chapter 53
"Pacar kamu nyariin tuh."
Aku terperangah mendengar sebaris kalimat pemberitahuan yang baru saja dilontarkan Prima. Kakak tiriku itu melancarkan tatapan mencurigakan ke arahku, tapi tentu saja dengan pose yang keren. Sehelai sweater yang kelihatan hangat membungkus tubuh bagian atasnya dipadu dengan celana berbahan denim di bawah lutut. Salah satu pundaknya bersandar pada kusen pintu kamarku, sementara kedua tangannya bersembunyi di dalam saku celana.
Pacar? Sejak kapan aku punya pacar?
"Siapa?" tanyaku keheranan. Aku belum menentukan sebuah nama sebagai sasaran tebakan.
"Robin. Dia lagi ngobrol sama Papa dan Mama di ruang tamu, tuh... "
Gawat!
Aku segera mengayunkan kedua kaki untuk menuruni tangga begitu Prima menyebut nama Robin. Dan apa yang dilakukannya tadi? Ngobrol sama Papa dan Mama? Oh, tidak!
"Sas! Kamu mau nemuin Robin dengan penampilan seperti itu?!"
Penampilan seperti apa? Rambut berantakan mirip Mak Lampir karena aku baru saja berbaring di atas tempat tidur setelah makan malam? Oke, itu kebiasaan burukku, tiduran setelah makan. Atau kaos kedodoran bergambar Tweety yang sedang berpose manja favoritku yang kerap kupakai saat tidur? Penampilan bukan nomor satu buatku. Toh, Robin harus tahu bagaimana penampilan terburukku mulai dari sekarang kalau ia tidak ingin menyesal telah menyatakan perasaannya padaku.
Aku masih terengah-engah begitu menginjakkan kaki di ruang tamu. Robin sedang berbincang dengan Mama dan Papa, namun kemunculanku serta merta mengalihkan perhatian mereka.
"Kamu nggak pernah bilang kalau kamu punya pacar," sambut Mama dengan pura-pura memasang wajah sewot. Padahal aku bisa melihat binar-binar terang terpancar dari kedua matanya. Ya, ya. Setidaknya ia percaya kalau aku sudah menemukan pengganti Reza.
"Bisa kami bicara berdua?" Aku menatap ke arah Papa dan Mama bergantian untuk meminta izin. Dan keduanya sangat tidak keberatan meninggalkan ruang tamu beberapa saat kemudian. Tapi, aku lebih suka menyeret Robin ke teras samping daripada ngobrol di ruang tamu. Karena dinding-dinding di sana tidak kedap suara dan aku takut perbincangan kami nantinya menembus ke ruang tengah.
Aku membawa Robin ke tepi kolam renang dan menempati bangku kayu yang berada di sana. Kami duduk berdampingan dan sama-sama mengarahkan pandangan ke kolam yang terlihat samar. Lampu di sana tidak terlalu terang malam ini. Mungkin sengaja dimatikan sebagian demi menghemat listrik. Tapi, aku lebih nyaman dengan keadaan seperti ini ketimbang duduk berhadapan dengan Robin seperti di cafe beberapa hari yang lalu. Keremangan malam bisa menyembunyikan ekspresi wajahku setiap saat.
"Kamu baik-baik aja?" tegur Robin seraya menoleh ke arahku. Tapi, aku enggan untuk balik menatapnya. Kejadian di cafe saat itu membuatku merasa bersalah dan malu setengah mati padanya.
"Ya."
"Syukurlah. Aku sempat khawatir kamu marah atau kecewa sama aku," tandas laki-laki itu terdengar lega.
"Kamu bilang apa sama Mama dan Papa? Kamu nggak bilang apa-apa, kan?" tolehku dengan cepat setelah teringat kejadian beberapa menit lalu. Sumpah, aku takut jika Robin bilang sesuatu pada kedua orang tuaku. Terutama soal Angelic.
"Nggak. Aku nggak bilang apa-apa... "
"Hah... Syukurlah." Ganti aku yang menarik napas lega.
"Aku kangen sama kamu, Sas."
Jleb.
Aku menoleh ke arah Robin dengan gerak refleks dan tanpa bisa kuhindari, laki-laki itu sedang menatapku penuh arti. Aku menemukan seberkas kesungguhan terpancar dari kedua matanya, juga ketulusan. Tapi, di waktu yang bersamaan aku juga mendapati bayangan Angelic berkelebat cepat di dalam mata Robin.
Tidak! Aku tak bisa menatap mata Robin lebih lama lagi dan terpaksa menjatuhkan pandangan ke lantai di mana kakiku berpijak.
"Kamu nggak kangen sama aku?" tanya Robin sedetik kemudian.
Aku menelan ludah. Kalau mesti jujur, aku memang merindukan Robin, tapi sayangnya bibirku enggan untuk mengatakannya.
"Sas... "
Aku benar-benar harus mengangkat wajah ketika tangan Robin singgah di atas punggung tanganku. Lagi-lagi aku harus melawan tatapan mata miliknya yang teramat dalam menembus ke dalam jantungku. Mengunci pergerakan tubuhku dan membuat napasku mulai sesak.
"Aku serius dengan perasaanku, kamu tahu?" Laki-laki itu memutuskan untuk menggenggam jemariku seolah bisa membaca segala keraguan yang kulukis di dalam mataku.
"Aku nggak bisa, Bin." Aku berusaha menarik tanganku dari genggamannya.
"Karena Angelic?"
Aku bergeming tanpa jawaban. Toh, ia sudah tahu alasanku meski aku tidak mengatakannya. Semuanya sudah terbaca lewat bahasa tubuhku.
"Please, Sas... " Robin menahan gerakan tanganku yang berusaha melepaskan diri dari genggamannya. "kamu bisa bayangkan gimana posisiku sekarang, kan? Aku juga sangat merasa bersalah sama Angelic. Aku sama sekali nggak pingin menyakiti siapapun. Tapi, aku cuma manusia biasa yang nggak punya kesabaran lebih... "
"Apa jika aku koma, kamu juga akan ninggalin aku?" Suaraku terdengar gemetar. Dan kedua mataku juga memanas di saat bersamaan.
"Apa?"
Jelas sekali Robin sangat terkejut mendengar pertanyaanku. Ekspresi wajahnya berubah tegang.
"Aku juga wanita, Bin. Aku tahu gimana rasanya dicampakkan, tahu nggak?"
"Sas." Laki-laki itu sudah mencengkeram lenganku dengan segenap kekuatan yang dimilikinya seolah takut aku akan kabur seperti beberapa waktu yang lalu di cafe. "lalu aku harus gimana? Menunggu Angelic bangun dari komanya lalu kamu pergi mencari cowok lain? Gitu mau kamu?"
"Nggak gitu, Bin."
"Lalu apa mau kamu?"
Aku tersudut. Pertanyaan Robin mengambang tanpa jawaban.
"Angelic bisa mendapatkan cowok manapun saat dia bangun nanti, Sas. Dia cantik dan aku yakin dia akan mendapatkan orang yang lebih baik daripada aku."
"Tapi dia mencintaimu."
"Aku tahu," tukas Robin cepat. "tapi kamu juga mencintaiku."
Aku membuang tatapan ke arah lain demi menghindari perdebatan yang tidak akan pernah kumenangkan ini.
"Ada saatnya kita harus memilih, Sas," ucap Robin memecah keheningan malam. "dalam kehidupan, cinta datang dan pergi. Dan selalu ada yang mesti terluka dalam cinta, kamu tahu? Aku juga udah ngomong sama Tante Siska soal kamu."
"What?!"
"Tante Siska bahkan udah ngasih restu buat kita."
Tapi, Tante Siska bukan Angelic, Bin.
"Tapi, Bin. Aku tetep nggak bisa... "
"Kenapa?"
Aku terpaku menatap wajah Robin yang kian menegang di hadapanku sementara selembar kabut tipis menghalangi pandangan mataku. Bibirku terkatup rapat, terkunci dan aku sudah kehilangan kuncinya.
"Sas, percaya padaku sekali ini aja, ya? Kita akan hadapin ini sama-sama," tandas laki-laki itu dengan penuh permohonan.
Aku masih bersikukuh dengan kebisuan. Aku tidak bisa bilang iya atau tidak. Aku hanya membiarkan semuanya mengambang tanpa kepastian.
Robin merengkuh tubuhku pertama kali malam itu. Dan sialnya, aku membasahi kemeja flanel yang membungkus tubuhnya dengan air mata. Aku terlihat seperti bukan Sasta yang biasanya, yang selalu berdiri kokoh dengan segenap keangkuhan yang kumiliki. Aku hanyalah seorang Sasta yang rapuh!
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top