di sini." Ryffa segera menerobos masuk sebelum Zaffya menutup pintu itu dan menguncinya dari dalam.
"Yang benar saja kau?!" Zaffya mengangkat tangannya tak percaya dengan ide gila Ryffa. Ini bukan pertama kalinya ia menginap di apartemen Richard, dan laki-laki itu sekarang bersikap seperti seorang ayah yang tidak ingin anak perempuannya dinodai oleh kekasihnya. Lagipula, Zaffya tidak akan bertindak sejauh itu dengan Richard. Masih banyak hal yang harus mereka lakukan daripada hanya menuruti kebutuham primitif manusia yang memang belum saatnya. Dirinya dan Richard tahu itu.
Ryffa melenggang masuk, tidak mempedulikan protes yang ditunjukkan Zaffya. "Hai, Richard." sapa Ryffa seraya melangkah menuju meja pantri.
"Hai," Richard membalas sapaan Ryffa sambil mengedikkan bahunya, kedua tangannya masih sibuk mengaduk-aduk saus yang ada di depannya.
"Kebetulan sekali aku belum makan. Masak apa?" Ryffa melongok melihat apa yang diaduk-aduk oleh Richard.
"Tidak ada bagian untukmu." Zaffya memukul bagian belakang kepala Ryffa dengan keras.
"Aawww.... sakit, Zaf." Ryffa meringis kesakitan sambil mengusap-usap bagian belakang kepalanya.
Richard tertawa kecil melihat dua sahabat yang ada di hadapannya itu. Sambil mengangkat pan dari atas kompor dan menuangkannya di atas cumi tepung goreng yang sudah siap di atas piring besar.
"Apa kau tidak punya malu?"
"Kenapa kau sinis sekali? Richard yang punya rumah baik-baik saja."
"Aku tidak." Jawab Zaffya sengit.
"Itu masalahmu."
Zaffya mengangkat tangannya berniat memukul kepala Ryffa sekali lagi. Namun dengan gesit Ryffa menarik dirinya kebelakang. Membuat Zaffya mengurungkan niatnya.
"Kalau kalian mau makan, sebaiknya kalian siapkan piringnya di meja." lerai Richard, ia meletakkan pan kotor itu ke cucian piring yang ada di belakangnya dan mencucinya.
Zaffya melototkan matanya ke arah Ryffa. Lalu turun dari kursi pantri dan melangkah menuju lemari piring yang ada di ujung dapur itu.
###
"Apa..." Zaffya menghentikan suaranya. Masih menimbang-nimbang apakah harus menanyakannya kepada Richard.
Richard membelokkan mobilnya di tempat parkir. Setelah menemukan posisi yang tepat dan mematikan mesin mobilnya, ia menengok ke arah Zaffya.
"Kau ingin mengatakan apa?"
Zaffya terdiam. Haruskah ia? Bukankah cukup baginya seperti ini saja?
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Richard lagi. Menaikkan salah satu alisnya heran dengan Zaffya yang tampaknya berpikir keras.
"Pernahkah kau berpikir?" Zaffya menarik nafasnya sebelum bertanya lebih lanjut. "Sampai manakah hubungan kita ini?"
"Apa maksudmu?" tanya Richard diiringi senyum gurauannya.
"Pernahkah kau memikirkan tentang hubungan kita?"
"Apa yang harus dipikirkan? Bukankah selama ini kita menjalaninya baik-baik saja?" jawab Richard tenang.
"Maksudku... hubungan kita selanjutnya?"
Richard tampak mengangkat alisnya sekali lagi. Tidak mengerti dengan maksud pertanyaan Zaffya.
"Apa kau pernah memikirkan, apa kita harus bertunangan, dan... menikah mungkin? Suatu saat nanti."
Richard tertawa kecil dengan kalimat yang diucapkan oleh Zaffya. "Kenapa kau selalu serius?"
"Serius?" Zaffya mengulangi kata Richard. Menandakan ia tidak mengerti dengan pertanyaan Richard.
"Ya. Kau terlalu serius memikirkan sesuatu. Bukan berarti hubungan kita tidak serius. Tapi... tidak bisakah kau menikmati masa masa remaja kita? Menikmati hubungan kita. Berdebat karena hal kecil, marahan, baikan, cemburu. Kau selalu menyikapi hubungan kita dengan serius, walaupun aku tahu kau sebenarnya juga menikmatinya dan baik baik saja dengan semua ini. Tapi, tidak bisakah kau... menikmati masa remajamu?"
Zaffya terdiam, tampak berpikir keras dengan kalimat-kalimat Richard.
"Kau tahu... " Richard merubah posisi duduknya menghadap Zaffya, kemudian mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Zaffya. "...kita masih SMA. Kita masih harus lulus dan melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Kenapa kau memikir hal-hal sejauh itu? Ya, mungkin kita memang akan menjalaninya. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk memikirkannya. Apa kau tidak punya impian?"
"Impian?" gumam Zaffya pelan mengulangi kata terakhir Richard.
"Ingin jadi dokter?" Richard menanyakan hal itu sambil menyimpan tawa gelinya. Mengingat lagu anak-anak yang suka dinyanyikannya dulu.
Zaffya terdiam.Impian? Memangnya apa yang dia inginkan untuk masa depannya? Dokter seperti Ryffa, atau Profesor seperti Vynno? Lagipula masa depannya sudah jelas. Akan jadi penerus Casavega Group.
Richard menghentikan tawa gelinya saat memyadari ekspresi yang ditampilkan Zaffya. Gadis ini memang selalu lurus dan serius apapun itu. Kaku dan dingin, tak tersentuh. "Apa kau tidak ingin jadi apa suatu saat nanti setelah lulus kuliah? Atau memikirkan jurusan apa setelah lulus SMA nanti?"
"Memangnya apalagi? Bukankah aku harus belajar bisnis. Menjadi pemimpin Casavega Group." Zaffya memandang ke kaca mobil depan. Menatap gedung Casavega high school yg berdiri megah di hadapannya.
Richard langsung terdiam, ia mengikuti arah pandang Zaffya. Merasa bersalah dengan kalimatnya. Selama tujuh bulan mengenal gadis ini, ia tahu. Gadis seperti Zaffya yang terlahir dari keluarga kelas atas, memang tidak pernah punya banyak pilihan untuk hidupnya sendiri. Dari sebelum lahir, memang diharapkan kelahirannya untuk meneruskan aset keluarga. Tidak heran jika suatu saat nanti gadisnya ini akan dijodohkan dengan seseorang untuk perkembangan perusahaan atau kerja sama antar perusahaan. Dan perusahaan milik keluarganya, tidak akan mampu menambah nilai plus untuk dirinya. Itulah yang membuatnya terlalu silau untuk melihat Zaffya.
"Aku... aku tidak tahu harus berkata apa." ucap Richard penuh perasaan bersalah dan memecah keheningan di antara mereka.
"Apa kau mau menikah denganku?" tanya Zaffya langsung to the point begitu mengalihkan pandangannya dari gedung megah Casavega high school ke arah Richard.
Richard terpaku, mulutnya melongo dengan mata membelalak kaget. Bagaimana tidak?
Aa...apa baru saja Zaffya melamarnya?
Gadis ini melamarnya seperti waktu dulu gadis ini menembaknya?
Apa dia harus kehilangan start untuk kedua kalinya?
Saat menyadari perasaannya pada gadis ini, ia pernah bertekad untuk tidak membiarkan Zaffya mengambil startnya. Bahkan ia pernah memikirkan bagaimana lamaran yang romantis untuk Zaffya saat ia baru saja lulus kuliah.
Dan sekarang?
Apa yang terjadi?
Zaffya melamarnya bahkan sebelum lulus SMA.
Zaffya menyadari wajah Richard yang langsung pucat pasi. Sepertinya ia terlalu memaksakan kehendak pada Richard. Baru kemarin Richard mengatakan mencintainya dan sekarang ia mendesak Richard dengan pertunangan.
Apa dirinya sudah gila?
Wajah pucat itu sudah cukup menjawab pertanyaannya tadi?
Dan sekarang?
Apa dia sanggup menghadapi penolakan laki laki itu?
Tok... tok... tok...
Suara kaca mobil yang diketuk dari luar membuyarkan lamunan mereka. Mengalihkan perhatian dan melenyapkan udara tegang yang ada di antara mereka berdua.
Richard mengerjap, menekan tombol di pintu mobil dan membuat kaca itu turun perlahan.
"Sebentar lagi bel, kenapa kalian masih mendekam di dalam sana?" cerocos Vynno begitu tidak ada penghalang di depannya dengan yang bersangkutan. "Belum cukup acara kencannya tadi malam?"
Zaffya melemparkan tatapan membunuhnya pada sepupu sialannya itu. Dan sepertinya ia sedikit bersyukur, Vynno datang di waktu yang tepat. Saat ini ia belum sanggup mendengar penolakan Richard secara langsung, walaupun arti tatapan Richard tadi sebenarnya sudah cukup buatnya. Setidaknya, kalimat penolakan itu belum terucap dari mulut Richard. Zaffya mencoba menyangkal.
"Ya, sudah. Aku ke kelas dulu. Bye!" Zaffya segera melepas genggaman tangan Richard dan membenarkan letak tali tas selempangnya di bahu. Membuka pintu mobil dan melompat keluar dengan sedikit terburu-buru.
"Tapi, Zaf?" Richard belum menyelesaikan kalimatnya ketika Zaffya menutup pintu mobil dan melangkah menjauh dengan sedikit terburu-buru. Iapun hanya bisa memandangi punggung Zaffya dan Vynno yang kini sudah berhasil menyusul langkah Zaffya.
"Aku belum selesai bicara." Gumam Richard muram.
###
Tuesday, 11 April 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top