chapter 48

Hatsyi!

Lagi. Dan itu tadi adalah bersin yang ke-7 sepanjang pagi ini. Rupanya virus influenza sudah memilihku untuk menjadi korbannya kali ini. Hidungku terasa gatal dan tidak nyaman. Kepalaku juga tidak lebih baik. Jadi, aku hanya membenamkan kepala di dalam bantal meski matahari semakin merangkak naik. Harusnya aku sudah melakukan rutinitas pagi, mulai dari mandi, sarapan, dan bersiap pergi ke toko kue. Tapi, rasanya aku akan absen untuk melakukan semua itu hari ini.

"Kamu nggak bangun, Sas?"

Biasanya Mama tidak pernah berkunjung ke kamarku sepagi ini. Wanita itu pasti datang karena aku belum menampakkan diri di ruang makan untuk mengadiri acara sarapan pagi rutin keluarga kami.

"Sasta... "

Mama mendekat dan mengguncang tubuhku yang berselimut tebal.

"Aku lagi nggak enak badan, Ma." Aku membuka mata dan memberitahukan keadaanku pada Mama.

"Sakit?" tanya Mama sambil mengulurkan tangannya ke atas keningku. "badan kamu panas, Sas. Biar Mama panggilin dokter, ya."

"Nggak usah, Ma," cegahku ketika Mama hendak memutar tubuh. "aku cuma flu aja kok, nggak usah dipanggilin dokter."

"Kamu nggak akan disuntik kok, Sayang. Cuma diperiksa terus dikasih obat. Gitu aja."

"Nggak, Ma. Minum obat warung juga ntar sembuh... "

"Dasar bandel," gerutu Mama. "ya, udah. Mama turun dulu nyari obat flu sekalian ngambilin sarapan buat kamu."

Aku mengulum senyum tipis melihat punggung Mama yang bergerak menuju pintu. Setidaknya masih ada Mama yang akan merawatku saat sakit. Tidak seperti beberapa waktu yang lalu, malah Radit yang merawatku saat sakit. Tapi, rasanya menyenangkan bisa membuat kakak sepupuku itu kerepotan.

Tapi, suara derap sepatu yang bergerak mendekat ke tempat tidurku tak lama setelah Mama pergi, membuatku harus membuka mata kembali. Padahal aku nyaris terlelap, loh. Setahuku Mama tidak mengenakan sepatu dan... parfum.

Prima?

Wajar kan, kalau aku kaget melihat kemunculan kakak tiriku yang ganteng itu di kamarku pagi-pagi begini? Laki-laki itu belum pernah masuk ke dalam kamar ini semenjak aku menjadi penghuninya.

"Kamu sakit?" Seperti ulah Mama tadi, laki-laki itu juga menyentuh keningku dengan telapak tangannya. Mendadak menjadi termometer hidup untuk mengukur suhu tubuhku.

"Cuma flu aja," sahutku sedikit terbata. Untung saja tangannya segera menyingkir dari keningku sesaat kemudian.

"Biar kupanggilin dokter, ya. Kebetulan dia temenku sendiri, kok," tawar Prima seolah mereka ulang kehadiran Mama beberapa menit yang lalu. Dan tentu saja aku langsung menjelma menjadi robot yang selama beberapa detik hanya bisa menggelengkan kepala.

"Nggak usah. Mama lagi ngambilin obat tadi," ucapku kikuk.

"Obat warung?" Kening laki-laki itu berkernyit dan aku mengangguk pelan. "obat dari dokter lebih manjur dari obat warung, tahu nggak?"

Sok tahu.

"Aku cocok sama obat warung, kok," timpalku dengan seringai tersembunyi.

"Ya, udah. Ntar aku minta resep obat aja sama dia," ucap Prima dan setelahnya laki-laki itu membalikkan tubuh. Aroma parfumnya kembali menebar ke sekeliling ruangan dan membuat hidungku kembali merasakan ketidaknyamanan luar biasa.

Hatsyi!

Aku menarik selembar tisu dari dalam wadah dan mengusap hidungku untuk membersihkan area itu. Aku tidak tahu berapa banyak pohon yang harus ditebang hanya untuk memproduksi lembaran-lembaran tisu yang harus berakhir mengenaskan di dalam tempat sampah.

"Makan dulu, Sas. Baru minum obatnya." Mama muncul setelah Prima meninggalkan kamarku sekitar lima menit yang lalu. Wanita itu membawa nampan berisi nasi goreng dan telur dadar. Juga sebutir obat flu. "maaf, agak lama. Tadi Mama harus manasin dulu nasi gorengnya," ucapnya seraya meletakkan bawaannya di atas meja.

"Mama yang bikin nasi gorengnya?" Aku bergegas bangun dan bersiap untuk melahap sarapan pagiku.

"Iya."

Aku tersenyum tipis dan mulai melahap nasi goreng buatan Mama. Rasanya masih seenak dulu.

"Enak, Ma," gumamku di sela-sela mengunyah.

"Kalau makan jangan ngomong, ntar keselek... "

Ah, rasanya aku baru menemukan sesuatu yang berharga, sepenggal masa kecil yang indah. Aku merasa masih berusia belasan tahun yang polos dan manja.

"Kamu udah menemukan pengganti Reza?"

Uhuk.

Baru saja diingatkan, aku malah benar-benar tersedak. Semua karena pertanyaan Mama. Aku yakin semua jomblo di dunia ini pasti sensitif kalau ditanya soal pasangan. Tidak terkecuali aku!

Mama menghela napas, mengambilkan gelas minum seraya menatapku lamat-lamat. Aku bahkan masih bisa membaca sebaris pertanyaan yang sama tertulis di dalam matanya.

"Belum?"

"Mama ini apaan sih?" Aku menggerutu sambil pura-pura sibuk menyenduk nasi goreng.

"Mama kan cuma tanya. Apa salahnya?"

"Emang nggak salah, Ma." Cuma tersinggung aja. "Mama pingin banget punya cucu, ya?" Aku menggigit sendok seraya mendelik curiga ke arah Mama.

"Nggak juga, sih. Kan Mama udah bilang, cuma nanya." Mama membela diri. "kalau makannya udah, obatnya diminum, gih."

"Iya, Ma."

"Kalau kamu mau, Mama bisa nyuruh Prima buat nyariin kamu pacar," ucap Mama membuatmu kaget setengah mati. Untung saja aku sudah menelan air plus sebutir obat flu saat Mama bicara, kalau tidak, aku pasti akan mengalami tersedak untuk kedua kalinya. Mama mengambil momen yang tepat.

"What?" Aku berhasil menahan diri untuk tidak berteriak di depan Mama. "Mama pikir aku nggak bisa cari pacar sendiri?"

"Bukan gitu, Sayang. Mama kan cuma ngasih usul."

"Tapi usul yang ngaco... "

Mama terdiam. Menghela napas panjang dan mengusap kepalaku pelan. "Ya, udah. Nggak usah sewot gitu. Kamu istirahat aja. Ntar Mama telepon Rista kalau kamu nggak bisa ke sana hari ini," ucapnya sebelum beranjak dari tepian ranjang yang didudukinya sejak tadi.

"Oke. Thanks, Ma."

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top