chapter 44
"Hei!"
Langkah kakiku terhenti ketika teriakan itu beserta lambaian tangan Radit terarah padaku. Memaksa ujung sepatuku berhenti bergerak dan sepasang mataku harus menyipit menahan sebagian sinar matahari yang ingin menerobos masuk ke dalamnya.
Ngapain tuh anak di sini?
"Loe mau makan siang, kan?" tegur Radit begitu aku sampai di depannya, memperhatikan penampilannya yang masih sama kerennya seperti biasa. Ia selalu rapi dan wangi.
Aku mendehem malas. Seperti sebuah kebetulan memang, menemukan sosok Radit di depan toko saat aku hendak keluar mencari makan siang.
"Ngapain loe di sini?" tanyaku dingin. Pasti Radit sedang mengharapkan sebuah ekspresi terkejut terpasang di wajahku karena kemunculannya yang tiba-tiba di tempat ini. Tapi, ia tidak akan pernah mendapatkan itu dariku.
"Mau ngajak loe makan siang. Gue kangen sama loe." Radit menepuk bahuku seolah aku adalah sahabat lama yang sudah lama tidak ditemuinya.
Aku memasang senyum getir. "Loe lagi demam, ya?" sindirku tanpa ampun. "tapi ajakan loe nggak bisa gue tolak, sih. Mau makan di mana?" tanyaku sedetik kemudian. Lupakan episode sindir menyindir tadi. Itu bagian dari ciri khas kami saat bertemu.
"Pizza?"
"Boleh."
Aku bisa pesan pasta nanti. Karena pizza membuatku gampang bosan.
Kami meluncur ke sebuah restoran fast food terdekat yang menawarkan menu pizza, mencari tempat duduk di pojokan, memesan seporsi pizza berukuran sedang dengan keju mozzarella yang berlimpah, dua gelas soda dingin, dan juga satu porsi pasta untukku sendiri. Urusan pizza biar Radit yang menuntaskannya.
"Robin bilang loe udah resign," beritahu Radit membuka percakapan. Ia mulai menjejalkan potongan pizza ke dalam mulut. "kok loe nggak ngasih tahu gue sih?" protesnya tanpa menatap lawan bicara. Ia terlalu sibuk menghayati lelehan keju mozarella di atas pizzanya.
"Mama sakit, Dit. Dan gue lupa ngasih tahu loe."
"Terus gimana keadaan Mama loe?"
"Udah baikan, sih. Dia cuma kecapekan doang. Tapi, ya gitu. Gue disuruh ngurusin toko kuenya," jelasku sembari menyuap pasta.
"Berarti loe jadi bos dong sekarang," kekehnya mencurigakan. "tapi penampilan loe kayaknya belum pantes jadi bos."
"What?!" Aku melotot.
"Eh, tapi kayaknya ada yang berubah dari loe, deh." Radit mengangkat dagu dan menajamkan penglihatannya padaku. Sejenak melupakan potongan pizza di tangannya. "loe udah belajar dandan, ya? Terus pakaian loe, lucu banget, Sas. Nggak matching." Radit menderaikan tawa mencemooh saat menyinggung soal pakaian yang kukenakan.
Ya, aku memang memakai make up sedikit lebih banyak dari biasanya. Sedikit mengoleskan eyeshadow berwarna cokelat, sedikit menorehkan blush on merah ke pipi, dan sedikit menebalkan polesan lipstik ke bibirku. Aku tidak tahu jika ini terlihat aneh baginya, karena aku bukan orang yang jago dandan. Dan untuk urusan pakaian, sungguh aku juga bukan orang yang modis. Aku bisa dibilang buta fashion. Tapi, perpaduan kulot berwarna abu-abu dan atasan bermotif bunga-bunga dengan hiasan renda pada bagian kerahnya, menurutku cukup feminin. Aku mengistirahatkan cardigan-cardigan kesayanganku dan celana jeans untuk sementara waktu.
"Gue kelihatan aneh, ya?" delikku dengan setengah berbisik. Ujung garpuku masih menempel di atas piring, urung kusuapkan ke dalam mulut.
Radit mengedikkan bahu. "Sedikit," ucapnya menyebalkan.
Aku mencebik kesal. "Maksud loe?"
"Loe kelihatan sedikit aneh, tapi lumayan cantik, kok. Beneran," ucapnya sok serius. Entah ia sedang menyindir atau bicara serius, hanya Radit dan Tuhan saja yang tahu. Tapi, sikapnya yang terlihat santai dan terus mengunyah mengindikasikan jika ucapannya tidak seserius nada bicaranya. "loe mau selfie? Ntar gue pasang di instagram gue, terus kita lihat reaksi Robin. Gimana? Mau?"
"Ogah banget," decakku kesal. "emang apa hubungannya sama Robin, heh?"
"Bukannya loe suka sama Robin?"
"Terus?" pancingku malas. Aku benar-benar tidak suka jika topik pembicaraan kami beralih pada laki-laki itu.
"Loe nggak pingin tahu gimana perasaan dia sama loe?"
Apa itu penting, sementara ada Angelic yang sedang terbaring koma?
"Nggak," jawabku ketus. "dia udah punya pacar, Dit. Kenapa sih loe masih pingin jodohin gue sama dia?" Lama-lama aku kehilangan selera makan jika ia terus-terusan membahas soal Robin. Aku ingin mengubur dalam-dalam harapan dan cinta untuk laki-laki itu.
"Tapi loe yang bilang, kalau ceweknya koma, kan?"
Aku meletakkan garpuku di atas piring. "Tapi, bukan berarti dia nggak mungkin bangun lagi, kan? Masih ada harapan selama dia belum meninggal, Dit. Dan gue lebih suka kalau dia terbangun dari komanya."
Radit tak merespon. Ia meneguk isi gelasnya lalu menarik piringku ke hadapannya. Merampas pastaku yang masih tersisa setengah dan langsung menyuap dengan tanpa dosa.
"Hari ini Reza menikah."
Aku berpura-pura tak mendengar dan mengambil sepotong pizza lalu menyuap seolah tidak terpengaruh ucapan Radit.
"Jadi, loe ngajak gue makan buat ngasih tahu hal itu?" tanyaku menyembunyikan segenap rasa sakit yang mulai menggelayut di dalam rongga dadaku.
"Nggak juga."
"Terus kenapa loe ngasih tahu gue soal itu?"
Padahal aku sudah mulai lupa akan peristiwa bersejarah dalam dunia infotainment itu, loh.
Radit menggelengkan kepala. "Nggak pa pa."
Aku tak menyambung percakapan dan sibuk mengunyah potongan pizza dengan sesekali melempar pandangan ke sekeliling. Mengamati situasi restoran fast food pada jam makan siang seperti sekarang membuatku teringat kembali pada pengalamanku beberapa bulan lalu. Aku tahu betul bagaimana repotnya menjadi pelayan restoran pada jam makan siang.
"Loe masih belum bisa move on?"
Pertanyaan Radit berhasil mengoyak lamunanku dan mengembalikan perhatianku padanya.
"Dari Reza?"
"Ya."
Aku tersenyum miris. Bagaimanapun juga Reza adalah cinta pertamaku dan harus kuakui sulit untuk melupakan kenangan yang pernah kami buat bersama. Aku pernah mempercayainya sepenuh hati, menganggapnya sebagai seseorang yang kelak akan menjagaku seumur hidup, mencintai dirinya tanpa syarat, dan semua itu hancur menjadi serpihan-serpihan kecil yang berserakan. Reza yang menghancurkannya, bukan aku. Dia yang menyukaiku duluan, tapi dia juga yang mencampakkanku. Tragis, bukan?
"Gue benci dia." Satu kalimat tegas meluncur dari bibirku sesaat kemudian.
"Tapi loe belum bisa ngelupain dia, kan?" delik Radit jelas-jelas ingin menyudutkan.
"Gue selalu berusaha, Dit," ungkapku jujur.
"Lalu Robin? Apa dia cuma pelampiasan doang?" cecar Radit masih mendelik tajam ke wajahku.
Aku menggeleng. "Gue nggak tahu."
"Bego," umpatnya dengan nada kesal. "loe beneran suka sama dia nggak, sih?"
Aku menarik napas dalam-dalam dan berusaha menyelami kedalaman hatiku sendiri. Apa sebaris nama Robin kutemukan di dalam sana?
"Gue mundur setelah gue tahu kalau dia punya Angelic... "
"Jadi, nama cewek yang koma itu Angelic?"
Apa aku belum pernah menyebutkan nama gadis itu di depan Radit?
"Gue nggak mau menjadi orang ketiga diantara mereka berdua meski Angelic sedang koma sekalipun. Loe ngerti, kan?" Ganti aku yang mendelik tajam ke arah Radit. Meminta pengertiannya dengan sangat.
"Ya. Tapi gimana kalau Robin juga suka sama loe?"
Jangan membuat pengandaian, Dit. Sekarang.
Aku hanya mengulas senyum pahit lalu menggigit potongan pizzaku lagi.
"Mustahil," desisku.
Radit mengangkat kedua bahunya. Tak lama kemudian ia mengajakku pulang setelah makanan di atas meja kami tandas tak bersisa. Aku tak sadar jika percakapan panjang kami malah membuatku kalap dan terus menyuap. Akibatnya aku mengantuk begitu menginjakkan kaki keluar dari restoran.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top