chapter 43
"Ibu, nggak mau nambah lagi kuenya? Pembelian diatas 300 ribu diskon 10%, loh... " Aku mengeluarkan jurus marketing penjualan pada seorang ibu-ibu berusia sekitar 50-an bertubuh gemuk dan memakai setelan baju bertema bunga-bunga. Rambutnya ikal sebahu.
"Nggak usah, deh. Kapan-kapan aja, duitnya nggak cukup," kekehnya pelan. "oh, ya. Mbak kok manis banget, sih? Udah nikah belum?"
Ya, ampun. Wajahku pasti memerah seketika saat wanita itu bilang aku manis, sekaligus bertanya tentang statusku. Penting banget ya, mengetahui statusku?
"Kebetulan belum, Ibu." Aku mengukir seulas senyum tipis. Bagaimanapun juga pembeli adalah raja, jadi aku mencoba bersikap seramah mungkin. Meski pertanyaan seperti itu sedikit menyakiti hati nurani.
"Sayang banget, ya. Kalau aja Ibu punya anak cowok pasti kamu udah Ibu bawa pulang. Mau Ibu jadiin mantu," ucap Ibu-ibu itu dengan gaya kemayu diakhiri dengan sebuah senyum genit.
Sontak saja Rista dan Tommy yang kebetulan berdiri di sebelahku dan mendengar percakapan itu langsung meledakkan sebuah tawa keras. Kompak pula. Membuatku malu setengah mati sekaligus geregetan ingin menjitak kepala mereka satu per satu.
Tapi, aku hanya bisa menahan semuanya di dalam dada dan masih memasang senyum manis. Sabar, Sas.
"Ini Bu, barangnya." Rista sudah selesai membungkus pesanan dan menyerahkannya langsung pada wanita itu.
"Makasih, ya," sambut ibu-ibu itu dengan sukacita.
"Makasih kembali. Kapan-kapan datang lagi ya, Bu." Aku menarik napas lega begitu menatap punggung wanita itu menjauh dari hadapanku.
"Loh, Mas Paul?"
Suara Rista mengalihkan perhatianku dari pintu. Laki-laki itu, entah sejak kapan sudah berdiri di samping tubuh Tommy dengan membawa sebuah nampan berisi beberapa buah kue muffin yang menguarkan harum cokelat, siap dipindahkan ke dalam etalase kaca.
Rista bergegas membantu rekannya menata muffin-muffin itu di dalam etalase kaca dengan cekatan.
"Kue abonnya udah mateng, Mas?" tanya Tommy mengajak bicara laki-laki berwajah datar itu. Sementara aku lebih memilih berpura-pura sibuk menghitung uang.
"Bentar lagi."
Oh, bisa ngomong juga tuh orang?
Duh, kenapa pikiranku jahat banget, sih?
"Kenapa ya, aku ngerasa Paul nggak suka sama aku?" keluhku setelah sosok Paul menjauh dan kembali ke sarangnya. Maksudku dapur. Rasanya aku perlu membagi apa yang beberapa hari ini menjadi unek-unek dalam hatiku.
"Mas Paul emang tipe orang kayak gitu, Mbak." Tommy menyahut dengan nada enteng.
"Kayak gitu gimana?" sahutku bingung.
"Sok gengsi sama orang yang baru dikenal," timpal Rista sambil terkikik pelan. "waktu pertama kerja di sini, aku pernah dicuekin habis-habisan kok, Mbak. Tapi, lama-lama biasa aja. Cuma emang jarang ngomong orangnya."
Aku mengalihkan tatapan ke arah Tommy yang menanggapi ucapan Rista dengan sebuah anggukan setuju. Padahal aku sama sekali tidak mempercayai pendengaranku sendiri.
"Masa sih?" gumamku tanpa sadar.
"Tipe orang kan lain-lain, Mbak. Nggak semua orang harus punya karakter yang sama, kan? Ntar dunia manusia nggak berwarna, cuma abu-abu doang," kata Tommy dan ia meledakkan tawa sesudahnya. Menertawakan ucapannya sendiri.
"Nggak lucu, tahu nggak?" Aku memukul pundak Tommy dengan gerakan refleks. Sedang Rista hanya tertawa melihat rekannya meringis.
"Tapi beneran kok, Mbak. Mas Paul sebenernya baik. Cuma tampilan luarnya judes dan dingin, iya kan, Ris?" Tommy terlihat sangat ingin membela Paul dan sedang mencari dukungan Rista.
"Iya, sih. Mungkin dia terobsesi pingin jadi tokoh komik romantis, gitu." Rista ikut menambahi.
"Bilang aja kalau loe naksir Mas Paul," tuduh Tommy.
"Apaan sih?" Rista mengibaskan tangan di depan wajah Tommy. "tapi kalau Mas Paul-nya mau sama aku, ya aku nggak nolak," imbuh gadis itu dengan senyum malu terselip di ujung kalimatnya.
"Dah, mimpi aja terus... "
"Terus baiknya di mana? Dari tadi aku cuma denger bagian judes dan dinginnya, doang," selaku menunjukkan rasa sewot karena sejak tadi aku merasa mereka berdua sedang membela Paul.
"Dia pernah nganterin aku pulang, Mbak. Waktu itu aku nggak bawa motor karena dibawa adikku jalan-jalan sama temennya. Emang cuma sekali sih, tapi menurutku orangnya baik," tutur Rista.
"Kamu?" Daguku menunjuk ke arah Tommy. Memberinya kode bahwa sekarang adalah saat ia ganti bercerita tentang Paul.
"Kami sering main futsal sepulang kerja, jadi udah kayak saudara," ucap Tommy dengan kepercayaan diri penuh.
Mataku melotot. Saudara dia bilang? Kok aku tidak percaya, ya?
"Ntar jangan-jangan kamu bilang sama Paul kalau kita gosipin dia hari ini," celutukku sedikit khawatir.
Kepala Tommy menggeleng. "Nggak, Mbak. I swear... "
"Halah, pakai swear-swear segala... " gerutu Rista dengan mencibir.
"Kalian yakin nggak saling menyukai satu sama lain?" Aku melipat kedua tangan di depan dada dan menatap kedua pegawaiku itu dengan pandangan mengintimidasi. Sudah lama aku ingin bersikap seperti ini, menginterogasi seseorang.
Pertanyaanku memaksa Tommy dan Rista saling menatap. "Maksudnya?"
Nah, mereka kompak lagi kan?
"Masa sih, kalian nggak paham pertanyaanku?" decakku sebal.
Lalu keduanya menggeleng.
"Kalian yakin nggak ada perasaan satu sama lain? Maksudku... " Aku berusaha mencari kalimat yang paling gampang dipahami. "Tom, kamu yakin nggak suka sama Rista?" Fokus mataku berpusat pada Tommy. Memojokkan laki-laki itu agar mengakui perasaannya.
Tapi, Tommy mengedikkan bahunya dengan enteng, tanpa ekspresi seperti yang kuharapkan. "Nggak, Mbak. Nggak selamanya persahabatan antara cowok dan cewek berujung pada pacaran. Bener, kan?" Laki-laki itu melempar senyum ke arah Rista. Dan gadis itu mengangguki ucapan Tommy dengan ikhlasnya.
"Kami cuma sahabat, kok, Mbak," imbuh Rista mempertegas pernyataan Tommy.
Yah, mau tidak mau aku harus mempercayai ucapan mereka berdua. Mungkin aku saja yang merasa sensitif padahal hubungan mereka hanya sebatas sahabat. Aku sudah salah menilai hubungan akrab di antara mereka berdua.
"Oke, deh." Aku menurunkan tangan dan mengakhiri pembicaraan. "aku mau nyari makan dulu."
Aku ngeloyor pergi keluar toko tanpa menunggu jawaban mereka.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top