chapter 49
"Ya ampun, Mbak Sasta!" Suara Rista memekik begitu keras dan menggema ke segenap penjuru toko. Gadis itu bergegas menghambur ke pintu begitu aku muncul dari sebaliknya. "Mbak Sasta udah sembuh?" Ia mengguncang pundakku seolah melupakan satu hal, bahwa aku adalah bosnya. Bukan teman sebayanya yang biasa diperlakukan seperti ini.
Aku melenguh. "Iya," sahutku malas. Untung saja gadis itu sudah melepaskan cekalan tangannya di atas pundakku. Namun, senyumnya masih terlihat lebar dan aku bisa menangkap binar-binar bahagia di dalam matanya. Apa ia sesenang itu melihatku setelah tiga hari absen karena flu? Nyatanya obat flu yang diminta Prima dari temannya yang konon seorang dokter itu, manjur juga.
"Udah baikan, Mbak?" Tommy ikut mendekat untuk menyambut kedatanganku.
"Lumayan. Tapi, kalian jangan deket-deket sama aku kalau nggak pingin ketularan flu," kekehku sembari mengedip ke arah keduanya. "kalian beneran kangen sama aku?" godaku sejurus kemudian.
"Yee... Siapa juga yang kangen? Nggak ada kali, Mbak," elak Rista mematahkan dugaanku. Tapi, sorot matanya berkata sebaliknya.
"Rista tuh, Mbak. Suka bete kalau nggak ada Mbak Sasta," lapor Tommy sembari ngakak. Tangannya menjawil pundak kanan Rista yang berdiri di sebelahnya.
"Masa sih? Katanya nggak kangen?" Aku terbahak melihat ekspresi yang ditampilkan wajah Rista.
"Oh iya, Mbak. Kemarin ada yang nyariin Mbak Sasta, loh." Tiba-tiba Tommy menyela seolah baru saja teringat sesuatu. Memaksaku berhenti menggoda Rista dan mengalihkan perhatian padanya.
"Siapa? Ibu-ibu yang kemarin mau jadiin aku mantu?" tanyaku setengah menebak.
Kepala Rista dan Tommy menggeleng dengan gerakan serempak. "Bukan," jawab keduanya masih dengan kekompakan seperti biasa dan menimbulkan kerutan tajam di keningku.
"Terus?"
"Yang nyariin Mbak Sasta tuh cowok, Mbak," beritahu Rista setengah berbisik. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke dekatku.
Cowok? Siapa?
"Radit?" tebakku. Karena satu-satunya orang yang kukenal dan pernah mencariku ke toko hanya dia seorang. Jadi, pasti Radit yang dimaksud Rista dan Tommy.
"Nggak tahu, Mbak. Dia nggak nyebutin nama, sih," ulas Rista. "tapi dia ganteng, Mbak." Kali ini gadis itu sedikit terkekeh.
Muka kayak Radit dia bilang ganteng? Huh! Pingin muntah gue!
"Kalian nggak ngasih tahu kalau aku lagi sakit?"
"Ya, dikasih tahu, Mbak. Tapi, dia bilang mau mampir kapan-kapan aja. Gitu." Tommy yang menimpal.
Aku menelan ludah. Bisa-bisanya Radit tidak menengok di saat aku sakit. Meneleponpun juga tidak. Tega!
"Gimana penjualan tiga hari kemarin? Bagus?" Aku beralih topik. Membahas Radit malah membuatku jengkel nanti.
"Bagus, Mbak." Tommy menyahut. "tapi ibu-ibu yang pakai baju kembang-kembang itu nggak dateng. Kali aja udah nemu mantu," lanjutnya disertai tawa keras.
Aku mendengus sebal. "Mestinya kamu bersyukur bukan kamu yang dijadiin mantu," timpalku sembari melayangkan sebuah pukulan ringan ke atas pundak Tommy. Sementara Rista hanya cekikikan melihat partnernya meringis kesakitan.
"Mbak... " Rista menghentikan tawanya dan berbisik pelan. Tapi, tatap mata gadis itu mengarah lurus ke belakang tubuhku. "cowok yang nyariin Mbak Sasta dateng, tuh," beritahunya dengan suara lirih.
"Hah?" Dengan gerakan cepat, aku memutar kepala mengikuti arah yang dituju sepasang mata Rista.
Deg.
Mendadak jantungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya begitu melihat sosok yang baru saja muncul dari balik pintu.
"Robin?" Bibirku bergumam tanpa sadar. Laki-laki itu tiba-tiba muncul di hadapanku seperti baru saja turun dari langit. Ini bukan halusinasi kan? Aku hanya takut ini hanya sekedar mimpi dan sedetik kemudian aku terbangun dari tidur. Sungguh, hanya dengan melihat sosoknya saja sudah membuat hatiku senang.
"Hai." Robin sudah berada persis di depanku, menebarkan sapa dan segenap pesona yang melekat dalam dirinya.
"Hai juga." Sumpah, aku merasa gugup dan salah tingkah saat ini. Rista dan Tommy pasti menertawakanku habis-habisan dalam hati saat melihatku mati gaya di depan Robin.
"Aku denger kamu sakit kemarin," ucap Robin membangunkan keterpakuanku. Entah kenapa aku merasa sudah terlalu lama tak melihatnya. Kalau boleh, aku ingin menghambur ke dalam pelukannya dan bilang aku sangat merindukannya.
"Cuma flu biasa," sahutku mencoba sesantai mungkin. Aku berusaha mengurai senyum untuk menepis rasa gugup. "tapi sekarang udah mendingan, kok," imbuhku.
"Maaf, ya. Aku nggak nengokin kamu kemarin. Kupikir kamu butuh istirahat, jadi aku nggak mau ganggu... "
"Oke, nggak pa pa, kok." Aku hanya menelan ludah dan enggan berkomentar. "oh, ya. Tumben mampir ke sini?" Pasti Radit yang memberitahu alamat toko ini pada Robin.
"Ehm, kamu sibuk nggak?"
"Eh? Nggak, nggak," sahutku agak terbata. Kenapa suasananya jadi kaku seperti ini, ya?
"Bisa kita ngobrol sebentar? Di luar? Sambil minum kopi mungkin?" tawar Robin membuatku gelagapan.
Ngobrol? Minum kopi?
"Sekarang?"
Kepala Robin mengangguk dengan sangat yakin. "Kamu ada waktu, kan?" Laki-laki itu menatapku tanpa berkedip. Dan siapa sih, yang bisa menolak permintaannya kalau itu cuma sekadar bicara sambil minum kopi?
"Iya, tentu," sahutku kikuk.
Aku bergegas mengekori langkah Robin keluar dari toko kue dengan dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang berkeliaran di dalam kepalaku.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top