chapter 40
"Mbak Sasta, ada yang nyariin," lapor salah seorang asisten rumah tangga kami. Wanita itu menyusul langkahku yang sudah mulai menapaki anak tangga. Sedang Prima kulihat melangkah ke dapur. Dalam perjalanan pulang tadi Prima mengeluh haus, padahal ia sudah menghabiskan segelas iced tea usai menandaskan sepotong black forest di toko.
"Siapa?"
"Nggak tahu, Mbak."
"Cewek atau cowok?"
"Cowok."
Cowok? Paling-paling juga Radit.
Sembari menebak-nebak, aku mengalihkan arah sepatuku kembali ke teras depan.
Seorang laki-laki berjaket hitam, berkulit sawo matang, dan brewokan tampak berdiri menunggu di lantai teras. Ia membawa sesuatu di tangannya.
Aku tercekat. Apa ia polisi yang ingin menangkapku atas kasus...
"Mbak Sasta, kan?" tanya laki-laki itu begitu mengetahui kemunculanku.
Dalam gugup, kepalaku masih sempat mengangguk. Tapi, kerongkonganku sudah kering kala laki-laki itu menyebutkan namaku.
"Saya disuruh nganterin undangan ini," ucapnya sambil mengulurkan sebuah undangan berwarna merah ke depanku. "dari Mas Reza."
"Reza?"
"Iya. Minggu depan Mas Reza akan menikah dengan Mbak Yolanda," ucap laki-laki itu memperjelas inti undangan yang masih dipegangnya.
Aku mengukir senyum getir di bibir. Jadi, mereka akan menikah? Lalu apa hubungannya denganku? Apapun yang mereka lakukan aku tidak peduli. Mau nikah kek, mau apa kek, aku tidak peduli dan tidak mau tahu.
"Bawa balik undangan itu," ucapku dengan agak ketus.
"Loh, kenapa?" Dahi laki-laki itu tampak berlipat-lipat saat menatapku. "ini undangan pernikahan artis terkenal loh, Mbak. Masa mau ditolak?"
"Mau artis atau bukan, gue nggak peduli. Gue nggak kenal," celutukku kasar. Meski aku tahu laki-laki itu hanya seorang kurir, tapi aku sungguh tak bisa menahan gejolak emosi yang mulai membuncah di dalam dadaku. Kenapa ya, orang yang tersakiti dan terkhianati selalu ada saja cobaannya?
"Tapi, Mbak... "
Brak.
Suara laki-laki itu tak terdengar lagi karena tanganku sudah lebih dulu bergerak untuk membanting pintu dengan keras.
"Ada apa?"
Omelan demi omelan dalam hatiku terputus ketika Prima mendadak mendekat dan menatap wajahku dengan pandangan curiga.
"Nggak ada," jawabku ketus. Aku mengayunkan langkah dari hadapan laki-laki itu dan setengah berlari menapaki anak tangga menuju lantai atas.
Aku melempar sepasang sepatu kesayanganku dalam sekali hentakan ke sudut kamar dan mereka jatuh dengan posisi yang tidak seharusnya. Sepatu sebelah kanan tengkurap di bawah meja, sedang sebelah lagi mendarat dengan gaya bebas dan jatuh tepat di dalam keranjang sampah. Menyebalkan, bukan?
Aku menjatuhkan tubuh di atas tempat tidur setelahnya tanpa melepas cardigan abu-abu dari tubuhku. Celana jeans juga masih membungkus kedua kakiku.
Aku ingin menangis, Ya, Tuhan. Tapi, entah kenapa air mataku tak kunjung keluar seolah ada dinding beton yang menahannya. Padahal kedua mataku sudah memanas dan kepalaku juga. Mungkin menangis bisa membuatku sedikit lega dan mengangkat secuil rasa nyeri yang menyakiti hatiku. Tapi, sayangnya aku tak berhasil menumpahkan setitik air matapun.
"Sayang."
Aku tidak tahu berapa lama aku dalam posisi ini, tengkurap di atas tempat tidur, tapi suara lembut Mama berhasil memaksaku membuka mata. Usapan lembut tangan Mama mendarat di atas kepalaku berulang. Aku ketiduran.
"Kamu nggak makan siang?" tegur Mama sambil memperhatikan raut wajahku yang pasti terlihat sangat buruk di matanya.
"Ntar aja, Ma," tolakku malas. Sepotong black forest yang kumakan tadi sepertinya masih menghuni lambungku dan belum dicerna sempurna. "masih kenyang."
"Tapi udah jam dua, Sas. Masa kamu belum lapar?" tanya Mama lagi. "tadi Prima ketuk-ketuk pintu kamar kamu, tapi kamu nggak jawab. Jadi dia langsung balik kantor setelah makan siang," ungkapnya.
Jadi, aku ketiduran selama itu?
"Prima pikir kamu marah sama dia."
Aku langsung menggeleng ke arah Mama. "Nggak, Ma."
"Ya, udah. Kalau gitu kamu cuci muka dan cepet turun. Mama tunggu di meja makan," suruh Mama seraya bangkit dari atas tempat tidur, bersiap beranjak pergi dari kamarku.
"Ma."
Aku bangun dan menahan langkah Mama yang hendak menjangkau daun pintu. Wanita itu menoleh ketika mendengar panggilanku.
"Apa, Sayang?"
"Reza mau nikah, Ma." Oke, harusnya aku tidak pernah mengatakan hal ini pada Mama karena setelah bibirku selesai mengucapkan kalimat itu, aku menyesalinya. Tapi, justru hatiku merasa lega setelah mengatakannya pada Mama.
Mama tertegun menatapku. Dalam durasi beberapa detik ia seperti patung dengan posisi berdiri sambil memegang kenop pintu.
"Relakan dia, Sayang. Dia bukan yang terbaik buat kamu." Mama mendekat kembali ke tempat tidur lalu meraih tubuhku ke dalam pelukannya. Tangan lembutnya mengusap punggungku berulang. "dia nggak pantes buat kamu, ngerti?"
Aku mengiyakan dalam hati.
Tapi, dadaku nyeri saat mengingat laki-laki itu, Ma. Meski aku sudah mencoba untuk melupakannya, tetap saja rasa sakit itu akan menyeruak ke permukaan saat ingatanku tertuju padanya. Ia yang menduakan dan menyakitiku, tapi kenapa ia yang malah mengecap kebahagiaan terlebih dulu?
"Kamu baik-baik aja, kan?" Mama melepaskan pelukannya lalu menatap sepasang mataku lamat-lamat. Tangan lembutnya beralih mengusap pipiku.
"Ya, Ma." Aku mencoba tersenyum sebisa mungkin. Aku yakin bisa mengatasi perasaan ini sendirian.
"Ya, udah. Cepet turun dan makan. Ada ayam goreng kesukaan kamu," beritahu Mama dengan senyum tipis terselip di bibirnya.
"Ya, Ma."
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top