chapter 41
Seorang anak kecil yang sedang sibuk menyuap red velvet cake berhasil mencuri perhatianku kali ini. Wajahnya terlihat manis dengan rambut kuncir kuda yang menjuntai di belakang kepalanya. Rambut sebahunya tak begitu tebal dan pada ujungnya berwarna kemerahan sedang kening mungilnya tertutup poni.
Gadis kecil bergaun pink itu terlihat sangat menikmati kudapannya karena sejak tadi ia tidak berhenti menyuap. Sementara ibu gadis kecil itu tampak bahagia melihat putri kecilnya makan dengan sangat lahap.
"Mau nambah lagi, Sayang?" tawar ibu gadis kecil itu yang langsung mendapat anggukan dari putri kecilnya. Dan tak perlu menunggu lama, wanita itu bangkit dari tempat duduknya untuk segera memesan kue yang sama pada Rista.
Sungguh, pemandangan seperti itu membuatku teringat pada masa kecil. Aku juga pernah berada pada posisi yang yang sama dengan gadis kecil itu. Hanya saja jenis kue yang kami makan berbeda. Aku hanya menikmati sepotong kue donat kala itu, tapi adegan itu nyaris sama dengan yang pernah kualami puluhan tahun silam.
Rasanya otak tumpulku baru menyadari sesuatu, jika Mama membangun toko kue ini untukku. Dia ingin memberiku sesuatu yang berguna untuk masa depanku, namun sayangnya aku tidak pernah menyadari hal itu sebelumnya. Karena Mama sangat menyayangiku dan ia tahu betul aku suka makan kue. Tapi, karena keadaan ekonomi kami yang dulu pas-pasan, tidak memungkinkan bagi kami untuk bisa menikmati beragam kue lezat yang kuinginkan.
Dan tentang tempat ini, rasanya aku tidak perlu mengubah apapun yang sudah tertata rapi di sini. Jikalaupun suatu saat nanti ada yang perlu kutambahkan, kupikir aku harus berkonsultasi lebih dulu dengan Mama.
"Mbak Sasta? Ngapain?"
Tommy, laki-laki itu sudah berada di sampingku dengan menampilkan wajah tak berdosa, padahal ia baru saja membuyarkan lamunan tentang masa kecilku yang sangat berharga.
"Ada apa?" tanyaku malas.
"Ada kiriman barang datang, nih. Mbak Sasta tanda tangan aja di sini," ujar Tommy dengan ujung telunjuk menempel pada bagian bawah sebuah nota pembelian.
"Kenapa harus aku? Kamu kan juga bisa... "
"Kalau ada Mbak Sasta kenapa harus aku? Mbak Sasta kan owner-nya."
Nih, bocah suka ngotot juga, ya?
"Emangnya kalau Mama nggak ada, siapa yang tanda tangan?" Aku menorehkan sebuah tanda tangan ke atas kertas yang disodorkan Tommy. Meski goresan itu lebih mirip cakar ayam, tapi buatku itu adalah sebuah tanda tangan. Dan aku sudah mencoba ribuan kali belajar menggoreskan tanda tangan yang terlihat bagus, tapi hanya bentuk abstrak itu yang bisa kuciptakan.
"Mas Paul."
Aku menyerahkan kembali kertas nota itu pada Tommy dan bergegas mengikuti langkahnya menuju ke pintu samping toko yang letaknya persis di koridor dapur, sehingga jika ada barang masuk atau keluar tidak akan mengganggu kenyamanan pengunjung.
Dua karung tepung terigu, sekeranjang telur, bubuk cokelat, gula, dan bahan-bahan kue lainnya, satu per satu berpindah ke dalam troli sembari dilakukan pengecekan. Barang yang masuk troli harus sesuai dengan daftar pada nota, sementara pembayaran biasanya akan dilakukan via transfer.
"Udah lengkap, Tom?"
"Udah, Mbak!"
"Oke."
Aku membantu Tommy mendorong troli meski ia berusaha mencegahku. Tapi, aku sudah terlalu terbiasa melakukan pekerjaan kasar semacam ini. Membersihkan lantai, kaca, atau apapun sudah menjadi bagian hidupku. Dan aku merasa seperti sedang berolahraga saat melakukan kegiatan fisik semacam itu.
"Duh, Mbak Sasta jangan dorong-dorong troli kayak gitu, dong. Ntar keringetan loh," celutuk Fauzan menyambut kedatangan kami di dapur. Sementara Paul yang sedang menuang tepung ke dalam mangkuk besar hanya melihatku sekilas dengan wajah tanpa ekspresi. Entah kenapa aku merasa ia tidak menyukaiku.
"Modus loe, Fa!" teriak Tommy cukup kencang. "udah Mbak, biar aku yang nurunin barangnya," ucapnya beralih padaku.
"Oke, deh. Aku ke depan dulu kalau gitu, nemenin Rista," pamitku sejurus kemudian.
Gadis kecil kuncir kuda yang mengingatkanku pada masa kecil itu masih berada di kursinya dan nyaris menyelesaikan potongan terakhir red velvet cake keduanya. Ia membuatku harus mengulas senyum tipis saat menatap bibirnya yang penuh dengan noda kue.
***
"Makasih, Bang." Aku mengangsurkan helm pada abang tukang Gojek setelah berhasil melompat turun dari boncengan motornya lalu membayar sejumlah uang sesuai harga yang tertera pada aplikasi. Padahal Prima sempat menawarkan diri untuk menjemputku, namun kutolak. Aku terlalu malas untuk menjadi bagian dari kemacetan lalu lintas.
Namun, langkahku tertahan begitu ekor mataku menangkap bayangan seseorang sedang berdiri di depan pintu gerbang dan sebuah mobil berwarna silver terparkir tidak jauh dari tubuhnya. Laki-laki itu mengurai senyum tipis begitu mata kami bertemu.
"Udah lama nunggu?" sapaku mencoba menepis rasa canggung yang mulai bergelayut ketika pertama kali melihat sosoknya. Aku melangkah dengan sangat hati-hati ke hadapannya karena aku pernah jatuh dan nyaris menimpa tubuhnya.
"Nggak juga," sahut Robin. Entah kenapa efek sinar matahari sore ini yang jatuh menimpa wajahnya terkesan begitu dramatis dan menaikkan level kegantengan laki-laki itu sehingga berakibat memacu kerja jantungku lebih kencang ketimbang sebelumnya. "baru pulang?"
Ya, tentu saja. Seperti yang kamu lihat.
Aku mengangguk. "Baru ditinggal sehari, udah kangen sama aku?" kekehku berusaha mencairkan ketegangan. Sebenarnya hanya aku yang merasa canggung setengah mati, sementara Robin tampak baik-baik saja. Sikapnya terlihat tenang, santai, dan keren.
Tapi, laki-laki itu malah tertawa renyah mendengar candaan garingku. Oke, reaksinya memang sedikit berlebihan, tapi aku suka. Itu hanya sekadar lelucon baginya, tapi aku tidak pernah main-main dengan perasaan.
"Go Fresh sepi tanpa kamu," ujar Robin setelah menuntaskan tawa yang sempat ia deraikan tadi. Entah ia serius atau menanggapi candaanku sebelumnya dengan kekonyolan yang sama, hanya Robin dan Tuhan saja yang tahu. Aku hanya bersikap pura-pura bodoh. Robin hanya sedang berusaha mengimbangi leluconku.
"Ada apa? Kamu nggak mungkin ke sini tanpa maksud, kan?" Beralih topik secepat mungkin adalah hal terbaik yang bisa kulakukan atau aku akan menderita baper karena ucapan laki-laki itu.
"Aku mau ngasih gaji kamu." Robin mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih dari dalam saku kemeja denim berwarna biru langit yang membungkus tubuh tegapnya lalu menyodorkan benda itu ke depanku.
"Kamu nggak serius waktu bilang mau motong gajiku kan?" Aku meraih amplop dari tangan Robin dengan gerakan hati-hati. Sungguh, aku merasa ini adalah hal yang bisa menjadi urusan terakhir yang menghubungkan kami berdua. Setelah urusan ini selesai, antara aku dan Robin sudah berakhir. Kami tidak punya alasan untuk bertemu. Dan entah kapan aku bisa melihat wajah laki-laki itu lagi.
"Hitung aja." Ia malah menantangku untuk menghitung isi amplop yang kini sudah dalam genggaman tanganku. Tapi, tentu saja aku tidak akan membuka isi amplop itu sekarang.
"Ntar aja. Oh, ya. Kamu nggak mau masuk dulu? Minum kopi mungkin?" tawarku berbasa-basi. Bermaksud menahannya lebih lama agar aku bisa menatap laki-laki itu sepuasnya untuk diriku sendiri.
Dahinya berkerut sebentar. "Nggak usah, deh. Mungkin lain kali. Aku ada janji sama Mama," ucapnya dengan melirik sebuah jam berwarna gelap yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Oh." Aku menelan ludah beserta rasa kecewa yang ditimbulkan oleh penolakan Robin. Toh, aku sudah terbiasa kecewa.
"Aku balik dulu, ya."
"Hati-hati, Bin," ucapku antara rela dan tidak. Laki-laki itu sudah bersiap meninggalkan tempatnya berdiri.
"Jaga kesehatan, Sas. Kamu harus makan banyak sayuran, oke?!" Laki-laki itu melangkah cepat ke arah pintu mobil dengan melambaikan tangan padaku.
Dasar tukang sayur!
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top