chapter 55
Kalau boleh jujur, Tante juga ingin Angelic bangun lagi, sehat seperti yang lain, menikah, punya anak...
Tante kasihan sama Robin...
Tante nggak mau Angelic menjadi beban untuk Robin...
Tante nggak mau Robin menghabiskan waktunya hanya untuk menunggu Angelic...
Tante senang jika Robin sudah menemukan tambatan hatinya...
Angelic akan baik-baik saja...
Dia pasti akan mengerti...
Kalimat-kalimat itu bertebaran di dalam kepalaku bak kupu-kupu yang sedang menari-nari. Penggalan kata-katanya demikian jelas dan aku bahkan masih mengingat dengan jelas isi percakapan yang kami lakukan beberapa menit yang lalu di rumah Tante Siska. Aku juga sempat menemui Angelic dan menggenggam tangannya. Tanpa kata. Aku sangat bodoh, bukan? Harusnya aku bilang sesuatu padanya, kan? Meski itu cuma sebaris kata halo atau sekadar salam. Ia memang sedang terbaring koma, tapi konon alam bawah sadarnya masih bisa berfungsi dengan baik. Mungkin ia masih bisa mendengar setiap suara yang berada di sekitarnya, kan?
Penyesalan yang hanya bisa kuratapi sepanjang jalan pulang ke rumah. Bibirku terkatup dengan rapat dengan tatapan kosong ke depan. Bahkan keberadaan Robin di sebelah tempat dudukku juga kuabaikan.
"Mau mampir makan?"
Robin membuka suara. Terlalu lama larut dalam keheningan pasti membuatnya bosan.
"Aku nggak lapar," gumamku tanpa menoleh.
"Kenapa? Kehilangan nafsu makan?" desak laki-laki itu berusaha memancing reaksiku.
Aku mendesah pelan dan menoleh ke arahnya. Aku sangat paham ke mana arah pikirannya. "Nggak lapar dan kehilangan nafsu makan itu beda, Bin," tandasku datar.
"Tapi, aneh rasanya kalau seseorang yang melewatkan makan siang tiba-tiba merasa nggak lapar jam-jam segini," celutuknya mengimbangi kalimatku. Tampaknya ia memiliki energi lebih untuk mengajakku berdebat.
Memang sekarang sudah lewat jam makan siang. Kami kelewat lama di rumah Tante Siska tadi.
"Aku mau pulang aja. Capek," keluhku memutar topik. Membicarakan rasa lapar dan makan siang adalah sesuatu yang sama sekali tidak menarik perhatianku saat ini.
"Nggak makan dulu?"
"Ntar aja di rumah," sahutku malas.
"Beneran kamu makan kalau udah nyampek rumah ntar?" desak Robin seolah aku sudah melontarkan satu kebohongan padanya.
Aku melotot ke samping. "Aku juga manusia biasa yang butuh makan, Bin. Dan aku akan makan kalau udah beneran lapar. Seberat apapun masalah yang harus kuhadapi, aku nggak pernah lupa makan. Aku bukan anak kecil yang perlu diingatkan, ngerti?" cerocosku seperti hilang kendali. Ibarat kata aku lupa dengan siapa aku berbicara sekarang. Dia Robin, Sas. Bukan Radit yang bisa kamu semprot seenaknya.
Robin tergelak pelan.
"Kenapa ketawa?" tanyaku tersinggung. Bayangkan saja, seseorang yang marah lalu ditertawakan pasti akan merasa tersinggung, bukan?
"Nggak pa pa. Aku seneng aja. Sasta-ku udah balik," ucapnya. Dan wajahnya serius menampilkan raut bahagia.
"Hah?" Selain melongo seperti orang idiot, apalagi yang bisa kuekspresikan sekarang? Tak ada.
"Iya. Aku lebih seneng lihat kamu ngomel gini ketimbang lihat kamu diem ngelamun. Serius," tandasnya terkesan tidak dibuat-buat.
Aku mendengus dan mengembalikan fokus pandangan mata ke depan. Dasar orang aneh.
"Oh, ya. Gimana rencana kita ke depan?" tegur Robin kembali mengisi kekosongan. Aku masih belum punya topik untuk dibahas.
"Rencana ke depan apa?" Aku menatap bingung ke arahnya. Semenjak bersama Robin, tingkat IQ-ku seperti menurun drastis.
"Kita berdua." Ia menoleh sejenak ke arahku. "maksudku hubungan kita mau dibawa ke mana?"
Kayak lagu aja.
"Dibawa ke mana maksudnya?" tanyaku lagi-lagi seperti orang bego. Harusnya percakapan seperti ini mudah untuk ditebak ujungnya, kan? Tapi, pikiranku seolah mengajak mulutku untuk berputar-putar.
Robin tidak serta merta menjawab pertanyaanku. Laki-laki itu menepikan mobilnya persis di sebelah pintu gerbang rumahku. Bodohnya aku karena baru sadar jika kami telah sampai di rumahku.
"Sas." Robin sedikit memutar tubuhnya menghadap ke arahku. "kamu tahu, kan aku serius dengan perasaanku?"
Aku menelan ludah dan sedikit menggerakkan kepala tanda mengiyakan pertanyaan Robin. Ia sudah pernah mengatakan hal itu sebelumnya, kan?
"Kamu mau nggak nikah sama aku?"
Detik berikutnya aku hanya bisa bergeming. Robin juga. Laki-laki itu gencar menatap kedua mataku dan kami sedang berbagi keheningan dalam manequin challenge yang dimulai tanpa aba-aba.
Nyatakah ini, ya Tuhan? Laki-laki di hadapanku ini sedang menunggu jawabanku, bahwa ia ingin mengikat janji suci denganku. Ia ingin mengarungi kehidupan ini bersamaku dan mempercayakan cintanya di tanganku.
"Kamu yakin?" tanyaku nyaris tak terdengar.
"Ya." Robin mengangguk. "aku nggak akan bilang ini kalau aku nggak yakin."
Bisakah aku melompat dari tempat dudukku sekarang dan terbang membumbung ke angkasa karena terlalu bahagia?
"Secepat ini?" Mungkin aku terlalu mengulur waktu dan terus bertanya padanya, tapi aku harus bilang, kalau aku perlu diyakinkan seyakin-yakinnya. Karena ini menyangkut masa depan, bukan sehari atau dua hari saja. Tapi selamanya.
"Aku nggak mau menunda, Sas... "
"Kamu udah kebelet pingin nikah?" delikku menunjukkan sejumlah lipatan di kulit keningku.
"Kamu nggak?"
"Aku yang nanya lebih dulu, Bin. Kok kamu malah nanya balik," gerutuku sambil memukul pundaknya. Ups, aku lupa kalau ia bukan Radit. Dan tentu saja ia tidak mengelak seranganku seperti yang biasa Radit lakukan, tapi laki-laki itu malah menangkap tanganku.
"Kalau aku udah yakin sama pilihanku, kenapa nggak? Lagian kata orang, pacaran setelah menikah itu jauh lebih indah." Robin mengerling genit.
"Sok tahu." Aku berusaha menarik tanganku, tapi Robin malah memperkuat cekalannya. Memaksaku mengurungkan niat untuk turun.
"Kamu belum jawab pertanyaanku."
Pertanyaan? Yang mana?
"Kamu mau nggak nikah sama aku?" Robin mengulangi pertanyaannya melihat reaksi bingung yang kutunjukkan.
"Apa mataku nggak bilang sesuatu?"
"Apa?" Robin mendelikkan matanya. "aku nggak suka tebak-tebakan soal serius seperti ini, Sas," tandasnya terlihat tidak sabar.
"Bisa nggak kamu lepasin tanganku dulu?" pintaku seraya melirik ke arah tangan kananku yang masih erat dalam cekalannya.
"Oke." Robin melepaskan tanganku dengan sukarela. "sekarang kamu bilang, kamu mau atau nggak nikah sama aku? Aku butuh jawaban kamu sekarang, Sas. Nggak pakai lama," ucapnya setengah memaksa.
"Ya, aku mau," ucapku setelah laki-laki itu menutup mulutnya.
"Kenapa jawab gitu aja pakai ribet banget, sih?" keluh Robin seraya mencubit pipi kananku tiba-tiba. Apa aku segitu menggemaskan? Iya, kali.
"Apaan sih? Sakit tahu nggak?" Aku mengusap pipiku yang memanas bukan karena cubitan Robin. Tapi, karena tersipu malu setengah mati.
"Ya, udah. Kamu masuk gih. Makan terus istirahat," suruhnya berlagak menjadi calon suami yang baik.
"Sok perhatian banget," gerutuku sambil bersiap turun. "kamu hati-hati nyetirnya. Aku turun dulu."
"Iya."
Aku segera berlari ke teras setelah mobil Robin kembali melesat ke jalan. Ada perasaan aneh yang sedang meletup-letup di dalam dadaku sekarang ini. Perpaduan antara bahagia, deg-degan, cemas, dan takut. Oh, Tuhan... tolong singkirkan perasaan terakhir yang kusebutkan tadi dari dalam dadaku.
Bruk.
Aku meringis kecil ketika ujung sepatuku tersandung anak tangga teras dan menyebabkan lututku mendarat tepat di atas lantai keramik yang keras.
Duh, kenapa kejadian bodoh ini terulang lagi, sih?
Aku bangun dan kembali melanjutkan langkah meski dengan tertatih. Lututku masih terasa berdenyut sampai beberapa menit kemudian. Tapi, untungnya tidak ada yang melihat kejadian memalukan itu. Hadeh.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top